Banyaknya selebrasi tanggal-tanggal tertentu kadang seolah menciptakan rasa nasionalisme dadakan. Beberapa tanggal hanya sanggup menimbulkan gugatan! Sebab, dalam tanggal-tanggal itu ada selebrasi atau perayaan tanpa makna yang berarti.
Dimulai dari tanggal perayaan hari lahir Pancasila, kemerdekaan Indonesia, bahasa, Sumpah Pemuda, dan perayaan Pahlawan. Berapa orang dari kita terjebak dalam tanggal-tanggal tertentu supaya merasakan Indonesia atau ‘sok Indonesia’.
Rasa ‘sok Indonesia’ atau ‘nasionalisme dadakan’ itu cukup satu hari saja tanpa disertai makna mendalam. Dalam tanggal sakral selebrasi, ada buncahan ekspresi dan kata-kata yang mewarnai, khususnya bisa kita ulik lewat media sosial.
Melalui media sosial instagram dan facebook, orang-orang mulai berbondong-bondong melakukan pelabelan diri dengan ‘Saya Indonesia, Saya Pancasila’. Orang disibukkan mengganti foto diri, dibubuhi ucapan-ucapan tertentu yang agaknya ‘sok merasa paling cinta Indonesia’.
Kita dapat berprasangka, ini dilakukan supaya meredam isu-isu kebangkitan PKI. Walhasil, orang jadi mudah berkobar menyatakan keinsyafan dirinya dan menjadi seorang Pecinta Indonesia. Alih-alih menciptakan ‘orang kekinian’, yang gemar mengumbar tulisan bernada bijak. Belagak macam pejabat-pejabat bila ada hari besar nasional. Cukup diiringi senyuman dan kata “Selamat hari blablabla”.
Padahal, tentu kata-kata yang tertuang tak lebih dari perayaan simbolis semata. Kita tak akan mencoba merayakan hari-hari ‘sok nasionalisme’ itu dengan adanya diskusi tertentu yang membicarakan keindonesiaan. Kita cuma sibuk dengan mengganti-ganti foto diri dan ucapan yang boleh jadi terjangkit perilaku dari para pemegang jabatan.
Kita jadi ikut-ikutan keriuhan perayaan tanggal-tanggal tertentu, yang barangkali, tidak tahu substansinya. Agak mengecewakan saat hanya ada kata-kata ‘sok bijak’. Kita lupa atau bahkan tidak tahu akan tindakan atau peristiwa dijadikan hari perayaan. Hal yang paling mudah dapat kita ulik dari peristiwa perayaan sumpah pemuda.
Bila kita masih ingat bait-bait dari Soempah Pemoeda: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia/Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe/bangsa Indonesia/Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Ini ialah naskah Sumpah Pemuda yang diikrarkan oleh perwakilan pemuda Indonesia. Meski sayangnya, dalam peristiwa ini pemuda-pemuda tidak fasih berbahasa Indonesia. Ini diungkapkan di esainya Mutimmatul Nadhifah dalam buku Penimba Bahasa. Ia menyatakan bahwa “Pada tahun 1928, sumpah pemuda tidak hadir dengan bahasa Indonesia, tak ada pula putra dan putri Indonesia fasih yang bisa fasih berbahasa Indonesia.” (Hal. 13).
Kita musti mahfum kepada mereka yang tidak fasih berbahasa Indonesia. Dikarenakan mulut sudah terlanjur mencecap bahasa Belanda. Bahasa Indonesia juga baru diwacanakan untuk diterapkan. Walau wacana berbahasa Indonesia tak kunjung jua bisa direalisasikan dengan baik.
Kita bisa melacaknya dari pengunaan kosakata asing dalam pelbagai pidato Soekarno. Bila kita telaah, tentunya pidato Presiden Soekarno mengisyaratkan bahasa Indonesia yang belum sepenuhnya digunakan. Namun, kita harap maklum! Kita dapat berprasangka kalau bahasa Indonesia kosakatanya tidak cukup memberikan gambaran atau pengertian dengan yang dimaksud pembicara.
Sudah beberapa dekade telah berlalu dan beberapa tanggal perayaan sumpah pemuda telah dilaksanakan. Bahasa Indonesia pun telah banyak memberikan kosakata baru. Diharapkan dengan upaya ini, membuat gaung bahasa Indonesia dapat diucap lagi para pemuda. Tetapi tak ternyana, kosakata ini memasygulkan telinga para pemuda.
