Mediasi adalah bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa (atau biasa disebut Alternative Dispute Resolution) penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang pada umumnya digunakan dalam kasus-kasus hukum perdata yang mengedepankan penyelesaian sengketa yang bersifat win-win solution melalui bantuan pihak ketiga sebagai Mediator, dengan tujuan mencapai kesepakatan penyelesaian sengketa secara musyawarah tanpa harus melibatkan pengadilan. Penyelesaian perkara melalui mediasi memberikan keuntungan dari segi proses yang cepat, biaya ringan dan tanpa ada pihak menang maupun kalah karena mediasi mengedepankan posisi para pihak secara kooperatif.

            Pada prinsipnya kasus-kasus pidana harus diselesaikan melalui jalur pengadilan, namun pada kenyataannya dalam keadaan tertentu dapat diselesaikan melalui musyawarah, walaupun demikian hal tersebut dijadikan hal yang meringankan kepada pelaku sehingga hakim dapat menjatuhkan hukuman percobaan seperti pada perkara kecelakaan lalu lintas. Sejalan dengan perkembangan hukum pidana saat ini mekanisme mediasi telah digunakan di negara-negara seperti Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Inggris dan Belanda sebagai instrumen penyelesaian perkara pidana, hal tersebut merupakan diskresi penegak hukum sebagai bagian dari proses penyelesaian perkara, hal inilah yang dinamakan “Mediasi Penal” sebuah pembaharuan hukum pidana yang mengedepankan musyawarah dalam penyelesaian perkara secara damai.

            Sebagai sebuah pembaharuan hukum pidana (penal reform), mediasi penal dilatarbelakangi oleh ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide keadilan restoratif (restorative justice), ide mengatasi kekakuan hukum dan menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan yakni mencari alternatif selain hukuman penjara. Mediasi penal berkaitan erat dan sejalan dengan konsep restorative justice yaitu mengedepankan pengembalian keadaan seperti semula sebagaimana sebelum terjadinya tindak pidana. Secara konsepsi mediasi penal sesuai dengan falsafah Negara Indonesia yakni Pancasila yang menjunjung nilai keseimbangan dan kemaslahatan serta mengedepan prinsip musyawarah dan kekeluargaan.

            Mediasi penal melalui pendekatan keadilan restoratif diadopsi dari nilal-nilai kearifan lokal bangsa Indonesia, tradisi masyarakat di Indonesia sudah mengenal konsep mediasi penal sejak lama sebagai contoh Masyarakat Aceh mengenal penyelesaian sengketa melalui peradilan gampong, Masyarakat Bali dengan lembaga awig-awig desa, Masyarakat NTT dengan lembaga begundem dan lain sebagainya. Khusus untuk Aceh sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Aceh adalah daerah satu-satunya di Indonesia yang mengatur penyelesaian sengketa dengan Mediasi Penal yang dilakukan oleh Peradilan Gampong, hal tersebut diatur dengan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. Dalam Pasal 13 diatur penyelesaian tindak pidana ringan maupun perselihan adat, yang mana penyelesaian sengketa/perselisihan adat diselesaikan secara bertahap dan aparat penegak hukum memberikan kesempatan agara sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di gampong, dan di Aceh hal tersebut dipraktek dan dipakai sebagai instrumen penyelesaian sengketa/perselisihan.

            Dalam hukum positif Indonesia, pengaturan mediasi penal masih menjadi pembahasan dalam RUU KUHP dan RUU KUHAP, walaupun demikian telah ada pengaturan konsep mediasi penal yang diadopsi untuk perkara pidana tertentu yang diatur dalam undang-undang sebagai berikut:

Mediasi penal dalam sistem peradilan pidana anak, dalam prakteknya disebut diversi yang diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU No.11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan anak

Mediasi penal dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang  Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga.

Mediasi penal dalam sistem peradilan HAM yang diatur dalam pasal 47 UU No.26 Tahun 2000 yang memungkinkan penyelesaian sengketa secara No-Judisial.

            Berkaca pada praktek yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) penyelesaian perkara dengan mediasi penal dilakukan melalui pendekatan restorative justice merupakan kewenangan Diskresi yang dimiliki aparat penegak hukum.

Tahap Penyidikan

Implementasi mediasi penal tahap penyidikan, yaitu:

  1. Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Strategi Dan Implementasi Pemolisisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri;
  2. Surat Kapolri No.Pol : B / 3022 / XII / 2009 / SDEOPS tentang Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution;
  3. SE Kapolri No. SE / 8 / VII / 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana.
  4. Syarat penyelesaian perkara melalui Restorative Justice ditingkat penyidikan yaitu :

Tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan (schuld atau mensrea dalam bentuk kesengajaan (dolus atau opzet) terutama kesengajaan sebagai maksud atau tujuan (opzet als oogmerk));

Pelaku bukan residivis;

Pada tindak pidana dalam proses penyelidikan;

Penyidikan sebelum SPDP dikirim ke Penuntut Umum.

Tahap Penuntutan

Implementasi mediasi penal tahap penuntutan :

Jaksa sebagai pemegang Asas Dominus Litis memiliki peran yang signifikan dalam menentukan layak atau tidaknya suatu perkara dilimpahkan kepengadilan, dan sebagai upaya meminimalisir perkara yang tidak layak dilimpahkan ke pengadilan telah dikeluarkan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Syarat Restoratif Juctice meliputi:

Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;

Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara dibawah 5 tahun;

Tindak pidana yang dilakukan nilai kerugiannya dibawah Rp.2.500.000 (Dua Juta Lima Ratus Ribu Rupiah).

              Dalam UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, secara legalitas kewenangan Jaksa untuk melakukan mediasi penal diatur dalam Pasal 30C huruf d, sebagai diskresi penuntutan (prosecutional discretionary atau opportuniteit beginselen), penyelesaian melalui mediasi penal adalah sebagai implementasi dari keadilan restoratif yang menyeimbangkan yang antara kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. UU Kejaksaan mengatur secara jelas bahwa Jaksa memiliki kewenangan untuk melakukan mediasi penal.  

Tahap Persidangan

Implementasi mediasi penal tahap persidangan :

Mediasi penal melalui pendekat Restorative Justice pada tahap persidangan, berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor : 1691 / DJU / SK / PS.00 / 12 / 2020 terdapat 4 penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) pada perkara :

Perkara tindak pidana ringan;

Perkara anak;

Perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum;

Perkara narkotika.

             Kendati walaupun setiap sub-sistem peradilan pidana (Polisi, Jaksa, dan Hakim) telah mengatur dan memiliki mekanisme tersendiri dalam penyelesaian perkara melalui pendekatan keadilan restoratif, namun terdapat kekurangan dari segi pelaksanaan dikhawatirkan adanya ketimpangan dan ketidaksesuaian serta dikhawatirkan menimbulkan egosektoral dari setiap diskresi aparat penegak hukum, maka urgensi unifikasi hukum yang mengatur mekanisme mediasi penal sebagai suatu aturan yang bersifat materiil maupun formiil yang diatur dalam RUU KUHP dan RUU KUHAP sebagai aturan yang lebih tinggi yang dapat dipedomani dan dijalankan oleh aparat penegak hukum. Terutama mengenai tindak pidana apa saja yang dapat dilakukan mediasi penal dan prosedur dilakukan mediasi penal.

            Diharapkan mediasi penal yang diatur dalam RUU KUHP dan RUU KUHAP membawa pembaharuan hukum pidana di Indonesia menjadi transformasi penegakan hukum dari keadilan yang bersifat retributif (pembalasan) menjadi keadilan yang bersifat restoratf (pemulihan).