…para penonton pun pada antusias menunggu aksi Jilly…
Jaman Siaran Televisi Masih Hanya TVRI
Pertama kali saya nonton film horor dan bener-bener merasa ngeri ketakutan itu pas TVRI nyiarin film nasional, judulnya Dikejar Dosa, sebuah film horor nasional besutan tahun 1974.
Pada kisaran tahun 1977-1980-an, TVRI memang punya program siaran memutar film-film laris, baik nasional maupun internasional. Sebuah acara siaran yang ditunggu oleh para pemirsa setia stasiun televisi yang waktu itu hanyalah TVRI saja, setiap malam minggu lepas berita terakhir kisaran pukul 11-an malam.
Jika film nasional yang bakal diputar, maka film tersebut langsung disiarkan. Sebaliknya, jika filmnya internasional, yang seringkali buatan Hollywood, Inggris atau Australia, maka akan ada penyiar TVRI yang menyampaikan sinopsis alur cerita, tanpa membuka ‘rahasia’ akhir kisah filmnya.
Tampilan teks penerjemah siaran film di TVRI memang baru ada pada kisaran tahun 1985-an. Itu pun teks terjemahan tak tampil setiap dialog, namun berupa penggalan sinopsis setiap 5-10 menit sekali. Kebayang waktu itu sekitar 1/4 luas layar televisi berisi teks terjemahan.
Namun, penampilan teks terjemahan cukuplah sopan, yakni disela-sela adegan biasa-biasa saja. Bukan adegan yang ditunggu-tunggu, kayak lagi kejar-kejaran, mobil gulung koming, aksi bintang utama jumpalitan atau pas lagi ada adegan ciuman, ambung-ambungan.
Iya, sensor TVRI terhadap adegan slomotan dari bibir ke bibir bintang film luar negeri, baru ada kisaran tahun 1986-an.
Waktu itu ada film serial judulnya Return to Eden buatan Australia. Dalam serial yang diputar seminggu sekali itu, ada tokoh namanya si Jilly, sang wanita penggoda cenderung antagonis. Nah, setiap Jilly tampil, maka para penonton pun pada antusias menunggu aksi Jilly leh arep nabruk lambe ne uwong itu kapan.
Serial televisi Return to Eden sempat menyita perhatian pemirsa TVRI pertengahan tahun 1980-an. Foto sumber: themoviedb.org
Habis itu, mungkin ada himbauan dari tokoh nasional maupun wakil masyarakat, agar adegan ciuman, aksi pose syur bahkan sekedar berdialog di tempat tidur berdua tutupan selimut saja, kudu disensor.
Sensor terhadap adegan pasangan tengah berdua dibalik selimut sedang ngobrol rileks, bisa jadi karena pada kisaran tahun 1979 ada serial televisi berjudul Hart to Hart, yang bintangnya aktor Robert Wagner sama aktris Stephanie Powers.
Kedua pemeran yang berperan sebagai pasangan detektif suami istri kaya raya itu memang sering digambarkan sangat harmonis, romantis, sekaligus eksotis.
Hart to Hart berkisah petualangan pasangan suami istri detektif kaya raya salah satu serial yang dinanti pemirsa TVRI akhir tahun 1970-an. Foto sumber: tvguide.com
Jaman itu, tak ada jeda iklan ketika menikmati pertunjukan film pada layar televisi melalui siaran TVRI. Karena tayangan iklan aneka produk konsumen, telah mempunyai jadwal siaran tersendiri, yaitu setiap pukul 20:30 - 21:00 WIB, sebelum acara Dunia Dalam Berita dimulai.
Nama siaran TVRI khusus untuk iklan itu adalah; Mana Suka Siaran Niaga, yang lalu dihentikan pada tahun 1982-an, karena dinilai mengajarkan masyarakat berperilaku hidup konsumtif.
…ada satu lagi yang bagi orang-orang Indonesia, budaya ciuman bibir itu kurang pas dilakukan.
Adegan Ciuman Bibir Dalam Film Nasional Perlukah?
Sedikit membahas tentang adegan ciuman dalam film buatan sineas nasional, sebagai tuturan kisah percintaan orang-orang dewasa, maka saya kurang sreg, cenderung menolak.
Gimana ya? Karena secara tak langsung adegan ciuman seperti itu, bakal mengajarkan cara berciuman ala barat yakni bibir ketemu bibir, yang nggak cuman nempel antar bibir tapi bahkan sampai dikulum-kulum. Sehingga memungkinkan pertukaran percikan ludah, droplets.
Beda budaya memang. Jika di barat, ciuman dari bibir ke bibir, pria dan wanita, itu bisa dimaklumi sebagai; “ya biarkan saja, itu cara mereka". Juga, ditunjang dengan jenis olahan masakan yang mereka makan sehari-hari yang berkisar susu, keju, roti atau sayuran segar ala vegetarian.
