Tiap akhir tahun dan menjelang tahun ajaran baru, sebagian guru banyak yang terlibat dalam kepanitian Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Nampak kesibukkan dan kelelahan dari wajah mereka melayani orang tua murid yang sekedar bertanya informasi, melengkapi berkas dan bertanya soal jurusan jurusan yang tersedia di sekolah tempat aku mengabdikan diri menjadi seorang guru.

Pandemi covid-19 telah merubah petunjuk dan peraturan teknis PPDB, semuanya berbasis online, namun tidak semua orang tua murid memahami itu semua, mereka lebih senang langsung datang ke sekolah bertemu dan bertanya langsung kepada panitia.

“Pak saya datang dari pagi” sela seorang ibu kepada saya. “kenapa dia di panggil duluan”. Aduh pening kepalaku meladeni orang tua murid baru yang protes. Hari ini dan dua hari ke depan dua loket pelayanan akan menjadi tempat yang paling sibuk pertama kali melayani para orang tua murid baru yaitu Informasi dan Verifikasi Berkas. Tugas pengendalian menjadi ujung tombak suasana agar kondusif dan tertib.

“Nomor ini sudah saya panggil dari tadi, tapi kan tidak mendekat ke saya makanya saya lanjutkan dengan nomor selanjutnya” timpal ku. Sambil menyarankan agar tetap menjaga jarak, mengisi tempat yang telah di sediakan tidak berkerumun dan bertumpuk di satu tempat. Ahh rupanya ibu ini tipikal orang tua kekinian, datang pagi tapi kesibukannya hanya berphoto selfie ala muridku yang sedang ingin eksis di dunia maya, update status dengan kalimat “Alhamdulilah pagi ini mengantar anaku tercinta daftar sekolah”. Bukannya menghampiri papan informasi lalu melengkapi berkas serta kelengkapan lainya yang di perlukan.

Menjadi panitia Penerimaan Peserta Didik Baru, dua tahun ini ku jalani. Tetap saja gagap dengan masalah yang sama namun terjadi pada orang yang berbeda. Tidak ada yang baru, selalu mengulang pola dan kejadian serupa di setiap pelaksanaan PPDB. Menghadapi mak mak yang memiliki karakter sein kanan belok kiri sudah lajim ditemui, tapi kenapa panitia seperti baru menghadapinya. Kenapa pelayanan yang di perhatikan bukan jalur koordinasi dan instruksi yang di perbaiki. Akibatnya tiap tahun selalu mengulang masalah yang sama yaitu “gagap dan gugup”.

Keruwetan dalam penerimaan murid baru sudah menjadi agenda rutin tiap tahun, begitu pula dengan orang tua yang akan menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Ditambah lagi dengan pandemi yang telah mengajarkan kita untuk peduli terhadap diri kita dan lingkungan sekitarnya. Menambah keruwetan menjadi lebih kompleks dan rumit. Rutinitas tidak akan menjadi ruwet, kompleks dan rumit apabila kita tidak mengenal pola masalah yang datang kepada kita. memahami masalah, kebutuhan dan karakteristik adalah bagian dari mengenal pola masalah yang datang.

***

Sebagai guru teknik (produktif) di SMK aku sudah terbiasa menghadapi perilaku menjengkelkan anak anak didik, jurus pamungkas selalu ku keluarkan dengan bergaya pendekar 212 kapak maut (ternyata cara itupun ampuh meredam gejolak mak mak yang ngeyel dan bawel).

Bunyi suara handy talkie, membuyarkan lamunanku ketika duduk di bawah pohon meneduhkan hati dan pikiran dari rasa kesal kepada para orang tua peserta didik yang bawel dan ngeyel. Mengumpat dalam hati, mengadu dalam se gelas kopi dan menarik napas dalam tuk keluarkan beban dalam hati dan pikiran.

“Ambon 7 monitor, di sini Ambon 1” suara dari HT terdengar, “Masuk” kataku. “Ini ada anak murid yang ingin bertemu” ujar kepala satpam yang mempunyai kode panggilan udara Ambon 1. “merapat ke terminal, depan Bromo 1” jawabku. Area bromo 1 adalah depan kantor Kepala Sekolah yang luas karena ada taman dan lapangan basket serta sarana “Jogging Track”.

Ucapan salam, dan cium tangan serta tanya kabar ritual basa basi adalah sesuatu hukum yang baku dalam pertemuan setelah tidak lama berjumpa.

“Pak, carikan saya pekerjaan” langsung terucap “pusing pak, nganggur” tanpa jeda dia berkata.

Sebentar aku menghela napas bukan karena sulitnya pertanyaan itu, namun ini adalah pertanyaan klasik yang sering aku terima selama menjadi pendidik di sekolah menengah kejuruan. Sudah puluhan kali mungkin ratusan kali pertanyaan yang sama datang dan pergi. Untuk menjawab pertanyaan itu bukanlah sebuah nasehat, tapi ada cara klasik menghadapi beginian. Bukan solusi konkret, tapi soal mental dan pola pikir. Kita hidup di tahun 2021, dua ribu dua puluh satu, jadi sudah ribuan tahun roda kehidupan manusia berputar. Milyaran manusia sudah mengalami hidup lalu mati susah senang berat ringan. Jadi sebenarnya tidak ada masalah yang spesial. Mungkin baru buat seseorang, tetapi tidak baru buat kehidupan.

