Kekasih yang saling mengkhianati, apakah mereka masih sepasang kekasih? Meski jawabannya bukan, mereka tetap kekasih untuk yang lainnya.
Pada Suatu Kota
Di sana terang dimaknai sebagai gelap. Bangunan-bangunan tinggi dan manusiawi dicaci sembari ditempati. Wara-wiri bus di jalanan kota itu memanjakan para pekerja yang tinggal di dalam ataupun di luar kota. Satu bus melaju tertib, melewati bantaran kali yang bukan lagi persembunyian sampah-sampah; atau keegoisan manusia?
Seseorang di kota ini mencoba memeluk sebanyak-banyaknya orang, tetapi sebanyak-banyaknya orang memasang perangkap dalam pelukan itu.
Mereka berteriak-teriak, memuntahkan peluru kata-kata ketika duduk nyaman di dalam kereta cepat. Atau di kursi paling belakang sebuah bus masa kini. Kursi ternyaman yang membuatmu bisa tidur lelap, tanpa perlu merelakannya pada ibu hamil atau lansia.
Di tangan mereka adalah gawai murah berkah kapitalisme yang mereka teriaki setan pendukung maling. Dengan alat canggih itu mereka memburu kata-kata untuk menyerang musuh yang sudah begitu baik mempersenjatainya. Satu dari mereka menulis ini pada halaman Facebook:
“Penguasa tiran tak layak dipilih lagi! Pilihlah calon penguasa yang tidak menyeruduk sana sini. Pilihlah dia yang berkata dan berwajah santun! Merdeka!”
Apakah dalam benak mereka kemajuan adalah sebuah penjajahan? Apakah mereka sedang mengatakan pada dunia bahwa mereka adalah orang-orang kalah yang memang sedang terjajah? Terjajah oleh dengki dan kekalahannya sendiri.
Mungkin mereka ingin menjadikan tempat ini sebagai kota yang penuh muntah dan tai, para pendengki.
******
Tatanya berhenti menulis. Kembali ia membaca tulisan itu dan terbata-bata mengeja kalimat terakhirnya. Lantas ia hanya membaca kalimat terakhir itu, berulang, lagi dan lagi. Hingga ia menyimpulkan: “Bila menulis sekasar ini, hilang sudah citra eleganku.”
Dan kalimat terakhir itu pun lenyap dari hadapannya. Tatanya puas.
Sebenarnya Tatanya ingin menceritakan kisah yang lain, tentang ketaksetiaan sepasang kekasih. A Story of Unfaithful Lovers, ia sudah menulis judul itu pada halaman kosong di Word.
“Bukan, ini bukan tentang diriku.”
Ia berusaha menegaskan suatu penolakan, tetapi dalam kepalanya suara-suara berdengung, berpusing-pusing.
Mungkin Tatanya tak bisa mengisahkan sebaik aku. Lagipula, ia masih bingung tentang siapa cerita ini. Padahal, tentu saja kisah ini tentang dirinya. Tapi lebih dari itu, Tatanya memang tak bisa bercerita. Tentu saja ia menulis dengan lebih baik jika dibanding anak-anak mahasiswi yang menyerah dan merayu para lelaki untuk menuliskan ide mereka yang kosong.
Biar kuceritakan saja begini:
Ada yang berubah dalam diri Tatanya sejak seorang lelaki meninggalkannya hari itu, setahun yang lalu. Aludra, lelaki yang tanpa malu pernah mengaku bisa membahagiakan Tatanya yang jelita, hanya lewat kemahirannya memasak dan berkata-kata.
Sejak Aludra pergi, perasaan Tatanya terhadap kekasihnya, Seif, mengalami metamorfosis. Cinta berubah menjadi jenuh, lantas benci, hingga akhirnya tak berasa apa-apa.
Satu-satunya alasan mereka masih bertahan karena Tatanya tak lagi memedulikan hubungan yang semrawut itu. Ia tak peduli hubungan mereka telah seperti apa dan akan bagaimana.
Semula Seif tak peka dengan perubahan Tatanya. Bahkan ketika Tatanya masih berada pada tahap benci, Seif dengan sabar menerima amarah-amarahnya.
Tetapi ketika lelaki itu mencium ketakpedulian kekasihnya, ketika banyak pesan singkatnya yang tak terbalas, ketika tangan Tatanya kerap menghindari genggamannya, Seif mulai sering bertanya-tanya:
“Kenapa gak bales SMS-ku? Kenapa gak jawab pertanyaanku, minggu ini mau ketemu gak? Kenapa kamu berubah?”
“Apakah ada laki-laki lain?”
Akhirnya di suatu malam, saat ia mendesak untuk bertemu, pertanyaan itu keluar dari mulut Seif. Takut-takut.
