Beberapa waktu lalu, Sekolah Dasar tempat bersekolah anak-anak saya membagikan tautan survei melalui google form yang harus diisi orang tua murid. Isinya meminta pendapat orang tua mengenai pemberlakuan sekolah tatap muka dalam waktu dekat.
Seperti biasa, informasi yang dibutuhkan sekolah adalah pernyataan setuju atau tidak setuju untuk rencana tersebut. Tentu saja lengkap dengan alasannya.
Pagi itu, yang pertama saya terima adalah tautan survei dari Wali Kelas anak bungsu saya (kelas 4). Dengan sedikit emosional, saya sigap mengisinya dengan pernyataan tidak setuju beserta alasannya. Saya menuliskan keraguan akan kesiapan sekolah menyiapkan sarana penunjang protokol kesehatan di masa pandemi ini.
Malam harinya, saya mendapatkan tautan serupa dari Wali Kelas anak sulung saya (kelas 6). Tapi tidak seperti saat mengisi tautan untuk kelas si bungsu, kali ini saya tidak menggebu-gebu mengisinya. Pikir saya, toh sudah jelas sikap saya. Dan sampai saat saya menulis ini, saya belum mengisi tautan tersebut.
Di hari yang sama, tanpa sengaja saya membaca status salah satu wali murid teman sekelas anak bungsu saya. Bunyi statusnya dengan lugas menuliskan bahwa dia setuju rencana sekolah tatap muka karena anaknya sudah bosan di rumah.
Beberapa hari kemudian, tanpa sengaja saya bertemu dengan salah satu wali murid kelas 6 di sekolah yang sama. Dia juga setuju anak-anak kembali sekolah tatap muka tapi dengan alasan pendampingan untuk anak kelas 6 harus lebih intensif karena merupakan kelas ujian.
***
Nah, kembali ke survei rencana pemberlakuan sistem belajar tatap muka langsung, bagaimana pendapat anak-anak saya? Si Sulung dengan antusiasnya menjawab, “Setuju, Ma, sudah bosan di rumah terus.”
Si bungsu menyahut, “Adek sebenarnya juga pengen sekolah, tapi adek setuju dengan Mama, situasi masih belum aman, Ma.”
Mendengar jawaban dan alasan yang beragam beberapa hari ini, saya kembali merenungkan tujuan dari survei ini.
Masa pandemi Covid-19 yang membuat kita terpaksa rela lebih sering berada di dalam rumah memang memengaruhi banyak lini kehidupan. Termasuk perubahan sistem belajar-mengajar. Hal ini membuat banyak pihak menjadi cukup gelagapan menyikapinya. Semua pihak, mulai dari siswa, orang tua, hingga guru, mengalami kekagetan dengan tingkat yang beragam.
Saya selaku orang tua awalnya merasakan kehebohan menyiapkan segala sesuatu untuk pembelajaran jarak jauh ini. Menyediakan perangkat yang bisa memenuhi kebutuhan belajar dan memastikan jaringan yang stabil. Mengunduh aplikasi utama dan aplikasi penunjang. Lengkap dengan persiapan diri untuk mempelajari setiap fungsi aplikasi, kemudian melakukan transfer informasi ke anak-anak. Menyiapkan waktu dan diri untuk menerima pertanyaan dan keluhan anak-anak akan hal baru yang ditemuinya dari pembelajaran jarak jauh.
Saya mengamati, anak-anak awalnya tegang melakukan pembelajaran jarak jauh, takut salah pencet hingga heboh ketika jaringan mati dan gurunya tiba-tiba menghilang. Sering kali mengeluh dengan tugas yang dirasa beruntun. Kebosanan yang kadang muncul untuk mengikuti kelas jarak jauh.
Sejak pembelajaran jarak jauh, saya kehilangan cerita anak-anak tentang kesehariannya dengan teman-temannya. Karena mereka juga otomatis terbatas dalam berkomunikasi dengan teman-temannya. Namun lambat laun mereka mulai bisa mengikuti ritme pembelajaran jarak jauh.
***
Adapun satu hal yang tidak bisa saya rasakan dan amati secara langsung adalah bagaimana perubahan ini memengaruhi para guru. Apakah Anda selaku orang tua murid yang berprofesi bukan guru juga pernah tergelitik mencari tahu apa yang para guru rasakan?
