Perkataan Soe Hok Gie tentang politik merupakan barang-barang kotor, dan lumpur-lumpur yang kotor, itu salah. Tesis Soe Hok Gie tentang politik, sekali lagi, salah. Tesis tersebut dipatahkan, bahkan melebihi lumpur yang kotor. Tahu apa itu? Feses.
Banyak terjadi kisah politik yang membingungkan masyarakat dengan negara mental terjajah ini. Peristiwa itu, antara lain lawan politik pemilihan presiden, dan yang kalah menjadi menteri. Dan paling parah adalah cepatnya proses revisi Undang-Undang tentang KPK.
Tetapi, yang satu ini jauh dari pusat pemerintahan. Cerita ini dari salah satu kampus di Jawa Timur, yaitu Universitas Brawijaya (UB).
Sebelum jauh meleburkan duduk masalah di kampus UB, mari kita refleksikan proses #ReformasiDikorupsi. Ada sebuah negara dengan sistem yang habis-habisan dikritik mahasiswa yang katanya sebagai agent of change. Namun ketika dia berada di kampusnya, terjadi peristiwa berulang: elite yang mengaku sebagai mahasiswa, sama hancurnya seperti negara.
Peristiwa tersebut terjadi di antara lingkaran DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) jika diibaratkan sebagai DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) di pemerintahan, dan Panitia Pelaksana PEMIRA (Pemilihan Mahasiswa Raya) jika diibaratkan sebagai KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang melaksanakan Pemilu (Pemilihan umum).
Tetapi saya tidak akan termakan dengan analisis politik yang menjebak kepada kotoran yang disebutkan di atas tadi. Saya akan jelaskan melalui analisis dan pendekatan hukum.
Secara garis besar, saya menjelaskan 2 (dua) topik mengenai Konsep Lembaga Independen dan Harmonisasi dalam Ilmu Peraturan Perundang-undangan.
Kerancuan Kata “Independen” dalam Panitia Pelaksana Pemira
Pembahasan pertama dimulai dari kata “independen” yang banyak dibahas di seluruh negeri, karena status lembaga independen KPK.
Secara garis besar, era reformasi melahirkan banyak lembaga independen, salah duanya ialah KPK dan KPU. Kedua lembaga ini menjadi anak dari reformasi. Jika keduanya tidak lagi dicita-cita dari awal, yaitu independen, maka reformasi hanya sebuah batu loncatan untuk kembali kepada Orde Baru.
Lalu kita bertanya-tanya, di mana posisi lembaga independen di suatu negara demokrasi?
Dalam banyak diskusi dan pembahasan, termasuk FGD yang membahas mengenai KPK di FH UB, posisi lembaga independen dalam negara demokrasi berangkat dari sistem yang digagas oleh Montesquieu, yaitu trias politica, di mana di dalamnya terdapat eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dan kebanyakan masyarakat pada umumnya hanya mengetahui hal tersebut.
Namun, perkembangan zaman menuntut ilmu pengetahuan mengenai ketatanegaraan berubah. Terdapat adanya poros keempat, yaitu pengembangan dari sistem Montesquieu, yaitu auxiliary state organ atau lembaga sampiran negara.
Menurut Ahmad Basarah (DPR RI) dalam jurnalnya tahun 2014, lembaga negara pembantu dari beberapa fungsi (trias politica) atau dibentuk di luar bagian fungsi kekuasaan tersebut.
Mengutip beliau lagi, mengatakan seperti ini, keberadaan lembaga independen sering disamakan dengan keberadaan lembaga penunjang lainnya yang dibentuk oleh ekskutif. Padahal secara teori keberadaan lembaga independen itu dibedakan dengan ekskutif. Padahal secara teori keberadaan lembaga independen berbeda itu berbeda.
Alasannya adalah lembaga ini dalam menjalankan fungsi dan tugasnya tidak mendapatkan tekanan dari kekuatan politik, karena hal ini dapat berdampak negatif ketika lembaga tersebut melaksanakan tugasnya.
