Aku mengenal dikau
Tak cukup lama... Separuh usiaku
Namun begitu banyak... Pelajaran yang aku terima

Kau membuatku mengerti hidup ini
Kita terlahir bagai selembar kertas putih
Tinggal ku lukis dengan tinta pesan damai
Dan terwujud harmoni...

(Padi: Harmoni)

Sepenggal lirik lagu di atas adalah bukti bahwa teori tabula rasa tidak hanya popular dalam dunia pendidikan. Bukti lainnya adalah munculnya film dengan judul “Tabula Rasa” yang ikut meramaikan industri perfilman tanah air pada tahun 2014 lalu. Walaupun pemaknaan terhadap kata “tabula rasa” itu beragam, namun tak menutupi besaran pengaruhnya dalam kehidupan kekinian kita.

Teori tabula rasa dipopulerkan oleh filosof Inggris di zaman modern, John Locke (1632-1704 M). Teori ini menyatakan bahwa manusia lahir dalam keadaan tanpa membawa pengetahuan apapun dan kemampuan apapun. Tidak ada yang namanya ide bawaan (innate idea), yang merupakan beberapa konsep pasti (certain knowledge) dalam benak seseorang ketika dilahirkan. Ia bagaikan selembar kertas putih yang siap diisi oleh pengetahuan diperoleh melalui pengalaman pengindraan.

Dalam dunia pendidikan, teori ini lebih dikenal dengan teori empiris yang merupakan salah satu dari tiga teori landasan pendidikan (Abdul Kadir, dkk, 2012: 132). Sedangkan dalam terma keagamaan, teori ini sering dijustifikasi dengan hadits: “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang Majusi” (HR. Abu Hurairah Ra). Mungkin kita merupakan bagian dari orang-orang yang ikut mengamini pen-dalil-an ini.

Tabula rasa merupakan sebuah teori yang lahir dalam perlawanan terhadap teori ide bawaan dari beberapa filosof rasionalis. Menurut  para filosof rasionalis, manusia terlahir ke dunia dengan ide-ide bawaan (innate ideas), sehingga pengetahuan kita tentang dunia luar ditentukan oleh kebenaran yang sudah melekat dalam pikiran sejak kita dilahirkan .

Penghulu dari aliran rasionalis ini adalah Rene Descartes (1596-1650 M). Dalam karyanya, Third Meditation, ia menyatakan: “Among my ideas, some appear to be innate, some to be advantious, and others to have been invented by me" (Forrest E. Baird and Walter kaufman, 1887: 25). Ide-ide bawaan (innate ideas) itulah yang menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan manusia.

Lalu bagaimanakah posisi epistemologi Islam dalam perdebatan antara kaum rasionalis dan kaum empirisis ini? Seorang filosof Islam kontemporer Muhammad Bâqir Al-Śadr (1931-1980 M) menanggapi masalah ini dalam karyanya Falsafatunâ (Our Philosophy). Adapun kritik yang dilontarkan Muhammad Bâqir Al-Śadr terhadap ide bawaan kaum rasionalis adalah sebagai berikut;

Pertama, Muhammad Bâqir Al-Śadr meminjam argumentasi kaum empirisis bahwa jika seluruh pengetahuan dapat dijelaskan perolehannya melalui persepsi indra, maka manusia tidak memerlukan ide bawaan lahir dalam proses memperoleh pengetahuan. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh John Locke, Berkeley, dan David Hume. John Locke menyatakan bahwa ide-ide bawaan adalah anggapan yang tidak terbukti dalam kenyataan. Dalam karyanya  An Essay Concerning Human Understanding,

Locke menyatakan bahwa pikiran manusia pada mulanya seperti tabula rasa, yaitu kertas kosong tanpa tulisan padanya. Melalui abstraksi dari pengindraanlah kemudian pikiran kita secara bertahap meraih konsep-konsep atau pengetahuan. Dengan demikian kebenaran dan kenyataan dipersepsi subjek melalui pengalaman dan bukan bersifat bawaan.
 

