Sore itu, menjelang maghrib, tiba-tiba aku ingin menelpon Ibu.Tak seperti biasanya, Bapak yang pendiam dan irit bicara tiba-tiba menyerobot di sela-sela pembicaraanku dengan Ibu dengan melontarkan pertanyaan yang agak serius; "kapan kamu nikah?".
Karena sedang fokus ngobrol sama Ibu, aku bahkan tak sempat menjawab pertanyaan itu.
"Sudah dulu ya bu, aku minta maaf, dan mohon doa ibu", kataku sebelum menutup telepon.
"Iya, Ibu maafkan, jaga diri baik-baik, semoga kamu jadi orang sukses." Jawab ibu.
"Amiiinn." jawabku kembali
Aku jarang sekali berkabar pada Ibu. Aku baru menelpon Ibu kalau sudah ditegur Kangmas dengan kalimat yang tak enak didengar; "Duh Gusti, kamu masih hidup? Gak inget orangtua?" Tiap kali mendengar kalimat nylekit itu rasanya ingin langsung kumatikan handphone dan tetap bergeming jika kembali ditelpon. Tapi aku tak pernah melakukan itu, dan cukup menghela napas panjang menahan kesal sambil ngeles cari-cari alasan pembenaran.
Di lingkungan keluarga, aku dikenal pendiam, cuek, dan tidak peka. Untuk sekadar basa basi menanyakan kabar bapak dan ibu saja sering kali aku enggan .
"Aku sibuk mas, lagi gak ada pulsa juga". Kataku
"Gimana kalau nanti jadi pejabat, boro-boro ingat sama orangtua!" jawab Kangmas dengan nada agak geram.
"Sudahlah mas!" Timpalku sambil menghela napas menahan kesal.
Kangmas, anak sulung dari delapan bersaudara itu memang paling perhatian. Tak hanya perhatian ke Bapak dan Ibu, tapi juga ke adik-adiknya. Saking perhatiannya bahkan kerap membuat adik-adiknya kesal karena kalimat-kalimat yang terlontar darinya kerap hiperbolik, dan tak jarang dibumbui nuansa melodramatik.
Untuk ukuran laki-laki, Kangmas termasuk laki-laki langka terutama soal perhatian. Bahkan sikap perhatiannya melampaui adik-adiknya yang perempuan.
Karena sikap dan perkataannya yang tampak penuh perhatian itu, sering kali mampu menghipnotis Ibu. Akibatnya, sikap dan perhatian Ibu pun demikian; fokus dan perhatian Ibu dicurahkan kepadanya. Ibu kerap menyanjungnya dan namanya selalu disebut yang pertama kali dalam segala hal.
Tak jarang perlakuan ibu yang berbeda itu membuat adik-adiknya iri hati dan cemburu. Aku pengecualian. Perlakuan ibu yang lebih perhatian ke Kangmas aku anggap sebagai hal yang wajar. Selain karena Kangmas adalah anak pertama, sikap Kangmas yang ngemong dan perhatian memang jadi pembeda. Ditambah lagi ia paling berlebih secara finansial: selalu siaga mencukupi kebutuhan dan keinginan Ibu.
Pagi itu, tepat tujuh hari setelah aku menelpon ibu, aku masih tidur pulas karena hampir semalaman suntuk kuhabiskan waktu bersama teman-teman lama yang pernah sama-sama aktif di organisasi pergerakan saat di kampus dulu. Karena sudah cukup lama kami tak bertemu, malam itu kami sengaja menggelar pertemuan di sebuah warung kopi, tempat kami dulu ngopi sambil diskusi ngalor ngidul membincang banyak hal, mulai soal picisan hingga soal negara. Malam itu seolah menjadi malam nostalgia yang menguras stamina.
Aku menggeliat malas, terbangun karena suara dering handphone yang tak kunjung reda. Dengan mata masih setengah melek, ku pungut handphone yang tak jauh dari tempat tidur, dan kulihat handphone ada jejak panggilan tak terjawab 30an kali dari Kangmas. Sontak aku bangkit dari tempat tidur dan bergegas menelpon balik Kangmas.
