“Matilah kau! Matilah kau! Matilah kau!” Itulah kalimat terakhir yang kukirimkan untuk mengikuti disetiap langkahmu. Kupikir aku harus mengutuk saudaraku sendiri. Kau tahu tidak, sebenarnya kau sudah mati, sesaat setelah kau memutuskan untuk pergi menempuh perjalanan untuk menumpahkan semua tanda tanya yang kau tinggalkan di sini.
Kemarin tepatnya ketika kau memutuskan untuk pergi meninggalkan kami, Aku, Ibu, dan adik bungsumu Tenri, di ujung pelabuhan ini, kutemukan seseorang yang sudah mati namun terus berjalan karena terbawa arus. Seperti apakah dirimu yang tega melakukan itu?
Kata ibu, kau adalah satu-satunya anaknya yang sangat diharapakan kehadirannya di rumah ini, bahkan di pulau ini lantaran kau lahir tepat sebelum badai besar mulai pergi menjauh. Orang-orang di desa ini juga percaya bahwa kelahiranmu membawa berkah dan keajaiban bagi seluruh penduduk pulau. Itulah sebabnya ibu sangat menyayangimu ketimbang aku yang lahir dua tahun setelahmu dan adik bungsu kita yang lahir lima tahun setelah kelahiranku.
Kau ingat cerita ibu mengapa pulau ini disebut Pulau Biccu’. Yah karena memanglah pulau ini kecil, dan akan dapat menelan semua penduduk desa dalam sekali libasan badai, hanya saja setelah kelahiranmu semuanya berubah menjadi lebih tentram dan damai seolah tidak pernah ada musibah besar yang pernah datang mengunjungi pulau ini. Bagi penduduk pulau, kedamaian dan masa depan kita semua dipulau ini ada ditanganmu.
Terkadang aku berpikir itu terlalu berlebihan jika semua penduduk pulau ini beranggapan seperti itu, tidakkah mereka percaya ada kekuatan yang lebih besar dari segalanya, ada kebahagiaan yang lebih besar ketimbang semua kebahagiaan yang kita alami sekarang? Tidakkah mereka percaya yang kita sebut dengan Tuhan?
Pernah sekali kudapati diriku berdiri tepat di belakngmu dengan mata yang terus kutancapkan memperhatikan setiap gerakan-gerakan yang kau lakukan di hadapan sebuah patung. Dengan mata yang terus mengisi kepala ini dengan tanda tanya kuperhatikan terus setiap gerakanmu, aku pikir kau hanya senam pagi seperti yang biasa dilakukan oleh ibu-ibu setiap hari jumat pagi didepan kantor desa.
“Roso, apa yang kau lakukan?”
“Berikanlah aku kekayaan, berikanlah aku kekuasaan.” Tak ada jawaban. Sepenggal kalimat itu sempat singgah ditelingaku sebelum berlanjut dengan komat-kamit yang tak kupahami artinya. Setelah kau pergi, baru saat ini kuketahui ternyata di balik semua kekayaanmu dan kekuasaanmu di pulau ini ternyata kau adalah orang yang menyembah pada sesuatu yang kau buat sendiri.
Aku tidak mencela kepercayaanmu saudaraku, hanya saja aku belum menemukan sesuatu yang tepat untuk menjawab semua kebingunganku tentang kekuatan-kekuatan yang ada diantara hal-hal yang sulit dijangkau oleh indra manusia.
Sebelum kukirimkan surat ini kepadamu kakak pertamaku yang entah dibawa kemana oleh kapal Phinisi itu, aku harus beberapa kali membaca dan menghapus sebagian kata-kata yang menurutku dapat menenangkan hidupmu. Ku tak ingin ada sedikit pun kata-kataku yang tidak mengutukmu.
Tangan kecilku harus lebih sering menari dan terus menggoda mataku untuk melotot lebih dalam lagi memperhatikan setiap kata yang dituliskan pena di atas selembar kertas ini. Di balik semua itu aku hanya ingin mempertanyakan satu hal, Tidakkah kau ingin kembali ke pulau ini agar kedamaian kembali menyertai kita semua?
Sebenarnya banyak sekali hal yang ingin kuceritakan kepadamu, hanya saja jika surat yang pertama kukirimkan kepadamu sampai saat ini belum juga terbalaskan, sepertinya aku harus berpikir dan terus memikirkan lagi menceritakan semua perihal yang ada dikepala dan didadaku ini untukmu.
