Halo, tikarku…
Bagaimana kabarmu saat ini? Aku harap tetap dalam keadaan baik-baik saja di penghujung umur pemakaianmu ini. Pertama-tama, aku minta maaf karena telah lancang dan tiba-tiba menulis surat perpisahan ini untukmu. Secara terbuka pula. Sekali lagi, maafkan kelancanganku ini, tikarku. ~emot kedua jemari tangan menyatu~
Tetapi, aku memiliki alasan kuat untuk menulis surat perpisahan secara terbuka ini. Sejujurnya, aku menulisnya karena tak mampu dan sanggup lagi menyampaikannya secara langsung perpisahan kita ini pada mu.
Aku tak tega menonton reaksi terpukul dan kekecewaan mendalammu tatkala mengetahui kenyataan pahit ini. Itu momen yang tidak ingin kulihat. Karenanya, dengan menyampaikannya melalui surat terbuka begini, biarlah nantinya para pembaca ini saja yang menyampaikannya pada mu. Setidaknya, dengan begini, reaksi kelabu mu saat membaca ini jadi tak kulihat.
Tikarku,
Ada pepatah bijak mengatakan, “dimana ada pertemuan pasti juga ada perpisahan.” Situasi yang demikian itulah kini yang kiranya kualami dalam kebersamaan kita yang sudah berlangsung 10 tahun ini. Dengan berat hati kusampaikan, aku ingin mengakhiri kebersamaan indah dan intim yang selama ini telah kita jalin.
Ya, untuk hari-hari ke depan, aku tidak akan menggunakanmu lagi sebagai alas tidurku. Aku tahu ini mengejutkan mu. Bagai petir di siang bolong. Dan juga membuatmu bertanya-tanya, “Salah apa aku?”.
Aku tegaskan, kamu tidak melakukan kesalahan, tikarku. Jauhkan prasangka mu itu. Sedikitpun tidak ada kesalahan mu. Kamu adalah benda mati yang selalu baik padaku; baik dalam keadaan dan situasi apapun.
Lagi pula, relasi yang kita jalani selama ini selalu harmonis dan jauh dari gosip konflik maupun pertengkaran, kok. Dus, sekali lagi, ini bukan soal kesalahan dan permasalahan yang ada di antara kita.
Alasanku untuk mengakhiri kebersamaan kita ini sebenarnya bukan dari inginku. Tetapi karena keadaan. Ya, keadaanmu yang sudah mulai lapuk dan compang ditelan usia membuatmu tak layak lagi untuk dipakai sebagai alas tidurku.
Beberapa bulan ini, helai-helai dalam rajutan mu yang terkelupas dan bolong karena terkikis waktu semakin cepat dan banyak. Membuat tidurku tidak nyaman dan nyenyak. Maaf, aku harus jujur dan blak-blakan mengatakannya. Aku tahu kamu pasti berpikir bahwa aku begitu tega mengatai kondisimu. Terserah, bila kamu cap pun aku jahat, tak apa. Aku terima. Tapi aku harus mengatakannya. Ini demi kebaikan kita bersama.
Sejujurnya, aku pun tidak suka mengakhiri kebersamaan ini. Aku coba mempertahankannya. Lihatlah. Meskipun keadaanmu sudah semakin compang-camping, bukankah dalam seminggu ini pun aku tetap menjadikanmu sebagai alas tidurku?
Namun, apa daya, karena hal tersebut, tiap pagi aku selalu bersin-bersin dan badan pegal dibuatnya. Dan kau pun tahu sendiri, bukan? Terlebih lagi akhir-akhir ini. Bersin-bersinnya semakin menjadi. Di tengah situasi corona seperti ini, hal itu memberi kekhawatiran bagi sekitarku. Karenanya, setelah kurenungkan dan mendengar masukan tetua, aku memutuskan untuk mengakhiri kebersamaan kita ini.
Tikarku,
Aku tahu ini berat. Mengakhiri kebersamaan yang telah dijalin selama 10 tahun itu bukanlah perkara mudah. Begitu banyak kenangan indah yang menyelingi di antara kita. Aku tahu itu. Bahkan, ketika aku menulis rangkaian kata di surat ini, jujur, aku langsung teringat dengan berbagai kenangan kita itu.
Saat kita kali pertama bertemu 10 tahun lalu. Saat itu Inong/Inang datang dari pasar menentengmu. Kala menatapmu, aku langsung terpikat dibuatnya. Aku bertanya pada Inong,
“Ini tikar buat siapa, Inong?”
“Buatmu. Sebagai tempat tidurmu. Dah besar kau. Dah bisa tidur sendiri,” kata Inong.
Aku begitu girang mendengarnya. Aku langsung mengangkatmu dari tentengan Inong dan memelukmu. Tercium semerbak bau yang khas dari mu. Bau tikar baru.
Sejak itu, kau selalu partner dalam tidurku. Tak terhitung berapa kali aku menidurimu. Tak terkira berapa tetes iler ku terjatuh pada mu. Mungkin, bila diakumulasi telah mencapai 1 ½ liter jumlahnya. Kau senantiasa menjadi saksi bisu kala aku mau ngomong-ngomong dan cengengesan sendiri di dalam anganku sebelum tidur. Kau juga bahu-membahu bersama dengan selimut untuk menghalau dinginnya angin malam dan ubin lantai rumah.
Kau juga begitu gemar menempelkan pola dari rajutan tikarmu pada wajahku saat aku begitu lelap tidur, hingga terkadang susah dihilangkan bekasnya dan membuatku tertangkap basah untuk dimarahi guru dan diledekin temanku, karena baru bangun dan tidak mandi saat terlambat pergi ke sekolah dulu. Tak terasa, mengenang itu, membuat air mataku berlinang.
Kini, kebersamaan kita berada di persimpangan jalan. Aku sudah memantapkan hati untuk tidak memakai mu lagi sebagai alas tidur. Kau kini sudah memasuki fase senja dan ke depan akan masuk gudang. Peran mu kini telah tergantikan oleh kasur empuk yang baru dibeli dan belum kupertemukan dan kenalkan pada mu. Maafkan aku.
Tikarku,
Percayalah. Meski kebersamaan kita berakhir, tapi kenangan di antara kita akan hidup selalu di relung hatiku. Harapanku semoga kamu dapat menikmati masa senja mu dengan tenang. Demikian surat terbuka perpisahan di antara kita ini aku buat dengan sebenar-benarnya, secara sadar, dan sedikit halu. Terimakasih. Salam.