Suatu pagi yang indah di Nabire. Saat itu aku duduk membaca koran di Oyehe, di emper toko, menghadap jalan. Ketika semakin banyak orang berbondong-bondong menuju pelabuhan Samabusa, aku semakin penasaran. Semua orang; tua dan muda, lelaki dan perempuan, pelajar dan mahasiswa. Setiap orang dari mereka memakai pakaian kebanggaan.

Tampak para imam berjubah, menuju Samabusa. Para pelajar dengan seragam sekolah mereka yang merah putih itu, juga menuju ke sana. Pelajar SMP dengan seragam putih biru. Juga SMA. Para mahasiswa Uswim, Akper, dan mahasiswa Teologi di Sekolah Tinggi Teologia, semua dengan kemeja menuju Samabusa.

Para mama penjual sayur, mereka membawa serta barang dagangannya menuju Samabusa. Para nelayan juga. Mereka meninggalkan jala dan perahu mereka, bukan untuk mengikut Yesus seperti cerita Alkitab. Mereka menuju Samabusa.

Para guru pun turut serta. Mereka meninggalkan semuanya, hanya dengan tas kecil mereka juga berjalan  menuju Samabusa. Aku berdiri dan kemudian berjalan ke arah terminal, melewati tengah pasar.

"Kok, sepi sekali ya?" selorohku pada beberapa penjual baju dan penjahit sepatu asal Makassar dan Jawa itu.

"Mengapa kau tidak ke Samabusa? Semua orang asli Papua menuju Samabusa."

Aku tertawa kecil saja mendengar ocehan ini dari seorang penjual. Aku sedari awal bingung dengan orang-orang yang menuju Samabusa ini. Lelaki paruh baya yang bertanya padaku tidak tersenyum, dan aku dengan segera menghentikan senyumku.

"Mereka pergi ke Nabire Baru."

"Nabire Baru? Maksudnya Nabire yang baru to? Di mana?"

"Pergi saja ke Samabusa. Kau akan tahu. Nabire Baru itu di Papua Baru."

"Mengapa harus ke Papua Baru?"

Lelaki itu diam tak bicara. Mengangkat bahu dan melepas nafas berat, tanda tak tahu. Aku semakin tak mengerti, dan kutinggalkan lelaki ini yang tersenyum sinis melihatku pergi dengan bimbang. Aku kemudian tiba di terminal Oyehe. Tak kutemui aktivitas di terminal ini, terminal yang biasanya sangat ramai oleh aktivitas ratusan manusia dari berbagai suku bangsa.

Aku menjadi semakin bingung. Taksii-taksi kota dan motor-motor ojek berjejer di terminal. Kulihat seorang pemuda asli Nabire menepikan taksi yang dikemudikannya, dan ia pun bergegas menuju Samabusa. Kucegat dia.

"Sobat, ke mana?"

"Samabusa. Ayo, kita sama-sama." Dia mengajakku.

"Mengapa semua orang ke sana?"

"Ayo. Nanti kita ketinggalan kapal. KM. Perubahan tak biasa menunggu lama." Ia tak menjawab pertanyaanku.

Aku masih tetap tak mengerti. Pemuda ini tampak tergesa-gesa. Tampak dari caranya menjawab cepat-cepat pertanyaanku, dan langkah kakinya yang dipaksakan panjang menuju Samabusa. Aku berjalan kaki menuju KMB, sebuah tempat nongkrong samping Tugu Jam Nabire, depan SMP St. Antonius. Di sana teman-teman SMA biasa kumpul.

Sampai depan kantor bupati, kulihat para pejabat di lingkungan pemerintahan Kabupaten Nabire, para pimpinan SKPD, kepala-kepala bidang, kepala-kepala dinas, para anggota DPRD, semua apel pagi di depan kantor bupati.

Tampak di depan, sang Bupati memberi arahan. Aku menepi sejenak. Barangkali ada keterangan yang dapat menjelaskan perihal semua yang kulihat aneh pagi ini, pikirku.

"Setelah ini, kita semua akan menuju Samabusa."

