Sore itu, kala El Nino tengah mengeringkan lahan pertanian Gorontalo pada 2015, saya yang menginap di rumah seorang Ayahanda (sebutan kepala desa di Gorontalo) mereguk banyak pelajaran berharga. Salah satunya mengenai pentingnya dukungan warga dalam kepemimpinan. 

Ayahanda bercerita bahwa ia menjadi kepala desa bukan karena keinginanya semata, tetapi karena keinginan arus bawah, warga desa. Lazimnya kandidat adalah membeli suara, ia justru sebaliknya, mendapatkan amanah dan suara bersih tanpa rupiah untuk bertakhta.

Cermin demokrasi yang baik mungkin seperti itu. Pemimpin yang berasal dari arus bawah, didukung oleh warganya, dan bekerja untuk kepentingan masyarakat. Proses pemilihan itu adalah kisah inspiratif seorang pemimpin yang layak menjadi rujukan kontestan politik Indonesia.

Proses terpilihnya Jokowi-Rudy menjadi pemimpin Surakarta adalah kisah heroik. Sama heroiknya ketika mendengar kisah kepala desa dari Gorontalo itu. 

Pada periode pilkada 2005-2010, perolehan suara Jokowi mencapai tiga puluh tujuh persen. Periode berikutnya, 2010-2015, mereka kembali terpilih dengan memperoleh suara hampir seratus persen, yaitu sembilan puluh persen. Peningkatan jumlah suara menunjukkan seberapa berkualitasnya pemimpin yang terpilih.

Peningkatan jumlah suara tidak turun dari langit, tetapi merupakah buah kinerja lima tahun. Kebijakan yang berpihak kepada rakyat kecil, mengatasi masalah perkotaan dengan pendekatan kultural, dan langkahnya yang humanis adalah nilai yang dibanggakan warganya dan itu pula yang membuat saya mendeklarasikan diri sebagai pengagumnya.

Meskipun tidak menuntaskan masa jabatannya pada periode keduanya di Surakarta, saya tetap menjagokan Jokowi di pilgub DKI Jakarta 2012. Saya menjagokannya bukan hanya berdasarkan apa yang telah berhasil dikerjakan, tetapi juga terhadap mimpinya akan Jakarta yang ia namai dengan Jakarta Baru

Saya mengetahui itu dari pemaparannya yang diunggah oleh channel YouTube Jakartabaruchannel yang ia paparkan dengan sangat baik di hadapan relawan. Berkat presentasinya, saya menjadi mafhum dengan problem yang tengah terjadi.

Kala itu, masalah pokok pertama yang ia paparkan adalah tentang kemacetan yang diuraikan secara mendalam. Presentasinya tidak berhenti sampai pada tataran pengulikan masalah, tetapi juga pada gagasan mengenai apa yang akan dilakukan.

“Jokowi dan Basuki jelas mempunyai konsep move people not cars. Menggerakkan masyarakatnya dan bukan menggerakkan mobilnya,” tegas Jokowi yang langsung disambut gemuruh tepuk tangan para relawan di gedung PPH Usmar Ismail Jakarta.

Rekam jejak keberhasilan beliau memimpin Surakarta membuat saya mengaminkan harapan-harapannya tentang bagaimana Jakarta lima tahun mendatang.

Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012 dilakukan dua putaran. Putaran pertama menelurkan Jokowi-Basuki dan Fauzi-Nara dan empat kandidat lainnya dipersilakan beristirahat. Pada putaran kedua, kita tahulah siapa yang menjadi pemenangnya. Jokowi-Basuki diamanahi memimpin Jakarta hingga 2017.

Indonesia seolah demam Jokowi waktu itu. Rakyat seantaro negeri mengidolakannya. Kemeja putih dan blusukan menjadi identitasnya. Kinerjanya membenahi Ibu Kota mendapatkan banyak sorotan positif. Prestasinya kemudian menimbulkan apa yang disebut Jokowi Effect, pengaruh popularitas terhadap gairah positif perekonomian dan perpolitikan.

Setelah dua tahun menakhodai Jakarta, Jokowi melangkahkan kaki masuk ke gelanggang pesta demokrasi pemilihan presiden 2014-2019. Popularitas dirinya mendongkrak elektabilitas dan kemenangan telah dipastikan ada di tangan. Tudingan bahwa dirinya adalah kutu loncat dan pengingkar amanah menuntaskan kepemimpinan lima tahun di Jakarta gagal menjegal langkahnya yang andal.

