Nama Pierre Andries Tendean sering kali disebut sebagai nama jalan, gedung, ataupun simbol militer. Bahkan, nama Pierre Tendean tidak asing bagi anak-anak sekolah dasar dan sekolah menegah. Hal ini dikarenakan sosok Pierre Tendean tertulis di dalam buku sejarah di sekolah sebagai Pahlawan Revolusi.
Sebenarnya, Pierre Tendean ini merupakan satu-satunya perwira menengah yang gugur dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 di antara enam jendral lainnya.
Ketika masa itu, Pierre Tendean adalah ajudan Menko Hankam/ Kasab Jenderal A.H. Nasution. Setelah 54 tahun sejak kematian hadirlah sebuah buku yang mengulas sosok Pierre Tendean ini secara lebih mendalam. Buku ini berjudul Sang Patriot (Kisah Seorang Pahlawan Revolusi).
Di dalam buku ini diulas kisah karier, keluarga, cinta, dan patrotisme pemuda keturunan Prancis-Minahasa ini. Buku ini ditulis oleh orang-orang muda yang tergabung dalam Pierre Andries Tendean Fans Club.
Sebagai salah satu karya penulisan sejarah tentunya buku Sang Patriot ini tidak terlepas dari subjektivisme dari penulis. Bagaimana subjektivsime itu dibentuk dapat kita lihat dalam uraiannya dalam tulisan ini.
Cerita Singkat Sang Patriot
Buku Sang Patriot ini dimulai dengan latar belakang Pierre Tendean. Pierre Andries Tendean lahir di Batavia, Hindia Belanda, pada 21 Februari 1939 dari pasangan Aurelius Lammert Tendean, seorang dokter spesialis jiwa, dan Maria Elizabeth Cornet, wanita keturunan asal Leiden, Belanda.
Pierre adalah putra satu-satunya dan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak perempuannya bernama Mitzi Farre dan adik perempuannya bernama Rooswidiati. Masa kanak-kanak tiga bersaudara ini dihabiskan di kota Magelang dan Semarang.
Di dalam keluarga Pierre mendapatkan pendidikan kedisiplinan yang ketat dari kedua orang tuanya.
Sejak remaja, Pierre bercita-cita menjadi tentara. Namun, kedua orang tuanya menghendakinya untuk menjadi dokter atau insinyur. Pada akhirnya, tekad Pierre menjadi tentara lebih kuat, sehingga dia berhasil masuk ke Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad).
Ketika di Pendidikan Taruna, Soepardan, teman dekat Pierre, bertanya mengapa Pierre mau bersusah payah, berdarah-darah, dan berlumpur menjadi tentara. Padahal, Pierre berasal dari keluarga yang kaya.
Pada akhirnya, menurut kesaksian Soepardan, Pierre memberi jawaban yang menohok, “keluarga saya sudah dapat banyak dari negara, sekarang saatnya saya menjadi milik negara. Kamu ada masalah dengan itu?”
Pada tahun 1961, sebanyak 144 Sersan Mayor, termasuk Pierre dilantik menjadi Letnan Dua, seiring dikumandangkannya Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno untuk membebaskan Irian Barat. Letnan Dua Pierre Tendean mendapatkan tugas pertama di Kodam Satu Bukit Barisan di Sumatera Utara.
Di Medan, Pierre dijodohkan dengan Rukmini Chamim, gadis berdarah Jawa asal Yogyakarta oleh kedua teman Pierre. Karakter Rukmini yang mandiri dan tegas memikat hati Pierre. Mereka berdua terpaksa harus menjalin hubungan jarak jauh karena profesi Pierre sebagai prajurit.
Karena paras wajahnya yang tidak seperti orang asli Indonesia, menurut kesaksian teman Pierre, Brigjen (Purn.) Effendi Ritonga, Pierre mendapat tugas sebagai intelijen TNI untuk menyusup di Malaysia dan Singapura. Di usinya yang ke-23 tahu, Pierre mengikuti operasi Dwikora mengganyang Malaysia.
Bahkan, Pierre memimpin pasukan gerilya sukarelawan ke Negara Federasi Malaysia dan terlibat operasi penyusupan dan sabotase.
