Syahdan, peradaban manusia seringkali berpendar di sepanjang aliran sungai. Tengoklah Mesopotamia yang terlahir di persimpangan Sungai Efrat dan Tigris. Bangsa Han membangun peradaban ribuan tahun di tepi Sungai Kuning. India sepanjang Sungai Indus dan Brahmaputra. 

Mesir sepanjang Sungai Nil. Indocina sepanjang Mekong. Begitu juga sungai-sungai di Indonesia. Bahkan, pada lukisan anak-anak Sekolah Dasar, sungai merupakan pemandangan wajib yang menghias buku gambar mereka lengkap dengan sawah-sawah dan gunung-gunungnya.

Sungai ialah kehidupan, mimpi, sekaligus imaji. Dalam karya seni rupa misalnya, sudah tak terhitung banyaknya lukisan yang menampilkan sungai (baik tunggal atau bagian dari) sebagai objeknya. Tidak terbatas pada seniman-seniman tradisional, seniman-seniman modern pun kerap mengolah sungai sebagai subject matter lukisannya.

Alam dalam Pandangan Sang Naturalis

Alam selalu menarik bagi seniman sebagai inspirasi karya seninya. Manifestasi keterpesonaan terhadap alam banyak diekspresikan pada upaya meniru bentuk-bentuk alam, semakin mirip peniruan-peniruan tersebut, manusia semakin puas. Pada umumnya seni yang meniru alam dengan baik disebut naturalisme.

Bagi para pelukis naturalis _ khususnya, persoalan pokok yang dihadapi tentu saja pemindahan kenyataan alam (realita) ke dalam bidang kanvas yang memiliki dua dimensi. Ruang yang sesungguhnya (virtual space) dipindahkan menjadi ruang semu yang tergambar di atas kanvas. 

Akan tetapi, dalam hal ini lukisan naturalistik tidak hanya berhenti pada penggambaran realitas dalam bentuk permukaan saja. Setiap pelukis naturalis tentu saja mempunyai persepsi sendiri-sendiri terhadap alam.

Lebih jauh Sudarmaji mengemukakan, naturalisme merupakan karya seni yang melukiskan segala sesuatu sesuai dengan nature atau alam kodrat. Manusia           atau fenomen diungkapkan sebagaimana mata kita menangkap artinya susunan,  keseimbangan, perspektif, tekstur, pewarnaan, dan lain-lain disamakan setepat mungkin sesuai dengan mata kita menangkap gejala yang dilukis.

Akan tetapi, sekalipun seorang seniman berusaha keras melukiskan alam sebagaimana adanya, ia tetap tidak dapat begitu saja meninggalkan subjektivitas-nya sebagai manusia yang mempunyai emosi. 

Dalam karya-karya naturalistik selalu terdapat variasi-variasi atau penambahan yang diakibatkan oleh emosi. Dengan kata lain, naturalistik lebih mementingkan kesempurnaan bentuk permukaan, yaitu bentuk fisiknya. Sebagaimana yang dikatakan Sudarso bahwa karena lebih mementingkan bentuk ini, maka naturalisme cenderung memilih objek yang indah-indah.

Lukisan berjudul Sungai Tak Pernah Kembali karya Basoeki Abdullah tentu saja merupakan salah satu contoh terbaik lukisan beraliran naturalis. Dalam lukisan ini, Basoeki mengungkapkan visi estetiknya tentang dunia yang utuh dan ideal. 

Pada latar belakang lukisan, tegak berdiri dengan anggun gunung yang dihiasi bukit-bukit dan lapisan awan putih di langit yang biru. Pada latar depan terlihat pohon-pohon, sawah-sawah, dan barangkali kampung-kampung yang tersembunyi. Sebuah sungai yang cukup besar lengkap dengan jembatan bambu tepat berada di tengah. Dua orang berjalan dengan tenang di pematang sawah.