Para penuding itu kurang memahami Jokowi. Majunya ia menjadi presiden adalah langkah cepat dan tepat memastikan teratasinya masalah kemacetan Ibu Kota. Sebab dengan menjadi pemimpin negara, ia akan lebih leluasa melakukan pembenahan. Kursi gubernur memang kurang luas untuk menyelesaikan kalutnya kemacetan Jakarta.

Saya menyesalkan munculnya beragam penilaian negatif terhadap niatan Jokowi maju sebagai calon presiden untuk memperoleh akses lebih besar dalam mengatasi masalah Jakarta. Niatan itu begitu mulia. Niatan baik selayaknya diapresiasi, bukan malah dikremasi.

Apresiasi yang sama juga harus diberikan kepada niatnya memindahkan Ibu Kota Indonesia ke Kalimantan. Pemindahan di tengah geliat perekonomian nasional yang labil adalah keberlanjutan strategi untuk menunaikan janji mengatasi kemacetan Jakarta. 

Niatan baik itu harus didukung. Bahkan sekalipun nantinya Ibu Kota pindah dan masalah Jakarta belum juga selesai dan kemudian ia mencalonkan diri untuk menjadi calon pemimpin dunia –kalau ada–, dengan niat pembenahan Jakarta, maka niatannya tetap harus diapresiasi.

Meskipun akhirnya ibu kota pindah dan masalah Jakarta belum juga selesai, saya tetap ingin ke Jakarta, kota yang pernah menjadi magnet perhatian Indonesia. Media pemberitaan senang menayangkan keadaan Ibu Kota itu. Apa pun yang berasal darinya adalah layak konsumsi orang senegara. Wajah senyum Jakarta yang silih berganti dengan kecemberutannya turut saya rasakan walau bermukim jauh darinya.

Ketika warga Ibu Kota gundah gegara listrik padam berjam-jam, kegalauan yang meraka kenyam juga saya rasakan. Semacam ada ikatan kebatinan di antara kami. Sikap berlebihan warganya atas padamnya listrik memang disayangkan, tetapi rasa sayang kepada Jakarta tetap benderang.

Rasa sayang mulai bertumbuh lebih pesat saat menonton rangkaian proses pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012 silam. Calonnya ada enam pasang. Satunya adalah petahana, lima lainnya adalah penantang. Waktu itu, saya menjagokan Jokowi-Basuki.

Jokowi dan Basuki memiliki gaya kepemimpinan berbeda, namun saling melengkapi. Bekal keduanya lebih dari yang dibutuhkan untuk mengatasi kekalutan Jakarta. Syarat yang diperlukan terpenuhi: merakyat, tegas, dan rasional. 

Sosok Jokowi membumi dan menyukai aksi lapangan. Wakilnya adalah sosok membara. Ia memainkan peran penting di dalam rumah birokrasi. Keduanya adalah tokoh yang mengejawantahkan prinsip: dari, oleh, dan untuk. Mereka adalah sosok yang diidam-idamkan dan merupakan jawaban dari penantian panjang pemimpin yang didambakan.

Ada banyak alasan saya menjagokan mereka. Tetapi alasan utamanya mengenai rekam jejak. 

Basuki Tjahaja Purnama adalah Bupati Belitung Timur periode 2005-2010. Walaupun ia menjabat hanya setahun lantaran mengikuti pilkada Gubernur Bangka Belitung periode 2007-2012, Tempo memasukkan namanya ke daftar 10 tokoh edisi 2006 yang berhasil mengubah Indonesia.

Jokowi adalah wali kota Surakarta (Solo) dengan prestasi gemilang. Dunia pun mengakuinya. The City Mayors Foundation menempatkan namanya sebagai wali kota terbaik ketiga dunia pada 2012. Suatu pendaulatan yang menjadi bagian pemantik saya menjagokannya melenggang ke kursi utama Jakarta.

Tentang nominator itu, Jokowi dengan rendah hati menanggapi: tugas saya adalah bekerja untuk rakyat, bukan memikirkan penghargaan dunia. Penghargaan masyarakat adalah yang paling utama.