Prestasi gemilang dari karier Pierre membawanya sebagai ajudan Jenderal A.H. Nasution, Menko Hankam/ Kasab. Dia menjadi ajudan Jenderal Nasution karena sosoknya yang dapat dipercaya, prestasi dan reputasinya selama operasi Dwikora.
Selama menjalankan tugas menjadi ajudan Menko Hankam/ Kasab, Pierre dikenal dekat dengan anak-anak Jenderal Nasution, terutama Ade Irma yang berusia lima tahun.
Menurut Yanti Nasution, salah satu puteri Jenderal Nasution, Pierre adalah pribadi yang disiplin dan tegas, namun selalu bersikap hangat dengan keluarga Nasution. Bahkan, Pierre terkadang bertukar pikiran dengan Ibu Johanna Sunarti Nasution, istri Jenderal Nasution.
Tugas Letnan Satu Pierre Tendean menjadi ajudan Jenderal Nasution berakhir dini hari pada 1 Oktober 1965. Pada waktu itu, kediaman Jenderal Nasution dimasuki oleh pasukan Tjakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Presiden Soekarno.
Pasukan Tjakrabirawa berusaha mencari Jenderal Nasution untuk diculik karena diindikasi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) sebagai salah satu anggota Dewan Jenderal.
Sebagaimana yang diketahui bahwa tahun 1965 merupakan masa di mana perpolitikan Indonesia memanas karena ada indikasi perebutan kekuasaan atas mulai menurunnya kesehatan Presiden Soekarno. Namun, usaha penculikan itu gagal karena Jenderal Nasution berhasil melarikan diri.
Tetapi sayang anak dan ajudan Jenderal Nasution, Ade Irma dan Pierre, menjadi korban atas keberingasan pasukan Tjakrabirawa itu.
Menurut, Abie Besman, penulis buku Biogarfi Pierre Tendean, ada dua versi tewasnya Pierre. Versi pertama, menurut film G 30 S/ PKI, pada waktu Pierre ditodong, dia mengaku sebagai Jenderal Nasution.
Sedangkan versi kedua, berdasarkan saksi-saksi yang diwawancarai oleh Abie Besman, tidak ada yang memastikan apakah Pierre mengaku sebagai Jenderal Nasution.
Namun, menurut, Abie Besman, paling tidak Pierre berhasil mengulur waktu untuk Jenderal Nasution dapat melarikan diri. Dapat dikatakan mengulur waktu untuk keselamatan Jenderal Nasution.
Sedangkan kesaksian kakak Pierre, Mitzi Farre, yang berhasil menanyai semua pasukan Tjakrabirawa yang bertugas menculik Jenderal Nasution, karena terburu waktu dan tidak berhasil memastikan apakah Pierre adalah Jenderal Nasution atau bukan.
Namun sayangnya, peluit waktu penculikan selesai, maka Pierre-lah yang dibawa ke atas truk untuk di bawa ke kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Menurut kesaksian seorang anggota Tjakrabirawa, Soepandi, sebagai mana yang pernah diungkapkan oleh Jenderal Nasution Pierre disuruh berjongkok dan kemudian ditembak dari belakang sebanyak empat kali. Kemudian, dia gugur sebagai penyelamat Jenderal Nasution.
Subjektivisme dalam Buku Sang Patriot
Buku Sang Patriot ini dapat dikategorikan sebagai pelukisan sejarah secara subjektif. Dalam hal ini penulis Biografi Resmi Pierre Tendean mengikut sertakan keyakinan politik atau etisnya ikut berperan.
Penulis buku ini memperlihatkan sosok Pierre Tendean sebagai seorang yang benar-benar pahlawan dan orang yang berintegritas. Hal ini dapat dilihat dari alur narasi buku yang menonjolkan sikap patriotisme dari Pierre Tendean sejak awal mula masuk Atekad.
Bahkan, ketika ditemukan adanya kondom pada jenazah Pierre, berdasarkan Visum Et Repertum, salah satu penulis buku ini, Noviriny Drivina menuturkan bahwa temuan kondom ini untuk memfitnah kepribadian Pierre Tendean.
Hal ini berdasarkan keterangan rekan-rekan dan keluarga Pierre Tendean. Subjektivisme juga terlihat dalam nilai-nilai Pancasila, nasionalisme, dan patrotisme yang begitu kental mempengaruhi narasi buku ini.