Sebagai seorang pelukis handal, Basoeki menempatkan objek lukisannya dengan tepat dan cermat. Susunan harmonis dari alam seperti air (sungai), pohon-pohon, gunung, batu-batuan, hadir dalam pengamatan yang penuh. Selain itu, cahaya matahari yang mempengaruhi cuaca _ panas atau dingin, demikian juga intensitas cahaya yang menandai waktu tak luput dari perhatiannya.

Sebagaimana kita ketahui, ruang dalam bidang dua dimensional dapat diciptakan dengan menarik garis datar (horizon) yang merupakan garis imajiner, di mana bumi dan langit bertemu. Dari sebuah titik atau lebih garis horizon tersebut, ditarik garis-garis yang saling memotong dari arah pandangan peninjau akan tercipta ruang ilusif, semua benda dalam variasi jarak ditempatkan.

Namun tentu saja, dalam melukis seorang seniman, apalagi yang telah berpengalaman, tidak melakukan hal itu karena secara insting seniman telah peka dengan hukum tersebut.

Begitu juga dalam segi ruang dan waktu. Dalam realitas nyatanya tidak mudah dilukiskan. Secara teoritis, ruang dapat dikesankan dengan pencahayaan. Cahaya juga dapat menandai waktu di saat matahari bergulir dari terbit ke arah tenggelam. Perubahan dapat terlihat dari bayang-bayang yang berubah, intensitas cahaya mempengaruhi cuaca dan indera.

Tentu saja, sebagai seorang pelukis akademis yang pernah mengecap pendidikan di Academie Voor Beeldende Kunsten – Belanda, Basoeki paham betul tentang hal itu. 

Harmonisasi akan langsung kita jumpai dalam lukisannya tersebut. Keharmonisasian memberikan keserasian, ketenangan, sekaligus kesenangan. Dalam lukisan Sungai Tak Pernah Kembali, kita dapat jumpai air sungai yang jernih kebiruan mengalir tenang di bawah jembatan bambu yang membentang di atasnya. Dikelilingi sawah-sawah, hutan-hutan, serta pohon nyiur. Nun jauh di belakang, nampak gunung berapi biru keunguan. 

Sungai Basoeki, Sungai Imaji

Sungai (atau alam) dalam lukisan Basoeki tentu saja merupakan sungai imaji. Sungai yang sunyi. Bukan sungai dengan pergumulan dan pergulatan riuh rendah manusia-manusia di sekitarnya sebagaimana yang diceritakan di awal tadi.

Artinya, pemandangan seperti ini dengan segenap keindahan dan kedamaiannya hanya dijumpai di dalam lukisan, bukan di alam nyata. Meskipun mungkin saja  dapat disaksikan mata, tetapi akan lebih banyak ditemukan dalam angan-angan kita semata.

Tentu saja, sebagaimana sejarah kelahirannya, aliran naturalis lahir di Eropa sebagai ‘pelarian’ dari rutinitas dan persoalan-persoalan hidup di kota. Di  Indonesia, lukisan pemandangan berkembang dalam kondisi yang hampir serupa, meskipun tentu saja tidak dialami masyarakat pribumi, melainkan oleh orang-orang Belanda yang hidup di Indonesia pada zaman kolonial. Lukisan pemandangan dapat membawa mereka istirahat sejenak dari kesibukkan.

Cita rasa ini kemudian meluas ke dalam masyarakat Indonesia lapisan atas, terutama golongan terpelajar yang banyak bergaul dengan Belanda. Basoeki yang lahir dari kalangan ningrat Jawa dan memperoleh pendidikan Barat, tentu juga menyerap hal itu. 

Meskipun demikian, kita sepatutnya tak menyimpan prasangka berlebihan. Sebagaimana pepatah bijak mengatakan, alam adalah guru terbaik dan tidak pernah bohong. Padanya tersimpan rahasia yang tak habis-habisnya digali. 


Garut, 17 Januari 2023