Menjalani masa kecil di Semarang adalah kenangan yang indah bagi saya. Kenangan itu masih membekas di ingatan. Ketika itu saya masih bersama orang-orang terkasih yang kini sebagian sudah meninggalkan dunia fana ini.
Setelah dewasa saya tidak tinggal di Semarang. Saya sesekali saja mengunjung kota Semarang karena masih banyak saudara dan teman yang tinggal di sana. Dalam perjalanan mengunjungi Semarang itulah saya mengalami beberapa peristiwa yang berkesan. Saya juga masih membaca berita tentang Semarang.
Banyak tempat wisata dan tempat publik yang sekarang sudah dibangun dengan megah dan indah di Semarang. Saya mengetahuinya lewat berita. Semua yang saya alami dan saya ketahui itu ingin saya tuangkan dalam puisi.
Lima dari puisi yang tertulis ini, nyaris masuk dalam sebuah buku antologi bersama 155 orang terpilih lainnya, namun entah dengan alasan apa yang termuat hanya puisi dari 146 orang saja. Puisi dari 9 orang lainnya digugurkan termasuk saya tanpa diberitahu apa alasannya.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk protes atau mengobati kekecewaan, tetapi untuk menghargai karya sendiri. Saya berpendapat bahwa apapun karya kita, maka kita harus memiliki kebanggaan diri atas segala upaya yang sudah kita kerjakan, dengan tetap rendah hati untuk menerima segala masukan dan kritikan.
Inilah puisi saya sebagai kenangan akan kota Semarang.
Jajanan Favorit
Lumpiah Semarang
Manis, gurih dibalut tepung tergoreng renyah
Hati sumringah membumbui setiap gigitan
Mengembang senyum kakek selepas mencari nafkah
Bandeng Juwana
Favorit keluarga
Riuh kami menyambutnya
Pengikat hati hingga silaturahmi terjaga
Wingko babat
Bentukmu bulat
Membuat kami tetap sehat dalam berkerabat
Kenangan
Menerawang dalam ruang berfatamorgana
Memanjangkan angan hingga tergapai rasa
Menyusuri kisah yang telah berjalan
Di kota tua bersejarah
Sepenggal angan mulai membuncah
Bersama orang-orang tercinta
Mencicipi aroma bukit Simongan
Berlomba bersepeda dan menyoraki tarian layang-layang
Menyaksikan orang mati dibakar api di Klenteng Sam Poo Kong
Bersendau gurau pada hamparan rumput berwarna coklat
Di kota Semarang
Pernah kutapaki hidup
Dari Bongsari menuju Karangayu
Merajut hari-hari bersamamu
Kadang ditemani abang becak yang santun dan lugu
Dan semua telah menjadi jejak yang indah dikenang
Kota Semarang
Karangayu, Johar, Bulu juga Kagok begitulah nama pasarnya
Penduduknya ramah bersahaja
Tugu Muda simbol perjuangannya
ATLAS menjadi semboyannya
Semarak laiknya metropolitan
Emosi, sedu sedan dan kesenjangan
Mewarnai kehidupan kota
Ambisi menyatu bersama empati hingga tampil berganti-ganti
Ruang tradisi menuju tereliminasi
Adu kemewahan dan kekuasaan tumbuh tanpa disadari
Masihkah ada orang-orang peduli
Hujan dI Semarang
Hujan di Semarang
Masih sama seperti hujan di semua belahan bumi
Titik-titik air yang hendak mencium tanah
Membangkitkan kenangan di setiap riuhnya
Hujan di semarang
Berbeda dengan hujan di Jakarta
Karena hujan di semarang
Airnya tak disuruh antre masuk ke dalam tanah
Hujan di Semarang
Berbeda dengan hujan di Surabaya
Karena hujan di Semarang membuat banjir lebih lama
Hujan di Surabaya banjir cukup dua jam saja
Hujan di Semarang
Berbeda dengan hujan di Bandung
Karena hujan di Semarang
Tak membuat warganya diminta berdoa agar banjir tak melanda
Hebatnya hujan di Semarang
Bisa mendatangkan penasehat Obama mengunjungi kota
Dan hujan di Semarang
Memang sudah musimnya
Jatuh Cinta
Tiba-tiba
Aku jatuh cinta
Pada Semarang
Karena lelaki itu
Menyukai bunga-bunga
Aku harus bagaimana
Dr. Kariadi
Peluru menembus dada
Tanda jasa untukmu pahlawan bangsa
Pertempuran lima hari
Merenggut nyawa
Tetapi tidak melenyapkan keberanianmu
Atas nama cinta pada negara
Dr. Kariadi
Kini namamu abadi
Kokoh berdiri sebagai tempat orang sakit terobati
Copet
Selembar undangan berwarna biru
Mengantarkan kami menuju kotamu
Turut menyaksikan kebahagiaan
di hari pernikahanmu
Melewati Banjirkanal menuju rumahmu
Menumpang bus malam dari sebelah Barat
Tatkala hari masih gelap
Copet menggasak uang di saku baju
Teriakan kami tersangkut di tenggorokan saat copet meminta dompet
Sebilah belati mengancam ulu hati
Beruntungnya kami
Copet turun di pinggir kali
Uang kami utuh tak tercuri
Copet kecele karena dompet yang kosong
Namun semua itu
Tragedi yang tak kami ingini
Mengenang Semarang di suatu hari
Penjual Sate Pincuk
Di depan gereja Blenduk
Ibu penjual sate duduk di bangku kayu
Menunggu sambil mengantuk
Berharap beberapa pincuk menjadi duit
Orang-orang lalu-lalang tertawa riang
Lewat bagai angin hanya embusan yang terasa
Menuju gedung sate sebelahnya
Gedung sate begitu ramai
Menjajakan kenikmatan dan kegagahan
Membeli kemewahan
Melewatkan kemanusiaan
Penjual sate dengan pincuk
Berlalu dengan menunduk
Berharap di tempat lain dia dapat menjual meski hanya satu pincuk
Seorang Pemuda
Pemuda bergelar sarjana
Hendak Menapaki panggilan hidup mengembara
Meninggalkan kota tercinta
Mengenggam sebuah harapan berdasarkan selembar kertas berlogo emas
Di stasiun Tawang
Bersama sebuah harapan baru
Musik keroncong mengiringnya pergi
Tanpa ditemani kekasih hati
Sang pemuda berjanji
Mempersembahkan pundi-pundi
Sepulangnya nanti