Syafruddin Prawiranegara (28 Februari 1911 - 15 Februari 1989) adalah Presiden ke-2 Republik Indonesia, setelah Ir. Soekarno, yang menjadi Presiden Republik Indonesia sejak 18 Agustus 1945 menyerah dan ditawan oleh tentara kolonial Belanda yang melakukan Agresi Militer II 19 Desember 1948.

Pernyataan ini bukanlah subjektif-emosional, tetapi ini memgacu kepada pendapat guru besar Hukum Tatanegara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie  S,H.

Dalam kalimat lugas dan terang benderang, Prof. Jimly mengatakan:

"Secara hukum tidak perlu keraguan bagi kita untuk menyatakan bahwa Syafruddin Prawiranegara selaku Ketua Pemerintahan Darurat Indonesia (PDRI) antara tanggal 19 Desember 1948 sampai dengan tanggal 13 Juli 1949 adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan Republik Indonesia yang sah. Dalam sistem UUD 1945, kepala negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia itu tiada lain adalah Presiden Republik Indonesia sebagaimana mestinya."

Sejarah negara ini mungkin akan lain jalannya jika tidak muncul inisiatif Menteri Kemakmuran SyafruddinPrawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra segera sesudah Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan beberapa menteri ditangkap Belanda pada 19 Desember 1948.

Mendengar Agresi Militer II Belanda itu, Syafruddin yang sedang berada di Sumatra segera mengumpulkan beberapa tokoh untuk membahas perkembangan situasi. Tanpa mengetahui bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah mengirim kawat kepadanya untuk membentuk suatu pemerintahan darurat, Syafruddin dan kawan-kawan memproklamasikan berdirinya PDRI, terhitung sejak 22 Desember 1948.

Syafruddin yang dipilih menjadi Ketua PDRI sengaja tidak menggunakan sebutan Presiden untuk jabatannya. Hal itu, menurut pengakuannya sendiri, disebabkan karena belum mengetahui adanya mandat Presiden Soekarno dan karena didorong oleh rasa keprihatinan dan kerendahan hati.

Sejarah mencatat betapa efektifnya kekuasaan PDRI. Itu dapat dibuktikan oleh tiga hal. Pertama, dipatuhinya segala perintah PDRI oleh para pemimpinnya di Jawa, termasuk oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman.

Kedua, betapa keras usaha Belanda menghantam PDRI, sampai-sampai Belanda melansir ejekan bahwa PDRI tidak lain dari Pemerintah dalam Rimba Indonesia.

Ketiga, pesan-pesan yang disampaikan oleh radio PDRI dapat diterima dengan baik di luar negeri, termasuk di New Delhi. Dan mengilhami Pemimpin India, Jawaharlal Nehru, untuk menyelenggarakan Konferensi Inter-Asia guna mendukung Indonesia.

Konferensi dihadiri oleh wakil-wakil dari Afghanistan, Australia, Filipina, Sri Lanka, dan Yaman sebagai peserta. Adapun wakil-wakil dari Republik Rakyat Tiongkok (RRC), Nepal, Selandia Baru, dan Thailand hadir sebagai peninjau.

Pernyataan Roem-van Roijen

Konferensi Inter-Asia di India mendesak Perserikatan Bangsa-Bangaa (PBB) agar melakukan berbagai upaya memulihkan pemerintahan Republik Indonesia.

Antara lain karena desakan itu, lahir Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949 yang pada pokoknya meminta Belanda menghentikan Agresi Militer, membebaskan para pimpinan Republik, dan kembali ke meja perundingan.

Perundingan yang berakhir pada 7 Mei 1949 itu menghasilkan pernyataan Roem-van Roijen sebagai sebuah pernyataan permulaan menenai kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.

Atas dasar pernyataan Roem-van Roijen, tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta serta para pemimpin RI dibebaskan dan dikembalikan ke Yogyakarta, dan itu berarti pemerintahan RI berfungsi kembali seperti sedia kala.

Dilupakan Bangsanya

Keberanian Syafruddin membentuk dan memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) bukan saja telah membuktikan bahwa Republik Indonesia tidak pernah bubar hanya karena Soekarno-Hatta dan para pemimpin lain ditangkap, tetapi juga dengan sikap revolusioner dan kegigihan PDRI telah memperkuat posisi Roem ketika harus berunding dengan van Roijen.

Ironisnya, peristiwa historis yang teramat penting dalam sejarah mempertahankan eksistensi Republik Indonesia ini, selama puluhan tahun, telah dilupakan oleh hampir seluruh anak bangsa.

Syafruddin Prawiranegara sebagai sutradara sekaligus aktor utama PDRI, selama berpuluh tahun, bagai telah diharamkan untuk ditampilkan dalam bingkai sejarah bangsa ini. Bahkan sekadar sketsanya sekalipun!

Masalah politik rupanya menjadi penghalang utama untuk melahirkan kesadaran berbangsa yang tulus dan kesadaran mengingat sejarah bangsa yang autentik ini. Sehingga terhadap PDRI bangsa ini terlambat memberi pengakuan, terhadap PDRI sebagai satu tahap yang sangat menentukan dalam perjuangan bangsa kita.

Dapat diduga, di masa Orde Lama, nama Syafruddin Prawiranegara tidak boleh dimunculkan, karena keikutsertaannya dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Republik Persatuan Indonesia (RPI).

Di masa Orde Baru, nama Syafruddin dicoret dari buku sejarah karena suaranya yang lantang mengkritik berbagai kebijakan pemerintah. Terutama keikutsertaannya dalam kelomok petisi 50, sebuah pernyataan keprihatinan terhadap pidato Presiden Soeharto yang mengidentifikasi dirinya dengan Pancasila. Petisi ditandatangani oleh 50 orang politisi sipil dan senior militer, sehingga populer disebut petisi 50.

Sejak 1980 hingga runtuhnya Orde Baru, para penandatangan petisi 50 dibunuh hak-hak sipilnya; harus berhenti dari pegawai negeri sipil, dilarang mengajar di perguruan tinggi negeri dan swasta, tidak boleh mendapat kredit dari bank pemerintah, tidak boleh berpergian ke luar negeri, bahkan untuk sekadar berada satu atap dengan presiden. Sungguh sangat otoriter dan kejam zaman Orde Baru ini.

Bicara tentang Syafruddin Prawiranegara, kita tidak bisa tidak berbicara tentang dua hal: PDRI dan PRRI; yang pertama jelas jasa Syafruddin Prawiranegara menyelamatkan Republik Indonesia yang pemimpinnya sudah ditahan oleh Belanda. Sedang PRRI haruslah dilihat sebagai upaya menyelamatkan RI yang terancam oleh komunisme.

PRRi bukanlah gerakan separatis, melainkan gerakan alternatif untuk menyelamatkan Indonesia yang terancam oleh komunisme dan "petualangan" politik Presiden Soekarno. Banyak pemahaman yang keliru terhadap PRRI, yang dianggapnya sebagai pemberontak.

Sudah saatnya sekarang kita luruskan sejarah yang melenceng. Jangan sampai kita berlarut-larut makin jauh tenggelam pada sejarah kita yang dipenuhi cerita-cerita gelap.