***

Ketika peserta didik lulus di masa covid, kenyataan hidup otomatis sudah menang 1-0 melawan dia, karena lowongan kerja makin sedikit, perusahaan banyak yang tutup. Kalau dia tidak ada pengalaman magang kerja / berjualan, dia sudah kalah 2-0. Kalau jaringan pertemanan dia sedikit, kalahnya 3-0. Kalau orang tuanya tidak punya uang untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, dia sudah kalah 4-0. kalau dia kehilangan semangat, kalah telak 6-0. Ini sangat berat.

Kamu tidak ada pilihan lain selain menyerang, melakukan segala cara mencetak gol-gol balasan. Gol pertamanya adalah yang terpenting karena membangkitkan semangat. Caranya mencetak gol pertama, ia harus mulai menyadari bahwa hidupnya 100% adalah tanggung jawabnya, bukan tanggung jawab orangtua ataupun keluarganya. Ia harus sadar bahwa ia adalah pemimpin dari dirinya sendiri. Tidak bergantung pada siapapun kecuali pada dirinya dan Tuhan.

Setelah gol pertama diciptakan, gol kedua bisa di ciptakan dengan menyingkirkan sifat gengsi dan malu. Gengsi kerja serabutan, gengsi berjualan, gengsi berkumpul kenalan dengan orang baru. Malu mengekspresikan dirinya. Malu mengemukakan pandangannya di social media.

Ketika dua gol itu sudah ia ciptakan, maka gol ketiga dan seterusnya akan tercipta. Darimana, saya tidak tahu, karena itulah keajaiban hidup. Usaha usaha dan rasa bertanggung jawab yang kita lakukan akan menular dan menghasilkan energi positif ke sekeliling kita. Bisa jadi tetangga tiba-tiba memberi informasi lowongan yang tepat karena melihat dia baik dan serius.

***

“ Awan Menangis, informasi 811 813 Ambon 7” suara HT dari ambon 1 membubarkan obrolanku dengan seorang anak didik yang bertanya tentang informasi pekerjaan. Tanpa sadar ucapan begitu megalir deras bersama hujan turun di siang itu. Saya mengajak dia masuk ke ruang guru dan memeriksa catatan keuangan serta nilai nilai kompetensi apa yang menjadi keunggulan dia. Memberikan sebuah catatan dan nomor handphone pribadi teman yang sedang mencari kandidat karyawan yang memiliki kemampuan dalam bidang jaringan khususnya “Mikrotik”.

“Terima kasih Pak” jawab dia dengan penuh semangat lalu  pamit dan undur diri, untuk segera menemui dan menghubungi nomor kontak yang sudah ku berikan.

Setelah pamitan, cukup lama tertegun ketika dia membalikkan badan untuk pulang. Ada rasa ketidak berhasilan selama ini dalam proses mendidik dia di sekolah. Sudah ratusan kali ceramah, nasihat dan motivasi diberikan ketika pertemuan kelas baik sesi daring (online) melalui zoom ataupun luring ketika praktek di lab. Komputer.

Sebagai contoh, PPDB adalah rutinitas tahunan sekolah. Apabila kita mengenal pola masalah yang datang, panitia akan meningkatkan jalur koordinasi dan instruksi di internal kepanitian. Jalur jalur koordinasi akan meningkatkan pelayanan dan instruksi (komando) akan mengarahkan kepada siapa, apa, dimana, kapan dan mengapa pekerjaan itu dilaksanakan.

Orang tua yang masih mneyekolahkan anaknya, rutin tiap tahun mengambil raport saat kenaikan kelas, daftar ulang dan menyekolahkan ke jenjang yang paling tinggi. Apabila mengenal pola masalah, biaya, kebutuhan pendidikan dan akan disiapkan jauh jauh hari. Tidak akan tergesa gesa, bingung, bimbang dan cemas dalam menghadapi segala perubahan.

Begitu pula dengan anak anak didik, ketika menyelesaikan pendidikan pilihannya hanya ada dua yaitu bekerja atau melanjutkan. Seharusnya bukan menjadi masalah kedua pilihan tersebut apabila cara berpikir ketika pertama kali masuk SMK sudah benar. Karena tidak ada  yang baru di muka bumi ini, yang ada hanyalah perubahan.

Kita sering menjalani rutinitas namun masih saja gagap dan gugup menjalaninya ketika menghadapi dinamika permasalahan yang terjadi. Kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dimulai dari mindset yang tepat berdampak pada niat (hear set) yang benar sehingga menghasilkan pekerjaan (action set) yang memuaskan. Itu semua hanya akan bisa dilakukan apabila kita mengenal pola masalah yang datang pada hidup kita.