Pilkada baru saja usai dengan hasil yang sebenarnya tidak mengejutkan. Bagaimana dengan hasil di Jawa Barat? Bukankah kebanyakan pengamat dan suara-suara bising di media sosial mengungkapkan kekagetan atas raihan paslon Sudrajat-Ahmad Syaikhu (Asyik)?
Sebenarnya tidak mengejutkan juga. Bukan apa-apa. Paslon Asyik memang mendapatkan curahan coblosan dari kelompok yang sebelumnya merupakan swing voters dan undecided voters pada survei-survei prapilkada.
Sebenarnya sudah dapat diterka ke mana sebagian besar dari kelompok ini akan menjatuhkan pilihannya pada hari H. Hal itu terlihat dari anomali pada hasil survei-survei tersebut untuk paslon Asyik. Hanya belasan persen. Padahal, Jawa Barat adalah wilayahnya partai-partai pendukung paslon ini.
Bukan surveinya salah atau curang. Tetapi, kelompok tersebut memang tidak bersedia berterus terang kepada petugas survei. Hal yang sama juga terjadi pada putaran pertama pilkada Jakarta enam tahun yang lampau.
Akhirnya, paslon Asyik melangkahi peringkat paslon Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi (Duo De). Dengan modal 27 kursi partai-partai pengusungnya, Asyik merebut suara dari konstituen partai-partai Duo De yang modalnya 29 kursi.
Mengapa disimpulkan demikian? Tidakkah mungkin suara konstituen PDIP juga direbutnya? Tidak. Suara konstituen PDIP tidak direbut oleh Asyik, tetapi dihibahkan kepada pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul (Rindu). Dari kajian saya, inilah bagian dari taktik Mega untuk meraih tiga target di Jawa Barat. Bukan target-target yang ringan, sehingga harus diperhitungkan dengan segala risikonya.
Kalau begitu, apakah tiga target tersebut? Lepas dari urutan prioritasnya, tiga target yang harus dicapai oleh seorang Megawati selaku Ketua Umum PDIP adalah: memenangkan PDIP di Jawa Barat pada pemilu 2019, memenangkan Jokowi di Jawa Barat pada pilpres 2019, dan mencegah berkuasanya kembali PKS di pucuk pimpinan Jawa Barat.
Tiga target tersebut harus diraih semuanya! Win 'em all !!! Oleh karenanya, juga harus di-cak dengan sangat cermat. Mari kita kulik satu per satu.
Pertama, memenangkan PDIP di Jawa Barat pada pemilu 2019. Untuk menyukseskan target pertama ini, maka PDIP harus memetakan kekuatan yang dimilikinya saat ini. Karena itulah, tidak bisa tidak harus melakukan test case pada pilkada ini. Di sinilah kita memahami mengapa Mega seolah "sok" mengusung kadernya sendiri dengan semangat mandiri dan berdikari.
Hasilnya adalah TB Hasanuddin-Anton Charliyan (Hasanah) meraih 12 persen! Baguskah hasil ini? Untuk menilai hasil ini, kita bisa membandingkannya dengan raihan partai-partai lain, bukan paslonnya. Jangan lupa, sebagian suara Rindu pun merupakan hibah dari konstituen PDIP.
Tentu saya tidak akan sembarangan menyatakan hal hibah konstituen tersebut. Tentu ada dasarnya. Kita semua tahu bahwa Ridwan Kamil dianggap "orangnya" Jokowi, bukan? Sedangkan Jokowi adalah "kader" PDIP. Dari sini, kita sah memastikan bahwa sebagian konstituen PDIP memberi suaranya untuk Rindu.
Sementara itu, PPP, PKB, NasDem, dan Hanura juga harus "memperebutkan" 33 persen suara yang diraih oleh Rindu. Jadi, berapa persenkah yang akan didapat oleh partai-partai tersebut masing-masingnya? Rasanya sih tidak akan ada yang akan mendapat lebih dari 11 persen. Lalu, PKS, Gerindra, dan PAN akan berbagi 30 persen suara yang diraih oleh Asyik. Sementara itu, Golkar dan Demokrat berbagi 25 persen dari Duo De.
Jadi, dapatkah PDIP menang di Jabar pada pemilu 2019 nanti? Mari kita tunggu tanggal mainnya.
Target kedua adalah memenangkan Jokowi di Jawa Barat pada pilpres 2019. Untuk target yang ini, Mega harus berkoordinasi dengan para Ketum partai-partai lain dan Jokowi sendiri untuk menyusun strategi bersama. Maka, dihasilkanlah 3 paslon yang diusung oleh partai-partai pendukung Jokowi, kecuali Partai Demokrat.
Saya melihat bahwa penyebaran kekuatan ini bukan sekadar untuk mengeroyok oposisi. Tetapi, penyebaran ini sekaligus untuk mempersiapkan dan melatih mesin pemenangan sejak sekarang. Dari masa kampanye pilkada ini, otomatis mesin politik dari semua partai pendukung Jokowi menjadi terlatih dan menguasai "medan tempur" Jawa Barat.
Lagi pula, dengan memiliki 3 paslon di pilkada ini, Jokowi kini memiliki 2-3 kali lipat jumlah pasukan oposisi. Maka, apakah target kedua ini akan berhasil dimenangkan? Kita tunggu tanggal mainnya juga. Tidak lama lagi, kan?
Target ketiga adalah mencegah berkuasanya kembali PKS di pucuk pimpinan Jawa Barat. Untuk target ini, selain Jokowi, Mega pun sudah lama berkomunikasi dengan Ridwan Kamil. Bahkan sehari sebelum Mega mendeklarasikan Hasanah, diadakan lagi pertemuan dengan Ridwan Kamil untuk memastikan bahwa partai-partai lain sudah fix mengusung Ridwan Kamil dengan jumlah kursi yang mencukupi persyaratan KPU.
Pada tahun 2013, PKS berhasil memenangkan pilkada Jawa Barat karena berkoalisi dengan PPP, PKB, dan Hanura. Kini koalisi tersebut sudah dipreteli dan beralih mengusung Ridwan Kamil bersama NasDem. Setelah itu, barulah Hasanah diplot ke gelanggang.
Selain dengan tujuan untuk mengukur target pertama yang saya paparkan di atas, juga untuk mengalihkan sasaran tembak kampanye SARA supaya tidak tertuju kepada Ridwan Kamil. Akhirnya, kita tahu bahwa taktik ini berhasil!
Tapi, apakah Mega tidak khawatir kekuasaan pucuk pimpinan Jawa Barat dipegang oleh partai di luar PDIP? Tampaknya tidak ada kekhawatiran tersebut. Karena, Ridwan Kamil selalu menyatakan dirinya mematuhi wejangan ibundanya untuk tidak menjadi kader partai.
Ya, kini pucuk pimpinan Jawa Barat tidak dikuasai oleh kader partai. Bahkan, Ridwan Kamil adalah "orangnya" Jokowi. Ini baru asyik betulan, bukan asyik yang itu.
Asyik! Sekali lagi asyik! Karena, asyik yang itu sudah tersingkir. Bang Iwan Fals, setujukah?