Kemarin siang, saya baca lagi buku-buku Soe Hok Gie. Dua judul yang saya baca sekilas. Titik fokus yang saya baca tentang mahasiswa.
Buku Gie yang berjudul Zaman Peralihan sebenarnya tulisan-tulisan ringan dengan pesan yang keras, kuat dan dalam. Tulisan-tulisannya adalah salah satu gerakannya sekaligus caranya bagaimana dia ada.
Buku kedua yang menarik berjudul Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, yang sebenarnya judul aslinya adalah Simpang Kiri dari Sebuah Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun 1948. Judul aslinya merupakan judul skripsinya di Universitas Indonesia (UI). Skripsinya ini menarasikan sejarah orang-orang kiri jalan, Orang-orang yang dikemudian hari dikenang sebagai orang-orang bermasalah.
Dari dua buku itu, pikiran-pikiran Gie bisa dipandang sebagai pikiran-pikiran bebas. Pemikirannya melampaui ruang dan waktu. Sebab, disetujui atau tidak, tulisan-tulisannya di Zaman Peralihan cukup relevan. Pikirannya tajam, suaranya keras, pantang membungkukkan badan di depan rezim yang tidak adil.
Meminjam istilah Goenawan Mohamad, dia adalah lalat penganggu bagi rezim yang menjalankan pemerintahannya dengan sewenang-wenang. Menganggu rezim otoriter yang tak becus, yang hanya mendahulukan kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Mahasiswa intelektual ini tidak buta warna memandang permasalahan.
Jika saya boleh katakan, jika ia diajarkan independensi, ia tetap pegang teguh sampai mati. Ini terbukti dengan keadaannya yang selalu kesepian. Mengalami permusuhan oleh teman-temannya. Gie tetap kokoh mempertahankan kekritisannya.
Apa yang relevan? Kesadarannya sebagai mahasiswa. Kesadarannya sebagai orang yang bertanggung jawab demi keadilan yang sampai saat ini sebatas perbincangan di meja-meja diskusi dan kopi. Bahwa kesadaran itu penting, saya katakan, iya.
Sosok intelektual ini saya tulis sebagai bahan perenungan terhadap gerakan mahasiswa saat ini yang saya katakan mandul. Gerakan-gerakan serampangan. Berjalan atas nama perintah senior. Sehingga ada istilah "dibayar, bergerak, dan menggertak".
Kenyataan mahasiswa saat ini mandul bisa dilihat selama lima tahun belakangan ini. Yang bergerak atas nama rakyat bisa dikatakan seratus persen tidak ada. Akibatnya, pemerintahan yang seharusnya dikoreksi, malah dibiarkan berjalan sendiri-bisa saja-seenaknya. Akibat kemandulan ini, keadilan di tengah-tengah rakyat sebatas siapa yang menang dan kuat.
Upaya penyadaran itu perlu. Refleksi itu keharusan. Pemerintah yang sekiranya dianggap ugal-ugalan harus ditegur bahwa ada rambu-rambu yang patut ditaati. Penyadaran dan refleksi itu saya usahakan mengetengahkan Soe Hok Gie, mahasiswa intelektual yang berani sendirian dan kesepian demi mempertahankan independensinya.
Soe Hok Gie yang berani mempertahankan independensi dan kesadarannya bukan tidak sadar akan konsekuensinya, tetapi karena ia lebih mementingkan keadilan, mempersempit jurang ketimpangan. Ia tanggalkan semua atribut kenyamanan. Ia tidak sedang belajar jadi nakhoda andal di tengah besarnya gelombang. Ia sadar, saat itulah ia nakhoda sebenarnya.
Satu tahun lalu, saya sempat menulis opini yang judulnya Hidup sebagai Singa atau Hidup sebagai Kambing. Di dalamnya, saya mencontohkan Gie dan Ahmad Wahib sebagai mahasiswa intelektual pemberani yang tak membungkuk di depan rezim otoriter. Saya anggap, Gie adalah mahasiswa yang hidup sebagai singa.
Sebagai singa, Gie tentu menguasai. Ia tak duduk di parlemen seperti teman-temannya yang tempo hari ia kirimi lipstik dan bedak sebagai sebuah sindiran karena lemahnya teman-temannya mempertahankan cita-cita kemanusiaan yang dahulu pernah dicita-citakan bersama.
Sebagai mahasiswa, ia berani mengkritik teman-teman mahasiswa UI dengan sebuah tulisan Seorang Dosen, Seorang Pengacara, dan Seorang Mahasiswa. Di dalam tulisannya ini, ia mengkritik mahasiswa hukum. Penyebabnya, karena ada mayat seorang tahanan dari polisi diterima oleh lembaganya Boy Mardjono, Kepala Bagian Krimonologi UI.
Gie menggambarkan mayat yang diterima tersebut dengan mengerikan. Kemanusiaannya tergugah setelah mengetahui bahwa mayat tersebut tidak mau makan karena ada penyakit di mulutnya. Selama ini, tahanan tidak mengalami proses yang adil. Ia tergugah untuk mengkritik lagi atas segala kebobrokan dan diamnya mahasiswa hukum.
Keheranannya pada mahasiswa fakultas hukum di seluruh Indonesia yang mengerti akan hukum, tapi tak mengurus perkara hukum yang ditimpakan pada rakyat. Belajar hukum hanya untuk mempertahankan kepentingan pribadi biar tidak dijarah. Abai terhadap permasalahan yang sebenarnya membutuhkan penanganan serius.
Kritikannya pada mahasiswa hukum yang sekadar belajar hanya sebagian dari kritikannya pada yang lain. Kritikannya pada mahasiswa UI dengan tulisannya Wajah Mahasiswa UI yang Bopeng Sebelah. Jika bertemu aktivis mahasiswa UI, dengan jujur ia akan memberitahukan korupsi-korupsi yang dilakukan secara gelap-gelapan atau terang-terangan.
Tetapi, apabila bilang tidak tahu, ia bisa dikatakan bodoh atau pura-pura tidak tahu untuk menutupi kebobrokan kampusnya. Begitulah kira-kira yang ditulis Gie. Kritikan ini tentu bukan tidak relevan dengan keadaan saat ini.
Ospek, KKN, atau PBAK yang sebenarnya jadi lahan basah untuk meraup keuntungan oleh segelintir orang yang tujuannya kekenyangan perutnya. Kritikan Gie akan dianggap relevan secara substansi. Mahasiswa-mahasiswa yang tak tahu bisa saja ia bodoh atau pura-pura untuk menutupi kebobrokan.
Tulisan-tulisannya tersebut langsung menohok pada jantung pertahanan kepandiran, kejahatan kelas awal yang masih dipertahankan sampai saat ini. Keadilan memang jalan indah. Keadilan bisa dibelokkan oleh penguasa sesuai selera. Sebab, kekuasaan cenderung menyimpang.
Dari Gie kita bisa belajar tentang keberanian, kejujuran, keteguhan mempertahankan cita-cita keadilan. Yang patut disadari tentang kesadarannya sebagai mahasiswa: memosisikan diri sebagai intelektual yang membumi.
Suara keras itu bernama Soe Hok Gie. Suara itu memekakkan telinga rezim otoriter, rezim yang di kepalanya hanya ada "untung-rugi berpolitik".
Soe Hok Gie tak merasa takut akan kesendiriannya. Elang itu terbang sendirian. Begitulah intelektual, yang mempunyai pikiran kritis sering diasingkan karena dianggap menganggu.