Di lain sisi, seorang ahli hukum tata negara dari UGM, yaitu Zainal Arifin Mochtar, yang juga merupakan bagian dari PUKAT UGM. Dalam isi materi FGD tentang KPK di FH UB, syarat lembaga negara yang independen adalah (1) bukan cabang kekuasaan, (2) pemilihan bukan political appointee, (3) pemilihan dan pemberhentian sesuai aturan dasar, (4) bukan lembaga negara utama.
Sebenarnya ada beberapa point lagi, tetapi kebanyakan nanti malas membaca. Dan masih ada menurut Jimly Asshiddqie, Funk, dan Seamon.
Selain pendapat ahli, coba kita perbandingkan dengan lembaga KPU yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam buku kedua dan dari banyak pasal yang berada di Undang-Undang tersebut tidak menyebutkan pertanggungjawaban ke DPR. Dan dibentuknya KPU Pusat bukan hanya melalui DPR, tapi melalui Panitia seleksi yang dibentuk pemerintah. Dan sifatnya bukan hierakis kepada DPR.
Nah, dari metode doktrin atau pendapat ahli hukum dan metode perbandingan lembaga negara, kita masukkan mengenai objek Panitia Pemira UB dalam kedua metode tadi.
Adalah sangat tidak sesuai dengan lembaga independen negara. Mengapa? Sederhananya, Panitia Pemira merupakan badan di bawah lembaga legislatifnya mahasiswa, yaitu DPM, dan bertanggung jawab kepada DPM, yang akan dielaborasi dalam analisis normatif.
Pada Undang-Undang Lembaga Kedaulatan Mahasiswa Universitas Brawijaya (UU LKM UB) Nomor 3 tahun 2019, dalam Pasal 4 Butir 2 menyatakan: “Panpel Pemira yang bersifat Independen ... ”.
Konsekuensi daripada independen harus merujuk kepada teori lembaga negara independen. Lalu pada Pasal 4 Butir 8 menyatakan “Panpel Pemira bertanggung jawab kepada panitia pengarah” di mana dalam hal ini merupakan DPM UB dalam Pasal 4 Butir 1. Di mana dalam satu pasal terdapat pertentangan hukum. Aneh, bukan? Dan merujuk ke teori lembaga independen yang mana?
Dan dalam Pasal 4 Butir 10 menyatakan, “Panitia Pengarah dapat membantu menyelesaikan permasalahan pelaksanaan PEMIRA, yang tidak bisa terselesaikan di dalam internal Panpel Pemira.”
Begini logikanya, dianalogikan di pemerintahan RI. Terjadi konflik di KPU, lalu KPU tidak bisa mengatasinya, dan DPR dapat membantu menyelesaikan konflik tersebut. Logika politik praktisnya, ketika ada calon yang mau maju menjadi DPR lagi (Petahana), dia dapat menyelesaikan masalah lembaga yang merupakan sarana pemilihan Petahana dan lawannya, tentunya harus yang menguntungkan petahana.
Selain itu, gendutnya struktur lembaga dalam pemilihan ini seperti terdapat, (1) Panitia Pelaksana, (2) Panitia Pengawas, (3) Panitia Pengarah, (4) DPM UB. Benar-benar membingungkan dalam satu daerah pemilihan kecil (Universitas Brawijaya) terdapat banyak lembaga dan terdapat lembaga legislatif pula.
Ketika saya membaca itu saya sudah mulai malas untuk membahas struktur yang berantakan dan absurd ini dalam konteks hukum. Rasanya percuma saja belajar 3,3 tahun (saat ini) jika melihat UU LKM UB ini. Sebenarnya masih banyak yang dibahas dalam kajian ketatanegaraan dan administrasi negara dalam UU LKM UB ini.