Pikiranku sudah tak enak, ada kabar buruk apa ini? Mengingat selama punya handphone belum pernah meninggalkan jejak panggilan tak terjawab hingga puluhan kali. Gumamku penuh rasa cemas.
Di ujung telepon tak terdengar kalimat apa pun kecuali isakan tangis lirih yang makin lama makin kencang
"Hallo mas, Hallo mas! Ada apa mas!" Tanyaku gemetar
"Bapak... Bapak...."
"Bapak kenapa?" Desakku.
"Bapak sudah pulang"
Hampir tak percaya dengan kabar itu, aku pun terperanjat dan ambruk pingsan sambil menonjok tembok. "Untuk sekadar menungguku saja engkau tak mau Pak!" Kataku menahan tangis.
Tak mau membuang-buang waktu, aku pun segera bergegas dari ruangan kamar sepetak meluncur menuju terminal bus yang tak jauh dari tempat kost yang kutinggali. Tiba di terminal, terik matahari yang menyengat membuatku tersadar bahwa hari itu masih siang, dan kutengok jam tangan benar saja waktu menunjukkan pukul 12 siang, artinya aku harus menunggu 6 jam lagi untuk keberangkatan Bus. Jadwal keberangkatan Bus dalam sehari hanya dua kali; jam 6 pagi dan 6 sore. Dan, loket tiket baru dibuka jam 4 sore. Uffffhhh, dengan langkah gontai tak bersemangat, aku berjalan menuju pojokan terminal.
Di Mushola kecil yang terletak di pojok terminal itu terlihat sepi. Karena raga masih terasa lemas, aku pun rebahan di atas karpet hijau yang tampak lusuh sambil menatap kosong ke langit atap Mushola. Dalam ratapan kosong itu, pikiranku melayang jauh entah kemana. Masih terngiang dengan jelas suara Bapak di ujung telepon itu. Suara itu adalah suara terakhir yang kudengar. Suara yang terdengar agak serak itu seperti suara orang yang sudah kelelahan. Kelelahan karna sudah sekian lama menanggung beban hidup keluarga. Bapak yang tak pernah mengenyam pendidikan di sekolah, sedari muda sudah mengadu nasib di Ibu Kota dalam waktu yang cukup lama. Karena situasi di Ibu Kota saat itu sedang bergejolak pasca terjadinya peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) di tahun 70-an, Bapak memutuskan untuk kembali ke kampung halaman.
Di kampung, Bapak pontang panting bekerja keras untuk menghidupi keluarga hanya dengan bermodalkan kepercayaan diri. Saking percaya dirinya, Bapak bisa menjadi apa saja. Meski tak punya sawah, bapak sering dipercaya oleh si empunya sawah untuk menggarap sawahnya dengan sistim bagi hasil. Jika musim cengkeh tiba, bapak jual beli cengkeh. Bapak juga punya piaraan kambing disamping rumah yang setiap hari pasaran dibawa ke pasar untuk dijual. Jika sedang tak ada modal, Bapak cukup pergi ke pasar, dan pulang dari pasar selalu dengan membawa beberapa ekor kambing untuk dijual kembali nantinya. Bapak juga tak pernah lupa untuk selalu membawakan buah tangan titipan Ibu; lauk pauk, dan segala kebutuhan dapur.
Kadang aku merenung, betapa hebatnya bapak. Aku meyakini bapak menguasai teknik lobi dan mahir dalam communication skills. Jika bukan karena kepercayaan diri yang begitu tinggi dan skill komunikasi mumpuni yang dimiliki bapak, rasanya tak mungkin label Juragan Kambing tersematkan ke Bapak. Di kampungku, dan mungkin berlaku juga di banyak tempat, panggilan Juragan hanya diperuntukkan bagi si kaya alias pemilik modal. Bapakku pengecualian.