Tatanya menduga, mungkin Seif tak pernah memikirkan kehadiran laki-laki lain yang bisa menggantikannya. Karena itu Seif terperangah ketika Tatanya menjawab, “Dia sudah pergi.”
Empat puluh lima menit berlalu sia-sia bagi Seif dan makanan yang dibiarkannya dingin tak tersentuh. Ini makan malam terpanjang selama delapan tahun hubungan mereka. Sebelumnya mereka selalu makan sambil terburu-buru.
Tatanya meringis ketika teringat begitu panjang dan konyol siksaan yang ia biarkan untuk dirinya sendiri sebab hubungan mereka. Jika saja ia mengenal Aludra lebih dulu.
Atau, seperti Aludra pernah berkata, jika saja Tatanya tidak terlalu sibuk dengan diri sendiri sehingga ia bisa menyadari dunia yang begitu luas dan penuh makna.
Dan kini telah satu tahun lelaki itu membiarkan Tatanya dalam misteri kepergiannya.
“Yang, sayang...!” Tatanya tersentak saat menyadari tangan Seif menepuk-nepuk tangannya.
“Kamu ngelamun lagi. Apa sedang memikirkan dia?” tanya Seif cemburu. Sesuatu yang tak pernah ia tunjukkan selama delapan tahun ini. Tatanya hanya menggeleng.
Tapi, Tatanya lantas berpikir, bukan saatnya lagi ia berbohong. Ia juga mulai menikmati kecemburuan Seif. “Ah, begini rasanya dicemburui oleh seseorang yang hampir tak pernah merasa takut kehilanganku.” Gumamnya.
“Maaf. Aku memang teringat padanya.” Jawab Tatanya. Ia tengah merasakan megahnya kemenangan. Seif meradang. Matanya menyembunyikan ketakutan.
“Kamu enggak mau cerita tentang dia?”
“Ibuku sangat menyayanginya.” Serang Tatanya lagi. Kini ketakutan pada mata Seif bercampur dengan gugup dalam suaranya, “Lalu, kamu? Apa kamu juga?”
“Mungkin aku mencintainya.” Tuntas Tatanya.
Seif menghempaskan tubuhnya, bersandar pada kursi yang menyangganya. Matanya memandang jauh ke luar jendela. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk pada meja, lalu tangannya mengepal dan mengetuk-ngetuk meja, lalu telunjuk dan ibu jari kirinya memilin-milin cincin kawin yang tersemat di jari manisnya sebelah kanan.
Ia melakukan itu berulang-ulang. Tatanya mulai bosan lantas mengajak Seif pulang, karena beberapa mata seperti tengah mengadili mereka di restoran itu.
Seif mengajaknya menginap di hotel tapi Tatanya menolak. Ini kebiasaan Seif meredakan amarah Tatanya dalam beberapa bulan terakhir.
Selama delapan tahun, inilah tahun paling sering mereka menginap di hotel. Ini juga tahun di mana Seif berubah menjadi penuntut, agresif, dan abai terhadap keluarganya. Semua itu semakin mengurangi pesonanya di mata Tatanya.
Senakal apa pun anggapan orang lain terhadanya, Tatanya tetaplah perempuan yang terpesona pada lelaki yang menyayangi anak-anak dan istrinya. Sebuah kontradiksi diri yang tak pernah berhasil ia pecahkan.
“Ayolah, sekali ini saja. Masih banyak yang ingin aku bicarakan.” Seif mulai memelas.
“Bicarakan di tempat lain saja,” tegas Tatanya.
“Kita butuh ruang yang privat,” desak Seif.
“Di mobil ini juga privat,” Tatanya pura-pura tak mengerti bahwa Seif menginginkan lebih dari sekedar bicara. Seif merengut. Ia urung memarkir mobil. Tatanya senyum penuh kemenangan. “Rasakan...!” ia mengumpat dalam hati.
*****
Sejak membaca perubahan hati Tatanya, Seif semakin gencar merengkuh perempuan itu untuk kembali pada pelukannya. Ia tak lagi berhati-hati mengajak Tatanya makan siang di hadapan para kolega. Tatanya tak pernah dibiarkannya pulang sendirian. Seif selalu mendesak untuk mengantar-jemputnya. Bahkan berkali-kali ia meminta dikenalkan pada ibunya.
Tatanya mulai jengah, tentu saja ibunya tak akan menerima Seif dengan baik. Suatu waktu ibunya pernah berkata, “Lebih baik menunggu laki-laki yang meninggalkanmu karena terluka olehmu daripada bersama laki-laki yang menyakitimu karena telah beristri.”