Itu kata-kata dari bupati. "Kita akan menempati Dek Pemerintahan. Kita akan berkantor di sana. Jadi, walau di dalam kapal, pemerintahan akan tetap jalan." Aku semakin tertarik untuk mendengar uraiannya lebih dalam lagi.

"KM. Perubahan akan dinahkodai langsung oleh gubernur Papua dan Papua Barat. Jadi, di dek Pemerintahan, kita akan berkantor bersama dengan para bupati dan walikota dari seluruh tanah Papua. Pemerintahan akan tetap jalan di dalam kapal, sampai kita tiba di tempat tujuan, Papua Baru."

Bupati terus melanjutkan. Kini aku mengerti alasannya. Tanah ini harus steril dari manusia-manusia asli Papua. Ada banyak perusahaan yang mengantri membentuk daftar panjang untuk beroperasi di tanah ini, dan manusia Papua dengan klaim-klaim tanah adat tidak memungkinkan eksploitasi demi dunia yang lebih baik lagi itu.

Kebun-kebun milik orang Papua dirasa tidak lagi penting di era ini karena jauh di dalam tanah tempat kebun itu, ada yang lebih berharga: emas, tembaga, uranium, nikel dan mineral lainnya. Itu yang mestinya dieksploitasi.

KM Perubahan didatangkan atas inisiatif Amerika Serikat dan dijalankan oleh Indonesia untuk memindahkan orang Papua ke Papua Baru, sehingga tanah Papua lama memungkinkan untuk dieksploitasi dengan bebas tanpa ganggungan.

Aku diam membatin. "Jadi, tanah ini kita tinggalkan?"

***

Di pelabuhan, sebuah kapal raksasa telah menepi. Kapal berwarna putih, dengan tiang-tiang dan gerbong asap berwarna merah. Ada bendera negara Indonesia berkibar gagah. Lebih gagah lagi bendera Amerika Serikat, karena ukuran benderanya lebih besar di kapal ini.

Semua terlihat terang. Hanya kontras dengan manusia-manusia yang berjubel dan berdesak-desakan menaiki kapal ini berkulit hitam, berambut keriting. Juga kepulan asap hitam yang membubung menghiasi udara Samabusa lama.

"Bapa, mengapa kau ingin pergi? Bukankah kau memiliki hidup baik di sini?"

Kuajak ngobrol seorang lelaki tua. Ia kupapah karena beresiko tinggi di tengah kerumunan orang yang berdesak-desakan, berebut menjadi yang pertama menaiki KM Perubahan.

"Di sini kalau mau makan harus kerja terus, tapi hasil sedikit. Di kapal, dapat bagi makan gratis. Sisa hidup saya biar di kapal ini. Katanya juga, di Nabire Baru, semua akan disediakan." Aku mengangguk-angguk kepala saja, walau tidak menerima soal tersedia dengan sendirinya yang terkesan berada di negeri sulap.

KM Perubahan sudah stom untuk pergi. Tangga naik sedikit lagi akan ditarik. Aku yang tak ingin naik sekarang dipaksa para penjaga pelabuhan ini. Ketika aku melawan, tangan dan kakiku diborgol, lantas aku diseret naik menuju kapal. Pelan-pelan, kapal lepas dari Pelabuhan Samabusa.

Di sana aku bertemu dengan banyak orang yang kukenal. Mereka membuka borgol dengan kunci yang telah diberi. Setelah aku lepas, segera aku ke kafetaria. Ketika aku memesan makan, mereka menyodorkanku sebuah selang kecil.

"Sedot saja. Gratis, kapan pun kau lapar."

Ketika kusedot, yang keluar adalah darah, comotan otot dan serpihan daging. Aku menjadi mual karenanya dan muntah-muntah.

"Kau belum terbiasa. Nanti juga terbiasa. Nikmati saja. Gratis, tanpa bayar kok." Dan dua penjaga kafetaria ini menertawakanku. Aku kesal dan balik menuju tempatku. Di sana, aku langsung tertidur. Aku bermimpi, dan barangkali penting buatmu juga mengetahuinya.