Lha kalo di Indonesia? Aneka masakannya yang sambel bawang lah, sambel terasi lah, sambel tumpang lah, botok sarang lebah lah, orek kerang cumi lah, botok simbukan lah, jangan lodeh mblendrang lah.
Kebayang, hari-hari dapat asupan masakan yang demikian luas, terus diajarkan cara ciuman antar bibir.
Ya oke lah, mungkin di Indonesia cara ciuman bibir yang demikian sudah cenderung umum dilakukan, meski tak di tempat umum selayaknya di barat. Akan tetapi, ada satu lagi yang bagi orang-orang Indonesia, budaya ciuman bibir itu kurang pas dilakukan.
Karena kalo di barat, orang-orangnya sudah paham akan kesehatan gigi, mulai sejak belia. Sementara di Indonesia, kebanyakan orang-orangnya baru pada ke dokter gigi setelah ada keluhan.
Biasanya keluhan gigi bolong/krowok atau karang gigi ketebelan sampai terlihat kehijauan menyelip di antara gigi-geligi bagian depan. Juga, aktifitas scaling gigi (ngilangin karang gigi), masih belum menjadi pertimbangan rutin, bagi kebanyakan masyarakat Indonesia.
Gitu kok ya masyarakat Indonesia diajarin adab ciuman bibir via film-film buatan sineas nasional.
Djakarta-Hongkong-Macao (1968) tercatat sebagai film nasional yang memelopori adegan berciuman bibir. Foto sumber: Cuplikan Kanal Youtube - Falcon Djakarta Hongkong Macau
Dari segi kesehatan, maka ciuman bibir bagi masyarakat Indonesia itu malah berpotensi terjadi pertukaran zarah renik bakteri yang bersembunyi dibalik gidal karang gigi.
Saya juga sanksi leluhur orang Indonesia jaman dulu, punya budaya bercumbu, saling berciuman mulut. Karena, sejauh ini gambaran orang-orang saling memagut bibir belum ditemukan dalam relief-relief candi.
Selain itu, orang-orang dewasa Indonesia jaman dulu kegemarannya tiap hari mengunyah kapur sirih, menginang, nyusur. Mau ciuman mulut bagaimana, wong bibirnya pada belepotan warna merah semua.
…suara kincir angin dari gubuk sawah…
Sensasi Kisah Horor Klasik Nasional
Sekarang, mari kita kembali ke tujuan awal saya hendak berbagi kisah dan pengalaman perihal menikmati karya sinema bergenre horor, melalui siaran TVRI tahun 1978-an tersebut.
Jadi, film Dikejar Dosa yang dibintangi oleh aktris Paula Roumokoy dan drg. Fadly, berkisah tentang wanita muda penjual jamu yang diperkosa oleh sekelompok pemuda, bahkan pacarnya sendiri.
Karena hidup dari hari ke hari semakin tertekan, lalu si wanita ini pun mengakhiri hidupnya sendiri bersama benih yang dikandungnya, hasil perbuatan kriminal para pemuda tersebut. Arwah si penjual jamu itu pun lalu gentayangan, meneror kehidupan pemuda-pemuda itu, termasuk kekasihnya.
Kisah yang sangat mungkin terinspirasi oleh kisah nyata kasus Sum Kuning awal tahun 1970-an yang begitu menggemparkan secara nasional ini, menjadi film horor pertama yang menakutkan bagi saya.
Saat film Dikejar Dosa diputar di TVRI, waktu itu televisi kotak kayu di rumah saya masih hitam putih merk Sharp 17 inch. Biar agak ada sensasi warna, di bagian depan layar televisi ini, dicantolin layar mika warna biru.
Pas film itu diputar, ada 3-4 saudara saya yang menginap di rumah, karena liburan sekolah. Jadilah kami nonton bareng film horor nasional ini rame-rame sambil sesekali cekikikan saling menggoda.
Saya yang terhitung paling kecil, sangat ketakutan. Bahkan posisi saya membelakangi layar televisi, namun tetap tak beranjak dari kursi, mengikuti suara dan menebak-nebak jalan cerita.
Ada satu adegan mengerikan dalam film Dikejar Dosa yang sampai sekarang masih terbayang, yaitu suara kincir angin dari gubuk sawah tempat si penjual jamu gendong terkoyak masa depannya. Suara kincir itu begitu memilukan; “Nguk...Nguk...Nguuk..”