Hampir semua guru kita selama sekian tahun hanya dipersiapkan untuk pertemuan tatap muka langsung. Menyiapkan silabus dan bahan ajar yang disesuaikan dengan metode belajar-mengajar di kelas. Meskipun beberapa tahun terakhir di beberapa sekolah ada juga yang menyediakan pertemuan daring untuk pembelajaran. Namun secara umum hal ini adalah sesuatu yang baru dan dipaksakan demi kelangsungan pendidikan anak-anak bangsa.
Ibu yang saya temui beberapa hari lalu sempat pula bercerita betapa Wali Kelas anaknya kurang komunikatif selama pembelajaran jarak jauh. Menurut pandangan para orang tua murid di kelas tersebut, Pak Guru dianggap kurang memberi informasi di Grup WA Paguyuban orang tua di kelas.
Bahkan hingga kami bertemu, tautan survei yang sedang kami bicarakan belum diinformasikan oleh wali kelas tersebut. Padahal setiap hari rutin mengadakan tatap muka melalui zoom untuk pembelajaran. Mereka justru menerima informasi dari kelas lain. “Mungkin pak Guru gagap teknologi,” kata si Ibu.
Keadaan ini berbeda dengan yang saya alami. Wali kelas si Sulung saya tergolong melek teknologi sehingga bisa menyediakan banyak wadah alternatif untuk komunikasi belajar, seperti Google Classroom, Google Form, dan Email. Beliau memilih tatap muka pembelajaran melalui zoom hanya seminggu sekali. Namun setiap hari rutin memberikan tugas untuk dikerjakan para siswanya.
Begitu pun Wali kelas si Bungsu juga tergolong lancar berkomunikasi melalui Grup WA Paguyuban orang tua di kelasnya. Juga tak pernah mengalami kesulitan selama pembelajaran jarak jauh melalui zoom.
Lalu pernahkah terpikir bagaimana persiapan para guru kita untuk menyikapi perubahan sistem belajar ini? Tidak semua guru memiliki kemampuan memahami teknologi komunikasi dengan fasih. Apalagi saat ini banyak sekali aplikasi tatap muka jarak jauh yang berkembang.
Dengan usia yang beragam, latar belakang yang berbeda, tentu berbeda pula kecepatan para guru memahami penggunaan setiap aplikasi. Sehingga kemudian muncul kesimpulan sepihak dari orang tua murid yang mengelompokkan guru dalam golongan yang gagap teknologi dan golongan yang melek teknologi.
Saya kini bisa membayangkan bagaimana mereka mendadak mengubah cara mengajarnya menyesuaikan keterbatasan waktu dan sarana yang terjadi tiba-tiba. Menyiapkan perangkat yang kompatibel, memikirkan keterbatasan kuota internet, serius merancang cara menjelaskan yang tepat agar inti pelajaran tetap tersampaikan.
Di samping adanya kewajiban profesi yang menuntut guru untuk memenuhi minimal jam mengajar. Membiasakan diri berinteraksi jarak jauh dengan anak didiknya tentu bukan hal yang menyenangkan bagi guru yang terbiasa berbincang dan berdiskusi dengan leluasa ketika di kelas.
***
Dengan memikirkan itu semua, saya kembali pada persoalan mengapa survei rencana pembelajaran dengan tatap muka, harus saya isi dengan cermat dan hati-hati. Mungkin tanpa disadari para guru merasakan kesulitan yang lebih banyak dengan pembelajaran jarak jauh dibanding kita orang tua, mungkin sekolah sudah siap dengan sarana penunjang protokol kesehatannya, mungkin tujuan mereka ingin tatap muka demi tercapainya pembelajaran yang maksimal, mungkin juga mereka merindukan “mengomeli” muridnya, rindu melihat murid-murid mereka riuh rendah bercerita dan bergerak ke sana-kemari.
Karena sejatinya guru adalah berinteraksi dengan muridnya. Meskipun secara manusiawi saya yakin ada kecemasan yang sama dengan kondisi pandemi saat ini.
Baiklah, masih ada kesempatan saya mengisi satu tautan survei Google Form tentang rencana pembelajaran secara tatap muka. Kali ini akan saya isi tanpa emosional sebagai orang tua. Dan setuju ataupun tidak tentu dilandasi dengan pemikiran logis hasil perenungan saya.
Bagaimana dengan Anda jika harus mengisi survei semacam ini?