Tetapi Seif semakin gencar memperlihatkan tekadnya. Teman-teman di kantor mereka mulai curiga dengan sikap lelaki itu. Banyak yang bertanya langsung pada Tatanya, “Mas Seif naksir kamu ya?” “Kalian pacaran ya?”
Tatanya selalu menepis setiap pertanyaan itu. Hingga kini tak seorang pun tahu tentang hubungannya dengan Seif. Ini prestasi dari sebuah dosa, bisa dikata. Selama delapan tahun mereka menutup rapat jalur pelacakan orang-orang terhadap hubungan asmara keduanya. Dan berhasil.
Tentu saja, karena Seif selalu menjadi husband of the year. Ia figur suami idaman yang memamerkan pernikahan bahagianya melalui foto-foto yang berjejer di ruangan kerja dan terpampang pada setiap akun media sosialnya.
Ia juga selalu membanggakan prestasi-prestasi istrinya yang mendapat gelar Doktor dari sebuah universitas di Jerman. Bukan hanya itu, ia kerap menjadi konsultan bagi teman-teman sejawatnya yang mengalami masalah dalam rumah tangga mereka. Siapa yang akan menyangka ia bisa berselingkuh?
Dulu Tatanya tak pernah memikirkan tentang kontradiksi antara semangat kemanusiaan yang ditebarkan Seif melalui pekerjaannya, dengan perselingkuhan yang mereka awetkan selama bertahun-tahun.
Semula Tatanya percaya, seperti yang selalu diutarakan Seif, hubungan mereka lebih bermakna dibanding ikatan pernikahan yang telah berubah menjadi sekedar rutinitas bagi lelaki itu. Dan Seif akan sangat marah bila mendengar Tatanya menyebutkan: “perselingkuhan kita...”
Setiap kali Tatanya merisaukannya, Seif selalu mengelak dengan mengatakan: “Ketulusan kita mengeluarkan hubungan ini dari jalur perselingkuhan.”
Benarkah? Ketulusan yang mana? Tatanya sering bertanya-tanya seperti itu. Bila yang Seif maksudkan adalah hubungan mereka yang tidak saling menuntut untuk dipersatukan dalam ikatan yang resmi, lantas persoalan bagaimana hatinya membantah dan berkali-kali merasa sakit adalah gambaran dari ketulusan?
Jika Seif menolak menyebutnya sebuah perselingkuhan karena hubungan mereka bukan semata persetubuhan, tetapi melibatkan cinta dan semangat yang sama dalam aktivitas dan ide-ide, maka kenyataan bahwa ada hati yang tersakiti justru membuktikan bahwa mereka telah menyelingkuhi ide dan semangat kemanusiaan yang sering diteriakkan itu, bukan?
Tetapi Tatanya mulai merasa malu sebab ia baru mengakui semua itu ketika hatinya berpaling pada laki-laki lain.
****
Akhirnya Tatanya terjebak dalam situasi seperti ini. Tiga manusia saling berhadapan: Dirinya, Seif dan Dewi, istrinya. Sebab tingkah Seif yang semakin agresif membuatnya tercerabut dari perhitungan-perhitungan yang dulu selalu dijaganya.
Pagi-pagi sekali Dewi menghubungi Tatanya. Suaranya tenang dan cara dia mengatasi kabar perselingkuhan Tatanya dan suaminya terdengar sangat elegan.
“Tata?” tanyanya.
“Iya. Ini dengan siapa?” sulit mengenali suara seseorang saat kantuk masih menguasai Tatanya.
“Ini Dewi.” Suara itu kemudian terhenti. Mungkin Dewi tengah memprediksikan reaksi Tatanya begitu mendengar nama itu disebut. Sepertinya Dewi bisa mendengar kekalutan yang serta merta menyerang perempuan suaminya. Hingga kalimat berikut yang keluar dari mulutnya merupakan serangan paling tajam yang menghabisi Tatanya.
“Aku lagi baca surat cinta Seif yang dikirim ke: tatan[email protected]. Sepertinya itu alamat emailmu, benar?”
Suara Dewi yang tenang terdengar sangat menakutkan di telinga tokoh kita. Tatanya membisu. Ia tak tahu harus menjawab seperti apa. Kemudian terdengar lagi kalimat Dewi yang penuh perhitungan dan keyakinan bahwa Tatanya bisa dengan mudah masuk ke dalam perangkapnya.
“Hm... diam seringkali diartikan sebagai persetujuan. Oke, aku simpulkan ini alamat emailmu. Aku tidak tahu apakah kamu terlibat dalam perselingkuhan ini atau hanya kesalahan Seif saja. Untuk meluruskannya, kurasa kita perlu bertemu. Aku sudah memesan tempat untuk dinner. Datanglah bersama Seif. Aku tunggu pukul 7 tepat nanti malam. Aku SMS-kan alamatnya. Jangan terlambat. Sangat sulit memesan tempat di restoran ini.”