Dikejar Dosa (1974) karya sineas nasional berkisah tentang penjual jamu yang kehilangan masa depannya akibat perbuatan kriminal sekelompok anak muda. Foto sumber: indonesianfilmcenter.com
Berkali-kali suara itu ditampilkan selama perjalanan kisah cerita. Setiap ada suara itu, tanpa menoleh ke layar televisi, saya selalu bilang ke kakak-kakak sepupu saya supaya suara televisi dipelankan. Waktu itu, pada umumnya televisi belum ada remote control.
Seorang kakak sepupu saya mau memenuhi permintaan saya. Dia berdiri dari tempatnya duduk bersila, berjalan menuju kotak televisi, mengecilkan suara televisi dengan cara menggeser tuas pengatur volume ke arah kiri. Lalu dia duduk bersila lagi.
Pas adegan suara gubuk pilu itu selesai. Kakak sepupu saya itu pun berdiri lagi menuju layar televisi, menggeser tuas volume ke kanan. Suara televisi pun membesar lagi.
Selalu, tiap ada suara “Nguk…Nguk…Nguk,” tanpa menoleh televisi, saya minta tolong suara televisi dikecilin lagi.
Lama-lama mungkin kakak sepupu saya ini capek bolak-balik duduk berdiri buat besar kecilin volume televisi. Akhirnya dibiarkan saja film ini tayang dengan suara tuas volume tivi berada di tengah-tengah.
Bagi saya yang ketakutan, suara sebesar itu sudah meneror bayangan saya. Suara putaran kincir angin gubuk itu pun terdengar membesar; "Nguok! Nguok! Nguuook!!”
Saya tambah tak berani membalikkan badan melihat layar televisi. Tetap menghadap tembok di balik kursi yang saya duduki. Sambil merem, kadang menyerengai menahan rasa ngeri.
Tapi hingga akhir tuntas film ini berhasil saya ikuti. Ngeri, tak menghadap televisi, tapi terus saya ikuti. Aneh memang saya ini.
...segala urusan arwah itu dengan dunia fana, bakal putus.
Kreasi Horor Luar Negeri
Ternyata saya tidak kapok, malah ketagihan menikmati sajian karya-karya sinema berjenis horor, bersliweran hantu-hantu berpenampilan aneh dan unik, yang bisa meningkatkan adrenalin.
Seperti tayangan berjudul His House. Sebuah karya sinema yang mengisahkan sepasang suami istri yang terjebak dalam perang saudara di Sudan Selatan, Afrika. Mereka berdua lalu mengungsi, melarikan diri dari kecamuk perang saudara, hingga terdampar di Inggris.
Lalu, mereka ditampung oleh pemerintah setempat sebagai warga yang mengikuti program masa uji coba selama 3 bulan, sebelum diterima sebagai warga negara Inggris. Selama menjalani masa percobaan itu, keduanya mendapat fasilitas yang cukup lengkap, termasuk menghuni sebuah rumah tempat tinggal.
Kala menempati rumah tinggal itu, muncul keanehan-keanehan yang baru terungkap jelang akhir cerita.
Seru kisah His House. Mencekam dan memicu adrenalin saat menanti suara-suara yang penuh kejutan. Maklum, saya menonton film ini sambil menggunakan headphone, saat tengah malam, pas orang-orang rumah sudah pada tidur semua. Aura horor pun menjadi lebih sensasional.
Satu adegan dalam kisah horror mencekam His House pasangan pengungsi akibat peperangan yang terdera balas dendam arwah penasaran.
Kehadiran seorang aktor spesialis pemeran sosok aneh, yakni Javier Botet menjadi keunggulan tersendiri dalam kisah His House. Bentuk tubuh aktor yang saat belia terkena sindrom Marfan yang membuat postur tubuhnya tak normal, di mana kedua lengannya menjadi lebih memanjang, beserta jari jemari kedua tangannya.
Kekurangan fisik semasa anak-anak tersebut, ternyata kelak menjadi kelebihan bagi Javier Botet yang lalu melegenda sebagai sosok hantu dalam beberapa karya sinema horor yang fenomenal, mendunia.
Satu adegan klimaks tentang kemunculan sosok setan menyeramkan dalam His House.
Hanya saja memang, kisah-kisah dalam karya sinema yang bertema horor, jarang yang memiliki tuturan yang dalam. Seringkali alurnya ya arwah balas dendam, terus siapa saja mereka yang membuat si arwah marah, lalu dititili satu per satu.
Padahal ya, jika arwah sudah tercerabut dari badan, maka segala urusan arwah itu dengan dunia fana, bakal putus.
Ruh-ruh manusia pun bakal kembali pada-Nya, berbekal pilihan hidupnya selama di dunia dan doa anak-anak saleh. Jadi, semenakutkan apa pun film horor, tak bakal meruntuhkan ketakutan pada Sang Pemilik ruh.
Itu semua bisa diraih, ketika rasa ketakutan telah terbungkus oleh keimanan.