Mengingat waktu seperti jalannya petir yang berkilat, banyak teman-teman saya seolah kehilangan harapan untuk dapat mengubah keadaan. Maksud saya, mengubah nasib mereka seperti yang diinginkan.

Apalagi, kemudian, bila mengingat bahwa nasib di negeri ini senantiasa berurusan dengan tradisi bergantung. Rakyat bergantung pada negara, negara bergantung pada pemerintahannya, dan pemerintah bergantung pada utang luar negeri.

Mengingat kita adalah bangsa yang menghargai tradisi bangsa, tradisi ini kemungkinan juga sudah berjalan ratusan tahun yang lalu, ketika bangsa-bangsa lain yang superior mengangkangi setiap jengkal tanah nusantara. Raja-rajanya begitu takut dan tunduk pada seiap keinginan pemodal besar seperti Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) perusahaan milik bule orange Walanda dan East Indian Company (EIC) milik Kerajaan Inggris.

Bagaimana para pemodal besar bangsa asing itu dengan ajaibnya menundukkan para raja dan sultan yang begitu terhormat dan wibawa di mata rakyatnya yang tak berdaya?

Seenak perutnya para pemodal itu mengklaim setiap wilayah dan menentukan siapa yang harus jadi raja atau sultan. Dengan peradaban yang begitu beradab, mereka mengontrol raja dan sultan untuk menanam tebu, kopi, dan apa saja yang diinginkan. Mereka juga begitu baik hati meminjami duit untuk kebutuhan para raja dan sultan dengan syarat membalas budi melalui kepatuhan dan menyediakan ruang monopoli perdagangan.

Setelah mereka tak ada, bukan lantas lenyap oleh zaman yang berubah. Zaman boleh berubah, tapi kebutuhan tetap sama. Maka, kemudian hadir kembali dengan cara yang lebih sopan setelah Perang Dunia Pertama, yang kali ini melibatkan Paman Sam yang selama ratusan tahun merasa ketinggalan mendidik bangsa dunia yang mereka sebut Dunia Ketiga.

Maka lahirlah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang sebelumnya di era Perang Dunia Pertama disebut Liga Bangsa-Bangsa. Lembaga ini tentu bertujuan mulia, yaitu mengendalikan semua bangsa agar menjadi bangsa yang tertib dan tunduk pada bangsa yang lebih mulia.

Karena ketertiban dunia pula, penting pula digagas lembaga dagang seperti World Trade Organization (WTO) dan lembaga mulia lain seperti Bank Dunia, IMF dan semacamnya agar nasib bangsa Dunia Ketiga dapat dikontrol lewat utang-utang. Persis seperti zaman VOC dan EIC zaman sebelumnya. Para pemimpin kita, rasanya juga sepakat dengan mereka. Menjadikan mereka para pemodal besar itu mendidik bangsa kita dengan iklan.

Semua itu tentu merupakan realitas sejarah. Akibatnya, ketika bangun tidur, saya dan juga teman-teman begitu terpesona oleh semua yang disebut negara makmur bin sejahtera itu. Di antara kami selalu berpikir, betapa enaknya dan hebatnya jika lahir menjadi anak berkulit bule dan berambut pirang.

Maka, biar agak menyerupai, biasanya teman-teman pergi ke salon yang harganya murah, lalu meminta rambutnya diwarnai agar seperti bule. Setidaknya, kelakuan ini, pada akhirnya sukses membuat rambut kami beruban sebelum waktunya, tapi membuat hati kami merasa puas karena mirip bule untuk beberapa saat.

Tapi, waktu seperti mimpi indah yang begitu saja cepat meninggalkan. Ketika bangun, semua kesadaran realitas yang lain dan lebih panjang membuat teman-teman sering murung. Ternyata betapa sulitnya menjalani hidup dengan kantong kosong.

Tapi, teman-teman tak bisa mengisi kantong mereka karena tak memiliki pekerjaan. Jadi, setiap pagi, siang dan malam ketika berkumpul kami membicarakan bagaimana caranya menjadi pengusaha sukses seperti para taipan Indonesia atau dunia yang menguasai 47% kekayaan dunia menurut data tahun 2015. 

Begitu semangatnya kami ingin berubah. Perbincangan kami dengan tema mengubah nasib itu bisa berlangsung bertahun-tahun di tempat yang sama dan dalam kondisi yang sama.

Kami seolah para pemuda yang terkurung di dalam gua seperti kisah Al-Kahfi selama 300 tahun lebih dan awet (miskin). Ketika kami keluar gua, masalahnya tetap sama, tak ada satu bank pun yang mau memodali konsep-konsep hebat usaha kami, meskipun kami (kadang-kadang) menabung di sana. 

Katanya harus punya jaminan. Jadi kami harus menunda menjadi pengusaha yang sukses.

15

Tapi, teman-teman, dan mungkin saya, adalah orang-orang yang tidak gampang putus asa dan membuang waktu yang tidak perlu. Kami sekali lagi berkumpul di tempat yang sama dan saling menguatkan. Mengobrol soal bisnis dan semua hal yang tidak penting.

Nah, masalahnya, waktu berjalan seperti kilat. Begitu kami sadar, seluruh rambut kami telah berubah tanpa perlu cat di salon. Teman saya, pagi itu, menjadi cengeng dan mengatakan ingin pergi ke Suriah saja. Katanya, setidaknya di sana ada harapan karena tak ada aturan lagi yang mempermainkan nasibnya.

Di sini, nasib bisa bergantung pada keadaan. Di sini, nasib tak bergantung pada politik yang dimaksudkan seperti Aristoteles: membangun kebaikan bersama. Politik, di sini, menjalani tradisi ratusan tahun lalu yang menguntungkan para pelakunya.