Kepiawaian Bapak dalam berdiplomasi dan menjalin relasi di dunia perniagaan menunjukkan bahwa dalam darahnya mengalir darah seni yang tinggi. Tak hanya seni dalam berdagang, jiwa seninya juga tampak jelas dari kecintaannya terhadap olahraga, terutama sepak bola dan tinju. Bapak merupakan penggemar berat kedua olahraga tersebut. Bahkan, setiap kali ada pertandingan bola yang berlangsung di waktu tengah malam menjelang subuh, bapak selalu menonton, nyaris tak pernah melewatkannya. Untuk pertandingan-pertandingan besar atau Big Match, aku selalu minta dibangunkan. Jika tak dibangunkan, biasanya aku akan uring-uringan dan mengancam untuk tidak masuk sekolah.
Sedari kecil, aku tak bisa jauh dari sosok Bapak. Kemana pun Bapak pergi aku kelayu, harus ikut. Setiap kali Bapak pergi ke sawah di waktu tengah malam untuk memastikan pengairan sawah tidak tersumbat, sekaligus memonitor tanaman padinya dari ancaman serbuan gerombolan tikus, aku selalu ikut digendongnya.
Suatu ketika, Bapak terlihat mulai khawatir dengan perubahan tingkahku yang terendus sudah mulai terbawa arus pergaulan - kenakalan remaja.
Sejak masuk SMP tingkahku memang mulai banyak berubah. Mulai dari cara berpakaian yang tampak nyleneh; banyak coretan gambar tak jelas di baju seragam sekolah. Saat itu memang lagi ngetrend coretan di baju sekolah layaknya gambar tato.
Saat menginjak kelas dua, aku pun mulai merokok dan mulai berani menunjukkan ketertarikanku pada lawan jenis. Masih terngiang di ingatan saat pertama kali, tak sengaja, bertatap pandang dengan perempuan berwajah putih, bibirnya kemerahan, dan berambut ikal di sebuah mobil angkutan umum (pick up) yang biasa kami tumpangi sepulang dari sekolah. Mobil itu setiap harinya penuh sesak oleh anak-anak sekolah, nyaris tak ada ruang untuk bergerak.
Perempuan cantik itu berdiri persis di depanku. Aku tak bisa menoleh ke kanan atau ke kiri karena saking penuh sesaknya. Ketika perempuan itu menatapku sambil melempar senyum, degg! jantungku terasa berdegup kencang. Dengan susah payah, aku berusaha mengendalikan rasa maluku. Ya, aku memang pemalu. Untuk sekadar masuk ke ruang kelas saja aku tak pernah berani menatap ke arah perempuan, apalagi untuk berani bertatap pandang dalam jarak yang begitu dekat.
"Oo, inikah yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama?" Gumamku dalam hati sambil senyum-senyum tipis menahan malu.
Pikiranku masih melayang ke masa silam, siang itu, sepulang dari sekolah, Bapak tampak tak gembira menyambut kelulusanku. Seperti biasa aku langsung menuju ke meja makan untuk menyantap masakan yang sudah disiapkan oleh Ibu.
Baru satu suap nasi masuk ke mulut, tiba-tiba bapak datang menghampiriku. Dengan tatapan dingin dan sorot matanya yang tajam, bapak melontarkan pertanyaan,
"Kamu mau sekolah atau nyangkul?" Tanya Bapak dengan sikap dingin
"Kalau mau sekolah, kamu harus masuk Pesantren!" Tegas Bapak
Alih-alih mendapat ucapan selamat atas kelulusanku, yang terlontar dari bapak malah pertanyaan yang terdengar absurd dan tak biasa itu. Aku menduga kuat ini sebab dari tabiat burukku yang mulai terendus oleh bapak. Aku pun diam seketika.
"Iya, aku mau sekolah." Jawabku lirih sambil menunduk menatap ke sepiring nasi.