Sebagai alasan induksi, subjektivitas buku ini terlihat dengan adanya telaah historis yang bersifat subjektif dari para saksi sejarah Pierre Tendean yang mempengaruhi penulisan buku ini. Sebenarnya para pandangan para penulis ini banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme.
Jalan induksi memperlihatkan bahwa telaah historis bersifat subjektif. Nilai-nilai tersebut juga sering kali mempengaruhi para penulis buku ini secara tidak sadar.
Nilai-nilai keyakinan para penulis buku ini masuk dan berkedok sebagai kebenaran bahwa Pierre Tendean memiliki jiwa patriotisme dan nasionalisme sejak remaja dan bukan hanya sesuatu yang bersifat kebetulan Pierre menjadi pahlawan.
Kemudian, dalam alasan relativisme, peralihan dari masa silam kisah hidup Pierre pada berbagai bekas yang ditinggalkan, seperti Visum Et Repertum, foto-foto, dan berbagai benda peninggalan Pierre sudah menjurus ke pada subjektivisme.
Peralihan dari berbagai hal yang dapat ditemukan dari peninggalan Pierre Tendean ini kepada bagaimana para penulis menggambarkan masa lalu Pierre menunjukkan bahwa unsur subjektif tidak dapat terlepaskan.
Subjektivitas penulis sebagai orang muda juga mempengaruhi narasi Pierre yang tergolong pahlawan di usia muda juga. Nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme dari masyarakat Indonesia juga dianut oleh para penulis buku ini.
Dalam subjektivitas waktu, para penulis juga mengakui bahwa mereka anak zaman yang terlahir pada masa Orde Baru.
Hal ini juga mempengaruhi pandangannya terhadap Pierre sebagai Pahlawan Revolusi. Para penulis begitu detail dalam menjelaskan kejadian malam G 30 S/ PKI yang terkenal sebagai kejadian politik.
Kemudian pada alasan bahasa, berbagai ungkapan: Pierre yang berijwa nasionalisme tinggi.
Pierre sebagai penyelamat Jenderal Nasution; dan Pierre yang diculik dan dibunuh dengan tragis di Kawasan Lubang Buaya, semakin menegaskan bahwa Pierre merupakan pahlawan yang berkorban demi menjaga bangsa dan negara dengan cara menyelamatkan simbol negara Menko Hankam/ Kasab, Jenderal A.H. Nasution.
Penutup
Penulisan biografi Pierre Tendean memang tidak bisa dilepaskan dari unsur subjektivisme. Hal ini terlihat dalam berbagai ungkapan dan narasi yang menghiasi buku Sang Patriot ini. Nilai-nilai Pancasila, nasionalisme, dan patriotisme juga tampak dalam narasi cerita buku ini.
Alasan-alasan yang membela subjektivisme, seperti alasan induksi, relativisme, dan bahasa dalam buku ini juga tampak di dalam bagaimana penulis mengksiahkan kehidupan Pierre Tendean.
Boleh dikatakan bahwa buku ini memberi penekanan bahwa Pierre Tendean menjadi Pahlawan Revolusi bukanlah sebagai sesuatu yang kebetulan, tetapi Pierre Tendean memiliki jiwa sebagai pahlawan sejak dia awal memasuki masa pembinaan di Atekad atau Akademi Militer.
Daftar Pustaka
Sumber Buku
Ankersmit, F.R., Refeksi Tentang Sejarah, diterjemahkan oleh Dick Hartoko, Jakarta: Gramedia, 1987.
Besman, Abie, Iffani Saktya, Irma Rachmania Dewi, Laricya Umboh, Nesya Ramadhani, Noviriny Drivina, dan Ziey Sullastri, Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2019.
Sumber Video
Melawan Lupa Metro TV, “Jalan Kesatria Pierre Tendean,” https://www.youtube.com/watch?v=uODh0HLNuCs (diakses pada 11 November 2021, pk.17.)
Singkap Kompas TV, “Anak Muda itu Kapten Pierre Tendean,” https://www.youtube.com/watch?v=qAChfwNfzqc (diakses pada 11 November 2021, pk.17.)