Kisah tersebut bukanlah kisah antara dayang dan pangeran, bukan juga kisah antara putri dan pedagang, namun kisah aku dan kau. 

Ini kisah kita berdua yang dihalangi oleh hierarki kehidupan. Aku tak menyangka akan peliknya keadaan yang menyulitkan. Sejenak kau berucap bahwa keadaan tak menjadi halangan untuk kita berkelana bersama. Harapanmu juga telah kucanangkan kala kau mendikte dengan sajak yang mengenyuhkan hati. 

Aku berusaha menaklukkan keadaan yang memang tak ingin diharapkan oleh semua orang. Aku juga berucap untuk menguatkan dengan berjanji untuk merealisasikan tak menghiraukan keadaan. Jujur, itikadku untuk menggali damai dalam gundah hatimu.

Aku tak menyangka keadaan akan menjustifikasi perasaan. Rupanya, intuisi ini memang hanya ada dalam adegan perfilman. Harapan yang berujung dengan kenyataan meski kondisi sosial berharap tak memungkinkan. Benar, si buruk dan si cantik bersatu hanya ada dalam adegan dan fiksi. 

Kau bisa membayangkan dan menenteramkan keluhan hanya dengan berendam dalam kubangan kembang orchid dan minyak zaitun. Sejenak kau mampu menetralkan gundah yang mengaum ingin menerkam. Meluluri diri dengan serbuk emas sebagai refleksi. Juga para dayang yang menjajakan segala macam camilan yang kau idamkan, mereka meng-iya-kan. Mencoba melupakan pahit dan getir layaknya hanya membolak-balik telapak tangan.

Perbedaan kasta sosial inikah yang tetap menjadi perdebatan. Kala sang pujangga dan sang kekasih ingin memadukan perasaan. Seharusnya tidak; sejujurnya jangan; sebaiknya hentikan. Aku berprasangka dan meletakkan isi kepadamu juga bukan karena keinginanku. Sama halnya denganmu yang berkeinginan dan berkesudahan hanya denganku. 

Itu bukan salahmu, itu bukan salahku, itu bukan salah kita, dan itu bukan salah siapapun. Karena bagaimana menyekat hadirnya perasaan dalam dua insan. 

Ini bukan dinding yang mampu dibangun dengan batu dan bata. Perasaan tak melarang hinggap di mana tempat yang paling nyaman untuk disinggahi, untuk ditempati. Sama halnya jejak yang tertinggal tak bisa dilarang mengikuti kaki yang melangkah. Ibarat pemburu yang sejak dahulu nyaman dengan senapan andalan sulit memproyeksikan senapan baru. 

Kondisi ini bukan menyoal penyesuaian dan kebiasaan karena itu merupakan alasan tak logis yang hinggap dalam ketidakmampuan mencerna masalah. Kondisi ini melebihi urgensi status dan hierarki yang selamanya menjadi perdebatan.

Apakah kau bisa berpikir jernih jika kepastian sebenarnya berada dalam nadir yang pedih? Aku tak menyangka jika cinta mampu diputuskan oleh pihak yang tak ikut mencinta. Pihak yang bahkan perasaan pun tak punya. Pedih untuk mengingatnya dalam keseharian, memendamnya dalam kesendirian. 

Tidak mengapa apabila perasaan mampu membaik hanya dengan melupakannya. Aku akan mencoba. Namun bagaimana cara melupakan hanya dengan memahaminya, tidak dengan merasakannya. Sulitlah! 

Kenangan yang telah kurangkai manis semasa dahulu sejenak dihujam tanpa jeda. Kau juga menikmatinya, bukan? Kemudian apa tanggapanmu sekarang? Apakah kau juga merasa luka, merebak hati tatkala tak ada restu yang keluar di antara kita. 

Ingin kusampaikan bahwasanya ini menyoal hati, namun dengan mudah penjagamu berkata; apakah putriku akan kau beri makan hati? Aku tak bergeming, aku tak memiliki alasan yang relevan karena suatu kondisi dan keadaan. Diri ini mengaku untuk kalah, berusaha mengelak dengan perasaan gundah. Meski demikian tak menemukan lagi jalan yang terarah. Aku pun pasrah!

Beda diri juga beda hati. Ada secercah sinar yang akan menerangi. Ada sebulir embun yang mampu mengaliri. Masih sama menyoal perasaan. Apalagi diilhami dengan apa yang kau katakan. Kau berkata;

“Jika memang apa yang kau rasa adalah yang terbaik, aku tetap menjaga hati ini hanya untuk orang yang terbaik.” Kau berkata demikian kuyakin tidak karena ingin menjaga perasaanku terhadapmu. Tidak pula untuk mendinginkan tensi yang sedang bergejolak. Aku percaya hanya karena kamu berkeinginan yang sama, untukku terus berusaha.

Aku juga berkata; “aku bukan manusia yang naif akan perasaan, tapi aku juga bukan orang yang gemar patah tatkala ada benturan. Aku akan berusaha, aku akan menjaga.”

Balasan ini yang memberikan penegasan bahwa aku juga tak perlu lagi untuk diam dan pasrah. Seperti masalah besar saja! Bahkan masalah besar pun masih ada jalan yang sempit, arah menuju penyelesaian. Apalagi masih menyoal perasaan, ada kala hati terkena ombak pasang akan pendirian, ada juga surut karena adanya kedaulatan. 

Aku memberanikan diri. Serasa kembali mendapatkan suntikan zat untuk kembali melapangkan pola. Menentukan bagaimana strategi untuk mencapai kemenangan, mendapatkan kebanggaan, dan memperoleh kebahagiaan. Untuk menatap dengan penuh arti. Untuk menjaga hati, dan sedikit mengaharap adanya imaji yang mampu menyelami pemikiran konkret dari penjaga sang putri. Inilah saatnya berserah kepada Ilahi

Jenjang dalam perasaan mengatup menutup empati
Tak memola dalam pemikiran hanya kerana hati
Riuh rendah tak sampai berprasasti; Esa melihat tak berimaji
Jejak pemikiran tentang gundah dan emosi

Aku menelungkup
Tak berani berprasangka perasaan dan bercerita
Senja menemukan harap yang tak tersampaikan
Perihal kedekatan rasa yang berbeda warna
Juga bayangan yang semakin hilang terterpa cahaya rembulan
Kelopak membantu menutupi bunga yang malu 

Tatkala buntu mencari yang baru
Bukan labuhan hati tapi jalan yang dicari
Jangankan hanya dengan perkataan untuk menolak
Dengan kekuatan pun aku siap bertindak
Masih ada yang mampu membolak-balik kan hari
Ku berserah kepada Ilahi