Tak bisa ku pungkiri, kegelisahan akan momok menakutkan bernama "Pesantren" terus menghinggapi pikiranku di setiap malam menjelang tidur. Aku merasa musykil dengan keputusan Bapak mengirimkanku ke pesantren. Di mana ketika banyak dari temanku melanjutkan study ke sekolah-sekolah Negeri yang begengsi, sementara aku harus masuk ke dunia baru dan asing yang kata banyak orang seperti "Penjara Suci".
Harus ku akui, saat itu aku masih terpikat euforia sekolah negeri, dan rasanya gengsi kalau harus masuk Pesantren. Jangankan anak-anak sepertiku kala itu. Kebanyakan orang tua pun ternyata punya pikiran yang tak jauh beda. Mereka lebih memilihkan sekolah negeri untuk anak-anaknya karena alasan fasilitasnya, prestasi ekstrakulikulernya, atau capaian nilai para lulusannya.
Deretan asrama yang berjajar-jajar, ubin-ubin kotak berwarna cokelat, tumpukan kitab yang sedikit berserakan, buntalan-buntalan sarung yang berbaur dengan kantong beras dan aroma gosong yang mengepul dari balik kantin belakang asrama, semuanya adalah pemandangan baru yang sama sekali asing bagiku saat pertama kali menginjakkan kaki di Pesantren. Aku merasa seperti seekor anak ayam yang kebingungan dan sangat memprihatinkan karena ditinggal induknya mencari makanan. Bagaimana tidak? Ini momen pertama kalinya jauh dari orang tua di mana apa-apa harus sendiri, apa-apa serba ngantri. Belum lagi ketemu teman-teman dari berbagai macam daerah dengan beragam budaya dan sifatnya. Uffffhhh, begini amat ya Allah! Gumamku menahan tangis.
Selama tinggal di Pesantren, aku putus komunikasi dengan bapak dan Ibu. Selain jarak Pesantrenku yang cukup jauh di pesisir Jawa Barat, juga karena waktu itu belum ada Handphone.
Setelah tiga tahun di Pesantren, aku benar-benar bersyukur, akhirnya aku menemukan alasan kenapa bapak memasukkanku ke Pesantren. Aku merasakan bahwa di pondok pesantrenlah pembinaan karakter benar-benar ditempa secara nyata. Pembiasaan hidup nriman, melatih diri menahan godaan nafsu dan emosi, dan membentuk kepribadian yang istiqomah hampir setiap hari ditekankan, bahkan sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di penjara suci ini. Semua itu tak lepas dari peran bapak. Bapak lah role model utama yang membentuk karakterku. Sepertinya benar apa yang dikatakan Dan Brown, seorang Penulis novel terkenal dengan The Davinci Code, "No love is greater than that of a father for His son."
****
Kumandang azan maghrib mebuyarkan lamunanku akan kenangan sosok bapak. Aku bergegas ke kamar mandi mengambil wudhu. Karena khawatir ketinggalan Bus, aku memilih sholat maghrib sendiri di pojokan mushola.
Benar saja, selepas sholat maghrib, Bus yang akan aku naiki terlihat sudah berjalan pelan meninggalkan lokasi parkiran. Aku pun segera berlari mengejarnya. Untungnya jarak dari mushola ke arah bus tak begitu jauh, hanya sekira 50an meter. Tak terbayang jika tadi ikut sholat maghrib berjamaah, sudah pasti aku ketinggalan bus.
Sepanjang perjalanan, dalam suasana keheningan malam di dalam bus yang kebetulan tak terlalu banyak penumpang, suara itu kembali melintas di pikiranku. Suara di ujung telepon yang kudengar untuk terakhir kalinya. Suara sosok yang begitu aku kagumi.
"Bapak, meski aku jarang komunikasi, tahukah kau bahwa apa yang ada di dalam dirimu juga ada di dalam diriku. Aku adalah kau dan kau adalah aku". Desisku menahan tangis.