Kedua, terdapat sebuah prinsip filosofis menyatakan bahwa “efek ganda tidak dapat datang dari sesuatu yang sederhana”. Prinsip tersebut merupakan turunan dari prinsip keselarasan antara sebab dan akibat, di mana “sebab-sebab yang sama akan menghasilkan akibat yang sama pula”. Jika kita memiliki konsep yang beragam dalam benak kita, maka hal tersebut bertentangan dengan prinsip filosofis tersebut, karena jiwa bersifat sederhana yang mengharuskan menghasilkan konsep yang sederhana pula. Jadi berbagai macam konsep yang ada di benak kita seharusnya tidak berasal dari jiwa, melainkan disebabkan oleh faktor luar, yaitu indera-indera instrumental dan sensasi-sensasi yang terjadi padanya.

Namun terdapat dua cacatan penting yang diberikan oleh Muhammad Bâqir Al-Śadr terkait konsep kesederhanaan jiwa di atas. Pertama, jika argumen kritik tersebut diterima, maka sesungguhnya ia tidak mampu meruntuhkan secara total teori ide bawaan, melainkan hanya membuktikan ketiadaan keberagaman potongan pengetahuan bawaan lahir dan tidak membantah bahwa jiwa secara alami menghasilkan sejumlah konsepsi yang tidak tergantung pada indera.

Kedua, jika teori rasional menyatakan bahwa dalam jiwa manusia terdapat gagasan-gagasan yang ia bawa sejak dilahirkan dalam keadaan yang sesungguhnya, maka seperti yang kita ketahui bahwa ketika manusia memulai eksistensinya di muka bumi, ia tidak memiliki gagasan apapun, terlepas dari sejelas dan seumum apa pun ide itu dalam pikiran manuisa.

Seperti beberapa filosof Muslim lainnya, Muhammad Bâqir Al-Śadr menggunakan dalil Q.S. Al-Nahl ayat 78 untuk membantah argumen ide bawaan.“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.

Ayat tersebut membantah keberadaan ide bawaan yang diartikan sebagai sejumlah konsepsi yang berada dalam benak manusia sejak ia dilahirkan di dunia. Karena memang pada kenyataannya seorang bayi tidaklah memiliki konsepsi apapun dalam benaknya. Sejalan dengan tumbuh kembangnyalah lalu beragam konsepsi akan masuk dalam benaknya.

Namun, jika ide bawaan lahir itu diartikan sebagai sesuatu yang terdapat dalam jiwa secara potensial, dan bahwa mereka mendapatkan sifat yang sebenarnya dengan pengembangan dan integrasi mental jiwa, maka gagasan bawaan semacam ini dapat dibenarkan (Muhammad Bâqir Al-Śadr, 2000: 43). Teori semacam inilah yang digunakan dalam epistemologi Islam.

Berkaitan dengan ayat di atas, Murtadla Muțahhari menyatakan bahwa terdapat potensi berpikir yang dapat diaktualilasikan dalam diri manusia ketika ia dilahirkan. Hanya saja proses aktualisasi tersebut memerlukan guru, sistem pembedaan, analogi, pengalaman pengindraan, dan sebagainya.

Artinya bahwa bangunan intelektualitas manusia diciptakan sedemikian rupa, sehingga dengan menyodorkan beberapa hal saja cukuplah baginya untuk mengetahui hal lainnya tanpa harus ada dalil dan bukti, dan juga bukan karena ia telah mengetahui sebelumnya.

Seorang bayi yang baru lahir tidak mengetahui konsep “keseluruhan itu lebih besar dari bagian-bagiannya”, sebab ia tidak memiliki konsepsi mengenai “keseluruhan” dan “bagian-bagian”. Akan tetapi, begitu ia memiliki konsepsi tentang kedua hal tersebut, dan salah satu darinya ia terapkan terhadap yang lain, saat itu juga ia dapat memutuskan, tanpa perlu adanya dalil, guru, atau eksperimen, bahwa keseluruhan itu lebih besar dari pada bagian-bagiannya (Murtadla Muțahhari, 2011: 33).

Jadi, ketika manusia dilahirkan tidak benar-benar dalam posisi kosong. Melainkan terdapat potensi prinsip berpikir yang akan teraktual seiring perkembangan jiwa dan fisiknya. Potensi prinsip berpikir inilah yang bisa kita artikan sebagai fitrah manusia yang ia bawa sejak dilahirkan. Wallâhu a’lam biśśawâb