***

Sayup kudengar jerit dan tangis seorang perempuan. Ia berteriak kesakitan. Ia menyebut setiap kami, marga-marga di tanah Papua satu per satu. Tiba-tiba saja kusadari, aku memiliki sayap. Segera aku terbang menerobos kawanan awan mendekati asal suara itu.

Ketika teriakan-teriakan kesakitan itu kurasakan tepat di bawahku, aku menikam turun. Dan kudapati tanah Papua penuh dengan orang dari berbagai suku bangsa di dunia. Ada orang Amerika, orang-orang dari Eropa, dari Jepang, Korea, Singapura, Australia, juga Indonesia. Mereka begitu cepat datang ke tanah ini sepeninggal orang Papua yang kini tengah berlayar ke Papua Baru.

Kini kupandangi hutan Papua digunduli, dibabat habis jadi kayu gelondongan, serbuk kayu dan furniture oleh orang-orang itu dengan rakusnya. Ratusan pipa besi menancap ke bawah, menghujam, menerbos daging tanah ini. Minyak bumi bercampur darah keluar, ditampung, dialirkan ke pabrik, hingga menghasilkan berjenis-jenis minyak.

Di sebelah lainnya, ada banyak alat-alat berat sibuk menggali dan menggali. Emas dan tembaga, mineral lainnya diambil serta. Lelehan liur di mulut setiap mereka di tanah ini sudah cukup menggambarkan begitu rakusnya mereka.

Di bibir-bibir pantai, kulihat setiap negara punya pelabuhan sendiri. Di pelabuhan yang lebih besar, kulihat bendera Amerika, bendera yang ada juga di kapal putih itu, berkibar gagah. Mereka mengangkut semua itu.

Air mata darah menetes dari tanah ini disertai teriakan kesakitan. Tangan dan kaki tanah ini terantai. Ia tak lagi dapat bergerak. Bayangkan saja, ketika ratusan pipa besi menembusi tubuhnya yang molek, ditelanjangi, dicomot, dibacok dan ditikam dengan ratusan besi-besi kuat ini, siapa pun dia tak akan berdaya.

Dan semakin lama, kudengar erangan kesakitannya semakin melemah, semakin lemah, hingga hilang. Aku merendah, terbang lebih dekat lagi, dan kulihat tubuh tanah ini kaku tak bergerak. Matanya yang basah telah tertutup.

Sebuah pipa raksasa, yang lebih besar dari semua pipa yang ada, kemudian menembusi jantungnya. Dan dari ujungnya, menyemburlah darah segar. Seperti mata air. Subur, seakan tak akan berkesudahan.

Darah yang menyembur dari pipa raksasa itu menuju bak raksasa. Dari sana, darah langsung mengalir melalui puluhan pipa kecil menuju bak penampungan masing-masing negara. Dan dari ratusan bak yang lebih kecil ini, sebuah pipa masuk melalui lautan menuju utara.

Kuikuti saja pipa itu, hingga kutemui pangkalnya di KM Perubahan. Ternyata dek Gudang Makanan seluruhnya adalah tabung yang menampungnya. Dari dek ini, ada jutaan selang-selang kecil menuju kepada setiap orang Papua. Kini kulihat setiap orang Papua seperti anak-anak babi yang sedang menyusu, berjejer menghisap pipanya sendiri-sendiri dengan sama rakusnya pula. Walau aliran darah semakin macet-macet.

Di sana, tanah Papua, ia semakin menggelepar-gelepar tanpa mampu mengeluarkan erangan kesakitan lagi saat dunia menghisap nadinya.

"Hei, bangun." Aku kaget bangun, dan kudapati diriku sesak nafas. Aku segera dilarikan ke ruang perawatan. Para perawat dengan senyum, menganggap remeh sesak nafasku dengan memberiku sebuah selang kecil untuk kusedot dengan mulut.

"Minumlah sebanyak mungkin. Setiap kau lapar, sedotlah sari makan dari selangmu, biar bertahan hidup hingga ke Papua Baru."

Aku mengangguk saja, walau kini kusadari, aku mungkin sudah tak waras lagi di tengah-tengah mereka, walau untuk ini, tidak kupercayai. Atau mungkin sebaliknya, entahlah.