Kita yang rajin main media sosial, mayoritas sudah paham soal toxic positivity dan humblebrag. Keduanya adalah istilah yang awal mulanya digaungkan oleh mereka yang aktif di dunia maya dan peduli dengan persoalan psikologis. Kedua istilah tersebut menunjukkan bahwa ada perilaku baik yang, kalau ditelisik, ternyata sama sekali nggak ada baik-baiknya.

Melalui unggahan para aktivis kesehatan jiwa di media sosial tentang toxic positivity, kita mendapat informasi menarik soal bagaimana menanggapi curhatan di era digital. Semacam kaidah baru, karena dulu kita tahunya kalau ada yang curhat, ya udah di-pukpuk saja, biar tenang. Cukup kasih kata-kata, “Semangat aja, kamu pasti bisa. Badai pasti berlalu.”

Eh, ternyata ngepuk-puk bisa menjadi reaksi salah yang tidak membantu teman yang curhat, alih-alih menjerumuskan. Niat baik yang hasilnya tak selalu baik.

Demikian juga dengan humblebrag, yang dinyatakan sebagai kerendahan hati yang semu. Humblebrag adalah sikap merendah untuk mendapatkan pujian setinggi langit ketujuh. 

Misal ada kawan yang posting selfie sembari menulis caption, “Aduh, wajahku masih kusem banget padahal udah operasi plastik.” Sementara wajahnya udah mulus seperti porselen. Lalu semua yang baca memberi komentar, “Masya Allah cantik banget, Kak.” Nah, itu salah satu wujud humblebrag.

Lalu bagaimana supaya kita tidak terjebak pada dua sikap yang nggak oke itu? Untuk soal toxic positivity, para pakar menyarankan supaya kita mau bertanya ke teman yang curhat. Karepmu kepiye? Eh, nggak gitu sih. Tanyanya begini: apa yang bisa kubantu dengan permasalahanmu?

Mayoritas teman yang curhat, katanya bukan mencari solusi, namun hanya ingin didengarkan. Butuh kanca sambat. Butuh tempat mengeluh, dan kita dipercaya sebagai wadah keluhan. Betapa terhormatnya posisi kita, ya kan?

Orang curhat membutuhkan keberanian dan rasa percaya pada kawan curhatnya. Meski yang dibagikan itu sampah, ia berharap sampahnya akan terurai. Hasilnya nanti sesuatu yang positif dan baik. Bebannya berkurang, sementara si wadah sampah akan mempunyai kekayaan hakiki tentang relasi manusia. Cakep, kan, hubungan timbal baliknya?

Sementara untuk menghindari dianggap sedang humblebrag, solusinya adalah sombong beneran saja sekalian. Lebih baik menulis, ‘aduh, aku kaya banget’, daripada nulis ‘aduh, bulan ini belum bisa beli Brompton karena habis beli tanah di London, habis recehanku.’ Rumit ya?

Mau bersosial di dunia nyata rumit, eh di media sosial lebih rumit. Kita harus berpikir bijak untuk menanggapi curhatan. Tidak boleh sok rendah hati, tidak boleh juga sok berenergi positif.

Lantas bagaimana kalau mau curhat? Kadang, kan, kelepasan suka curhat di dinding Facebook?

Jangan khawatir, tetaplah memilih kawan baik untuk mendengar keluh kesahmu secara pribadi. Setidaknya, lebih mending kalau dapat tanggapan gak enak di jalur pribadi daripada di dinding Facebook. Repot kalau harus berulang kali sembunyikan status sesudah baper melanda.

Pasti pernah dong ya nulis status tentang keresahan, tiba-tiba muncul si kawan yang bereaksi gak asik. Sedih gak sih? Bukannya jadi lega, malah nambah-nambahi beban aja. Kita juga sebagai pemilik sampah harus ingat, buang sampah memang harus pada tempatnya. Kalau sembarangan, ya jangan ngambek kalau ditegur orang.

Bagaimana jika sudah menulis hal-hal yang berenergi positif di dinding Facebook tapi malah dianggap menebar benih toksin sekaligus ber-humblebragging? Ini juga menyebalkan sekali untuk si pemilik postingan, karena pasti akan dibalas dengan postingan sanggahan berupa sindiran tanpa menyertakan nama yang dituju.

FYI, biasanya yang begini terjadi di area pertemanan antar-perempuan. Hal seperti itu bisa terjadi karena pembaca tidak satu frekuensi dengan sang empunya dinding atau karena egonya tersentil lewat tulisan orang lain.

Begitulah kalau dua istilah asing itu dimaknai suka-suka berdasarkan kepentingan pribadi tiap orang. Sampai Belanda menjajah Indonesia lagi pun gak akan kelar perihal pemahaman kebaruan akidah bermedia sosial, meski para ahli sudah sangat sering membuat sosialisasi dalam infografis.

Lha, semua jadi merasa bebas menuduh orang lain sesuai pemahamannya. Banyak yang meyakini bahwa orang yang polos dan apa adanya di media sosial sudah musnah. Setiap cerita yang ada di media sosial diyakini sebagai pencitraan yang sering kali adalah kebohongan belaka.

Mbok ya lebih rileks aja dalam menggunakan media sosial. Kalau lagi sensi, mendingan nonton drakor, ngeteh, menghias teras dengan hiasan shabby, menatap ke bintang di malam hari, jajan es krim, beli cilok, berendam aja di bak mandi, atau main sama kucing. Hindari media sosial kalau kita lagi down.

Meski banyak juga hiburan positif dan lucu di media sosial. Tapi percaya deh, selalu ada semacam jebakan, postingan orang yang bakal bikin tensi naik dan mood drop, karena kitanya aja yang sedang sensitif. Semesta membuat segalanya terasa makin berat.

Mendingan main aja sama kucing saat mood lagi jelek. Kadang, si kucing bisa menanggapi kita dengan respon yang pas, membuat hati jadi tenang tanpa pusing mikirin ini si kucing ngasih toxic positivity atau lagi humblebrag ya?