Tiba-tiba ingin buat tulisan tentang Rumi. Mungkin karena beberapa hari lalu saya menghadiri acara peresmian Rumi Institute. Atau mungkin karena teman saya, Mba Rifah Zainani, yang sangat suka puisi-puisi Rumi, pernah menghibur saya dengan puisi Rumi ketika saya lagi galau.
Mawlânâ Jalâl al-Dîn, yang lebih dikenal sebagai Rumi, adalah satu dari sedikit tokoh Muslim yang menjadi legenda dunia.
Hidup di era Islamic Golden Age, Rumi adalah seorang sufi penyair. Puisi-puisinya menginspirasi banyak seniman dunia dan tarekatnya—yang terkenal dengan tarian whirling darwis—diikuti oleh ratusan ribu atau mungkin jutaan orang hingga kini.
Lantas, apa yang ingin saya katakan tentang Rumi?
Tercermin dalam puisi-puisinya, Rumi dikenal sebagai pengusung Mazhab Cinta dalam ajaran tasawufnya. Namun, cinta yang dimaksud Rumi bukan cinta biasa. Cinta dalam versi Rumi adalah cinta yang “sunyi” dalam sebuah “ruang yang murni”.
Disebut “sunyi” karena cinta, bagi Rumi, adalah semata-mata “tindakan mencintai”. Bercinta dengan gaya Rumi adalah mencintai tanpa hasrat menguasai atau memiliki—juga tanpa berharap menerima cinta dari—objek yang dicintai. Bagi Rumi, cinta adalah cinta tanpa syarat.
Sebuah “ruang murni” menjadi tempat di mana tindakan mencintai itu berlangsung. Disebut “ruang murni” karena segala identitas partikular subjek pencinta ditanggalkan. Sepasang kekasih yang bercinta dengan gaya Rumi menghancurkan jati diri masing-masing dan melebur dalam “Kita”, sehingga tak ada lagi “Aku” dan “Kau”.
Cinta tanpa syarat dari Rumi adalah cinta yang membebaskan objek yang dicintainya. Ruang murni adalah cermin dari universalitas, di mana perbedaan-perbedaan partikular yang membentuk identitas manusia dan membuat manusia hidup dalam berbagai batasan—ras, kelamin, etnis, gender, agama, kewarganegaraan, dan sebagainya—dicoba untuk dilampaui.
Sangat wajar bila kita, yang sudah jengah dengan berbagai “konflik perbatasan”, menaruh harapan pada perspektif cinta yang ditawarkan Rumi.
Apa yang mau dipertengkarkan jika tak ada lagi identitas partikular, jika aku dan kau tidak ada? Apa yang mau diperebutkan jika tak satu pun dari aku dan kau memiliki apa pun yang ada di dunia—bahkan aku tak memiliki diriku dan kau tidak memiliki dirimu?
Jika sejak kini hingga masa depan setiap orang memaknai cinta sebagai cinta tanpa syarat—sebagai semata-mata tindakan mencintai, memberikan cinta tanpa berharap menerima cinta; membebaskan, bukan menguasai objek yang dicintai—maka tentu tidak akan ada lagi pertengkaran antara suami dan istri, perebutan warisan di antara anggota keluarga, pertikaian klaim kebenaran antarumat beragama, dan perebutan sumber daya.
Cinta tanpa syarat dari Rumi adalah penghancuran atas klaim kepemilikan atas diri maupun properti. Sepasang kekasih tidak akan menghalangi pasangannya masing-masing untuk bercinta dengan orang lain, karena cinta bersifat universal dan tak dapat dibatasi kepemilikannya.
Juga tak akan ada lagi tuan tanah dan petani penggarap, tidak akan ada lagi majikan dan buruh, tidak akan ada lagi kaya dan miskin, karena tidak ada lagi diriku maupun dirimu, tidak ada lagi milikku maupun milikmu. Tidak ada apa pun.
Inikah dunia yang diidamkan Rumi? Jika bukan, apa gerangan yang dia maksudkan?
Bukankah dunia seperti ini terlalu indah untuk menjadi kenyataan, atau justru, pada saat yang sama, terlalu buruk bahkan untuk sekadar dikhayalkan? Bukankah, seperti kata Rumi, kita harus melampaui bagus dan buruk, baik dan jahat?
Atau kita justru harus memulai dengan mempersoalkan “ruang murni”. Apakah ia sebuah tempat? Sebuah kondisi? Atau yang dimaksud Rumi dengan “ruang murni” adalah sebuah “tempat yang sekaligus bukan-tempat”, “bukan-tempat yang sekaligus adalah tempat”, “kondisi yang sekaligus bukan-kondisi”, “bukan-kondisi yang sekaligus adalah kondisi”?
Sebuah khôra (χωρα) mungkin, jika kita meminjam istilah Platonik yang dipinjam oleh Derrida. Dan jika ini benar, jika “ruang murni” adalah sebuah khôra, maka dunia idaman Rumi mestilah sebuah dunia Platonik, sebuah dunia-mendatang—dunia yang kehadirannya (its presence) dalam kekinian (present) selalu berjarak dalam ruang dan tertunda dalam waktu, differânce.
Cinta yang ditawarkan Rumi adalah cinta yang menyepi dalam kesunyian, berjarak, dan tertunda kehadirannya dalam kenyataan. Cinta yang ditawarkan Rumi bukanlah cinta yang sepenuhnya tanpa syarat, karena “ketanpasyaratan” itu sendiri—“kesunyiannya”, “kemurniannya”, “ke-kita-annya”—adalah “syarat-syarat” kemungkinannya.
Pertanyaannya, seberapa bisa kita, manusia, memenuhi syarat-syarat tersebut dengan segala implikasinya?
Itulah yang bisa saya katakan tentang Rumi.
Menutup tulisan ini, saya lampirkan contoh puisi dari Rumi, yang mengungkapkan cinta, kesunyian, dan kemurnian dalam bahasa puitisnya sendiri.
“I choose to love you in silence…
For in silence I find no rejection,
I choose to love you in loneliness…
For in loneliness no one owns you but me,
I choose to adore you from a distance…
For distance will shield me from pain,
I choose to kiss you in the wind…
For the wind is gentler than my lips,
I choose to hold you in my dreams…
For in my dreams, you have no end.”