Kita akan aneh mendengar kosakata Perundungan, swafoto dan gawai tidak marak digunakan pemuda. Kita tentu lebih akrab dengan kata Bullying, Selfie dan Handphone. Otak sudah terkoneksi segera menyimpan kata-kata asing. Mulut pun terlanjur gatal untuk segera melafalkan bahasa asing itu. Maka, ini boleh jadi berikan pesan, kita terlarut lewat nuansa zaman sekarang yang tak hadirkan bahasa Indonesia.
Kita barangkali sadar, selebrasi sumpah pemuda yang telah usai tak kunjung berikan kita terapi kejutan. Kita musti menelan kenyataan pahit, bahasa Indonesia masih dipinggirkan. Mulut-mulut pemuda pun seakan wajar bila tidak lagi fasih menggunakan bahasa Indonesia. Pemuda lebih suka berbahasa asing.
Mitosnya, dengan berbahasa asing, kita dapat terlihat modern dan berintelektual. Jika sudah berpikir seperti itu, maka pemuda tentu tidak tertarik mempelajari bahasa Indonesia. Barangkali bahasa Indonesia dianggap tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bahasa Inggris, Prancis, Belanda, Cina atau Jepang. Kita mendiskreditkan bahasa Indonesia di dalam otak bangsanya.
Lebih mengenaskan lagi ketika kenyataan dunia kerja mewajibkan kita bisa bahasa asing dengan fasih. Alhasil, orang-orang tentu orang lebih memilih les mahal dengan jaminan bisa casciscus berbahasa asing. Dibanding memberikan les untuk bisa berbahasa Indonesia.
Kembali lagi bahasa Indonesia sudah lazim di anak tirikan oleh bangsanya sendiri. Ini diperparah dengan kebiasaan pemuda pun semrawutan dalam berbahasa. Kita lebih suka seenak jidat mencampur adukan bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Dalihnya, supaya bisa diucapkan lebih kekinian.
Bahkan lebih parahnya, beberapa waktu yang lalu aplikasi instagram menyumbangkan kalimat baru dengan sebutan “Kids Jaman Now”. Yang tentunya sangat merusak kaidah berbahasa Indonesia.
Tapi tetap saja kita membuat kata-kata merusak kaidah itu viral dan seakan dianggap sebagai lelucon saja. Kita mungkin cukup terperenyak saat muncul artikel buatan guru SMA Labschool Jakarta, Satriwan Salim berjudul Teacher dan Parent Zaman Old, Mendidik Kids Zaman Now (Republika, Sabtu/ 04 November 2017).
Tentu dari judul kita dapat menerka penulis sangat memperhatikan bahasa kekinian. Sehingga, membuatnya ikut-ikutan latah dan terbawa arus menggunakan kosakata itu. Boleh jadi ini juga membuktikan selebrasi atau perayaan pada tanggal hanya menjadikan kita seolah merasakan ‘nasionalisme dadakan’ tanpa memaknai cara berbahasa Indonesia. Kegiatan sehari itu pu tentunya cuma cukup memberikan konsekuensi berupa keriuhan ucapan ‘selamat’ saja.
Bila para perwakilan Sumpah Pemuda ini dihidupkan kembali, bisa saja mereka lebih histeris. Sebab, penjajahan sudah merangsek dalam otak-otak pemuda Indonesia lewat bahasa. Mereka tidak lagi berbangga bisa berbahasa Indonesia.
Berbeda halnya dengan Berthold Damsäseur, ia adalah dosen bahasa Indonesia di Jerman. Berthold sangat tertarik dengan bahasa Indonesia. Walau ia menyadari banyak hal yang ambiguitas dalam kosakata bahasa Indonesia. Segala keambiguannya dituliskan dalam bukunya berjudul Ini dan Itu Indonesia.
Ia begitu bangga bisa berbahasa Indonesia, bahkan saat berbicara di suatu acara ia tidak mencampur adukan bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Bisa jadi, cara bertutur Berthold lebih fasih berbahasa Indonesia ketimbang warga Indonesianya sendiri.
Di generasi sekarang pemuda-pemuda rentan meributkan dirinya yang ‘paling layak dikatakan warga Indonesia’. Namun, dengan diiringi kecacatan tidak fasih berbahasa Indonesia atau tidak tahu sejarah bangsa dan negaranya. Sebab, bila kita cermati, dari bahasanya saja, kita akan menelan kecewa.
Dikarenakan kita para pemuda masih terlelap dengan kepahlawanan bahasa asing. Otak kita sudah terlanjur terasumsi bahwa bahasa asing lebih baik dari bahasa Indonesia. Kalau perlu, bahasa Indonesia hanya dijadikan sampingan dalam pembelajaran. Sebab, di dunia kerja syaratnya fasih berbahasa asing menjadi lebih bernilai. Jadi, pemuda tak perlu repot lagi berbahasa Indonesia. Mirisnya!