“Mbak, ngga dapat susu ya?”, seorang ibu muda sekitar 30 tahun bertanya kepada salah seorang Kader saat Posyandu. Ibu muda ini bercerita, bahwa buah hatinya yang bulan depan genap berusia 3 tahun, sangat doyan susu. Sambil menggendong si anak yang terlihat mulai mengantuk, serta memberikan botol susu ke anaknya, dia melanjutkan cerita.
Anaknya yang memiliki berat badan diatas grafik normal pada Kartu Menuju Sehat ini, seringkali susah makan. Si ibu tidak khawatir, karena menurutnya kebutuhan gizi si anak sudah tercukupi dalam susu formula yang dikonsumsi.
“Gapapa wis Mbak, sing penting anakku sik doyan susu, timbang ga mau maem apa-apa”, begitu kesimpulan ceritanya. Tentu saja keluhan ibu muda ini kemudian direspon oleh Kader Posyandu dengan memberikan edukasi, bahwa kebutuhan gizi anak tidak akan bisa terpenuhi hanya dengan susu formula. Orang tua balita tetap harus mengupayakan untuk membuat anak mengenal dan mengkonsumsi berbagai jenis makanan.
Anggapan bahwa susu sebagai sumber nutrisi yang super dan lengkap serta dapat menggantikan manfaat dari makanan lain, masih jamak terjadi. Tidak dipungkiri, mindset seperti ini masih banyak diyakini oleh masyarakat kita terutama kaum ibu.
Karena anak rewel dan susah makan, seringkali solusinya adalah intensitas pemberian susu yang juga akan semakin meningkat. Hal ini seringkali diikuti dengan kebiasaan anak yang semakin tidak mau mengkonsumsi jenis makanan lain, karena sudah nyaman dan merasa kenyang dengan minum susu.
Kalau kita sedikit menengok ke belakang, generasi 90an memang masih sangat erat dengan jargon ”4 Sehat 5 Sempurna”. Slogan yang sangat popular di masa Orde Baru ini, memang menempatkan susu sebagai penyempurna. Sebagai asupan makanan yang wah dan superior. Slogan ini dicetak besar-besar dalam lembaran buku KMS yang bersampul depan perempuan jawa yang anggun itu. Tak sempurna makanan balita jika tidak dilengkapi oleh susu. Kira-kira begitu, pesan yang hendak disampaikan oleh slogan ini. Dan tampaknya, slogan ini masih memiliki ruang yang cukup besar di masyarakat kita, hingga saat ini.
Seorang ibu rumah tangga seringkali menyediakan budget khusus untuk kebutuhan susu. Tentu saja ini tidak salah, karena seorang ibu selalu ingin memberikan yang terbaik kepada buah hatinya. Tapi kemudian menjadi keliru, jika menempatkan susu sebagai kebutuhan utama asupan gizi.
Sangat tidak apa-apa jika seorang anak minum air putih dan tidak mau susu. Asal gizi lainnya seimbang. Dan akan sangat bermasalah jika seorang ibu sudah merasa tenang, jika anaknya doyan susu meskipun tidak mau makan. Karena kesempurnaan susu ini sudah berakhir, seiring dengan sudah tidak relevannya slogan “4 Sehat 5 Sempurna” itu.
Iya, slogan kesempuranaan susu itu sudah berganti. Isi piring makan yang direkomendasikan oleh Kemenkes dan tercetak pula dalam Buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) sudah berubah. Susu tidak lagi mendapat porsi istimewa.
“Isi Piringku”, istilah yang digunakan makan yang saat ini dijadikan pedoman untuk Gizi Seimbang. Piring tersebut berisi 2/6 untuk masing-masing makanan pokok dan sayuran, 1/6 lauk pauk, dan sisanya adalah sayuran. Dimana letak susu dalam “piring” ini? Letaknya adalah di bagian lauk-pauk, Bersama dengan sumber protein lainnya, baik nabati maupun hewani. Posisi susu setara dengan ikan, daging, telur dan kacang-kacangan (termasuk tahu dan tempe), favorit para ibu itu. Hehehe ….
***
“Aku nyetok susu kaleng itu dalam jumlah banyak. Mumpung harganya udah ga semahal minggu kemarin. Jaga-jaga kalau misal ada yang sakit lagi,” ujar salah satu kawan saya suatu ketika.
Dia sebenarnya bukan penyuka susu. Tapi kesempurnaan susu masih melekat dalam pikiran kawan saya ini. Khasiat susu masih sangat diharapkan mampu mempercepat proses penyembuhan penyakit. Tentu itu tidak salah. Karena asupan gizi memang sangat penting. Tapi menjadikan susu sebagai makanan yang tampak ‘sakral’, tentu bukan sesuatu yang bijak.
Superioritas susu tampaknya masih bisa kita rasakan hingga saat ini. Akhir-akhir ini kita melihat bagaimana masyarakat berburu susu bermerk tertentu. Betul, ini memang tidak lepas dari beberapa faktor, termasuk strategi marketing, klaim-klaim tentang keunggulan susu via sosial media dan kecemasan kita dalam menghadapi pandemi yang mengusik kebutuhan dasar kita yaitu bertahan hidup.
Tetapi kita juga tidak bisa menepis, bahwa sebagian masyarakat kita masih menganggap susu sebagai makanan yang super dan terkesan mewah. Apa-apa yang mewah itu, terkesan eksklusif. Yang eksklusif selalu tampak sempurna di mata manusia. Dan kesempurnaan yang ditawarkan oleh susu, ternyata masih jamak diamini oleh sebagian besar dari kita.
Menjadi PR kita bersama untuk terus mempromosikan Gizi Seimbang dengan asupan gizi yang beragam dan sekaligus mendengungkan bahwa susu sudah tidak lagi sempurna.