Pulau ini kembali dikunjungi oleh badai yang pernah mesra menyapa setiap penduduk tepat sehari setelah kepergianmu, terkadang aku terpaksa percaya bahwa ada keajaiban dalam dirimu dan terkadang aku tergoda untuk melakukan penyembahan seperti yang terus kau lakukan dahulu.
Kau tahu tidak, sekarang Tenri baru saja menyelesaikan masa studi SMA di kota. Tahun depan ia harus melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Namun kupikir Tenri harus mengubur dalam-dalam mimpinya itu untuk masuk ke perguruan tinggi, biaya kuliah sekarang sangat melangit dan tidak ada tempat bagi keluarga seperti kita untuk masuk ke perguruan tinggi. Sebab tidak ada ruang pendidikan tinggi bagi keluarga dengan ekonomi dibawah garis kemiskinan.
Sebenarnya aku ingin mengajakmu berjalan-jalan kembali menuju masa kecil kita. Waktu kecil aku selalu mendapati diriku menumpahkan semua lautan yang ada di mataku lantaran cemburu terhadap kasih saying yang jauh lebih besar ditunjukkan ibu kepadamu ketimbang kepadaku maupun Tenri.
Dengan suara tangis tersedu-sedu aku menanyakan kepada ibu: “Ibu, kenapa ibu jauh lebih sayang kepada kak Roso daripada aku, aku juga anak ibu kan?” Ibu dengan senyumannya yang dapat menenangkan jiwaku lalu menjawab, “Nak, Ibu sayang kalian semua,” sambil mengusap kepalaku yang terbaring di paha kirinya dan kau berada di paha kanannya sedang Tenri tertidur nyenyak di ayunannya.
Tidakkah kau ingat betapa besarnya kasih sayang ibu kepada kita semua dan menurutku, kasih sayangnya jauh lebih besar kepadamu. Tetapi kenapa kau rela pergi meninggalkan kami semua dengan hidup terlantar seperti ini? Di mana kau sebenarnya?
Tidakkah kau pikirkan berapa hati yang kau tinggalkan terluka dan berapa kepala yang kau tinggalkan dengan tanda tanya di pulau ini setelah kau pergi? Kau tahu, punggungmu adalah tanda tanya yang tak pernah sempat kujawab.
“Kak Roso, kupikir kau harus membaca surat ini! Surat ini ditulis Kak Marwan untuk dikirimkan kepadamu setalah kau benar-benar pergi dahulu meninggalkan kami. Hanya saja ia tidak pernah benar-benar ingin mengirimkan surat ini kepadamu setelah surat pertama yang dikirimkannya kepadamu tak pernah terbalas. Lalu untuk apa kau kembali sekarang?” bendungan di mata Tenri mulai jebol dan membanjiri pipinya.
“Kak, kami semua bingung dan terus bertanya-tanya kenapa waktu itu kau pergi meninggalkan Kak Marwan, Aku dan Ibu di saat keluarga kita dikucilkan oleh penduduk pulau. Kami tidak pernah tahu apa yang telah keluarga kita ini lakukan sehingga semua penduduk pulau begitu membenci keluarga kita, Katakan sejujurnya, apa yang telah kau perbuat, Jawab aku, apakah kau benar-benar bersekutu dengan iblis untuk memperoleh kekayaan dan kekuatan?”
Roso hanya terdiam dan terus menunduk sambil menunggu kata-kata apa lagi yang ingin disampaikan Tenri kepadanya. Sedangkan Tenri terus berusaha menyampaikan semua keresahannya pada kakaknya meski setiap kata yang ingin diucapkan terasa begitu berat hingga tak ada lagi kata yang disampaikan Tenri.
“Tenri, Marwan dan Ibu mana?” Roso mulai mengungkapkan kata dengan sebuah pertanyaan. Tangis Tenri tambah tak terbendung setelah Roso menanyakan keberadaan Marwan dan Ibunya.
“Ib ... Ib … Ibu dan kak Marwan sudah pergu.” Roso lalu memeluk adiknya, Tangis pecah di tengah-tengah rumah mereka. Roso menyesali tak pernah sempat menjelaskan mengapa dulu ia meninggalkan keluarganya dan hanya menyisakan tanda tanya. Juga menyesali ternyata punggungnya adalah hal terakhir yang ia perlihatkan pada keluarganya. Dengan tangisnya Roso terus mengutuk dirinya. “Matilah aku, Matikan Aku!”