Belajar “Harmonisasi” Perundang-undangan
Salah satu susahnya menjadi mahasiswa hukum adalah menghafal Undang-Undang. Ini adalah keluhan terbesar mahasiswa hukum.
Tetapi pertanyaannya, apa itu Undang-Undang? Kajiannya panjang sekali, mulai dari sistem negara hukum dan teori-teorinya, hingga yang paling sederhana memahami Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah direvisi pada DPR periode ini.
Di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya diajarkan dalam mata kuliah Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 2 sks dan 2 sks lagi untuk Praktek Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Ternyata hal seperti ini juga ada teorinya dan tidak asal buat. Rata-rata yang menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan yang biasa disebut aliran positivisme merujuk kepada Hans Kelsen (bapaknyalah).
Siapa dia? Dia yang merumuskan teori mengenai jenjang hukum, bahasa kerennya Stufentheorie (ini dikutip dari buku Maria Farida berjudul Ilmu Perundang-Undangan buku pertama). Seorang kelsenian akan memperhatikan betul norma-norma (aturan-aturan) secara berjenjang, mulai dari yang tertinggi hingga terendah.
Lalu di sana ada Hans Nawiasky, ini juga kelsenian (muridnya). Dia menggagas tentang Hierarki Norma Hukum Negara (mengembangkan teori sebelumnya). Sederhannya yang dipakai di Indonesia ada UUD (Undang-Undang Dasar), UU/PERPPU, dan seterusnya (baca sendiri di Pasal 7 UU 12/11). Terdapat panjang lagi kajian mengenai ilmu perundang-undangan (terdapat 2 buku dan ini masih dikutip dari 1 buku).
Lalu apa hubunganya dengan Pemira UB? Jelas ada hubunganya, yaitu dalam produk peraturan yang dikeluarkan. Penulis membaca terdapat hierarki di mana Pasal 6 Point 3 UU LKM UB Nomor 3 Tahun 2019 melahirkan aturan pelaksanaan, yaitu Tata Tertib Pendaftaran Bakal Calon. Satu catatan, di mana tidak ada hierarki yang jelas, dampaknya penulis sendiri hanya menduga hierarki tersebut.
Selanjutnya akan langsung ke BAB Pelanggaran dan Sanksi di dalam Tata Tertib Pendaftaran Bakal Calon. Di mana kesimpulan awal dan akhirnya adalah perbedaan di antara Pelanggaran dan Sanksi UU LKM UB dan Tata Tertib Pendaftaran Bakal Calon tersebut. Antara Pelanggaran dan Sanksi Ringan dan Berat, terjadi perbedaan mendasar.
Di dalam UU LKM UB menyatakan salah satu pelanggaran ringan ialah “tidak hadir tepat waktu pada setiap rangkaian tahapan Pemira tanpa Izin dan Persetujuan jelas Panpel Pemira”. Dan dalam Tata Tertib Pendaftaran Bakal Calon tidak terdapat dalam pelanggaran ringan, namun dimasukkan dalam pelanggaran berat. Terjadi ketidakharmonisan produk hukum yang dikeluarkan.
Harmonisasi sendiri dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 terdapat dalam Naskah Akademik Bab 3 yang mengharmoniskan UU yang lebih tinggi (vertikal) dan sejajar (horizontal). “Naskah Akademik itu apalagi?” sederhananya hasil kajian atau penelitian sebelum Per-UU-an dibuat. Lalu pertanyaan apakah setiap produk DPM ada Naskah Akademiknya? Patut dipertanyakan.
Lalu dari dua pembahasan mengenai Konsep Lembaga Independen dan Harmonisasi Ilmu Perundang-Undangan, apakah sudah sesuai dengan kaidah yang ada? Selebihnya berdebat tatap muka lebih mengasyikan dan menghibur.
“Didiklah rakyat dengan organisasi, didiklah penguasa dengan perlawanan” –Pramoedya Ananta Toer