Panggilan terputus. Tatanya termenung mengagumi rasa percaya diri istri dari kekasihnya yang begitu besar. “Dia benar-benar luar biasa!” tanpa sadar Tatanya bergumam seperti itu.
*****
Di restoran itu, ketenangan hanya dikuasai olehnya. Perempuan ayu dengan pakaian berkelas dan make up natural yang menegaskan kecantikannya. Dengan semua itu ia menyodorkan keanggunan seorang sosialita terpelajar ke hadapan Tatanya yang terlihat berantakan.
Sepertinya Dewi sudah menyiapkan segenap amunisi paling kuat untuk menumbangkan musuh di hadapannya. Tatanya yang masih berlulur keringat dan tak terpikir untuk berganti pakaian, bahkan tak sempat memerhatikan riasan wajahnya, sudah kalah telak.
Tetapi semua orang pasti tahu, yang menjadikan Dewi nampak sangat elegan dan kharismatik adalah ketika ia berada di posisi korban dan masih mampu menguasai diri.
Sementara bagi perempuan yang berada dalam posisi Tatanya, sedikit saja ia menonojolkan diri maka orang-orang akan mengutuknya sebagai perempuan jalang. Sebaliknya, jika kelemahan yang ia tunjukkan, mereka akan menghakiminya sebagai manusia paling munafik.
Tatanya menyadari posisinya dan karena itu ia secara sukarela melemparkan dirinya pada setiap umpan yang dipasang Dewi.
Dewi memilih duduk seorang diri. Seif tak bisa berbuat apa-apa ketika Dewi memerintahkan lelaki itu untuk duduk di samping Tatanya. Ini adalah persidangan, dan Dewi tengah berperan sebagai jaksa sekaligus hakim.
Tatanya dan Seif, seperti layaknya para tersangka, tak punya kekuatan untuk duduk tegak di hadapannya. Kepala mereka tertunduk sedalam-dalamnya.
Tatanya sudah memperkirakan berbagai pertanyaan yang akan dilayangkan Dewi terhadapnya: “Sejak kapan? Ngapain aja? Kenapa kalian tega? Apa kalian manusia? Bagaimana kalian menjalani kebohongan sementara berkoar-koar tentang HAM? Ke depannya mau bagaimana?”
Seluruh pertanyaan itu tergambar jelas dalam kepala Tatanya, sementara ia tak menyiapkan jawaban apa pun. Entah dengan Seif. Tatanya malah lebih ingin mendengar jawaban lelaki itu, layaknya anak sekolah yang berharap mendapat contekan dari teman sebangkunya.
Tetapi Dewi tak bertanya apa-apa. Dia sibuk memesan ini itu, sementara membiarkan Tatanya dan Seif seperti manusia bodoh yang tak mampu memahami bahasa dalam menu.
Akhirnya Tatanya hanya menjawab: “Saya memilih pesanan yang sama.” Begitu juga yang dikatakan Seif. Sekilas Tatanya melihat senyum kemenangan tersungging di bibir Dewi.
Tak ada yang berinisiatif membuka percakapan. Dewi asyik dengan tabletnya. Tatanya sibuk dengan berbagai perkiraan tentang vonis yang akan dijatuhkan. Entah apa yang dipikirkan Seif, lelaki itu mulai bermain-main dengan cincin kawinnya.
Hingga pesanan telah memenuhi meja, tak ada yang berani membuka suara. Dewi makan cukup lahap. Sementara Tatanya, bukan malu-malu, tetapi memang tak terbiasa dengan makanan berkelas yang tak ia mengerti namanya itu.
Perutnya berkali-kali mual mencerna bumbu-bumbu yang terasa berlendir pada lidahnya. Hingga ia berhenti setelah suapan ketiga. Dewi melirik Tatanya, raut wajahnya nampak terganggu.
“Kenapa? Nggak selera ya?” tanyanya.
Tatanya hanya mengangguk.
“Manusia harus punya prinsip. Bahkan dalam memilih makanan sekalipun. Jangan hanya meniru atau tergiur dengan kesukaan orang lain.” Dewi berkata seperti itu sambil melirik Seif dan Tatanya secara bergantian.
“Strike!” Seru Tatanya dalam hatinya.
Seif bungkam. Tatanya bertanya-tanya, seperti inikah sikap lelaki itu di depan istrinya? Tanpa pembelaan dan penuh ketakutan. Ia teringat setiap kekesalan Seif terhadap Dewi yang selalu dicurahkannya pada Tatanya. Dewi yang terlalu merasa sempurna, terlalu keras kepala, selalu ingin menang dalam setiap pertengkaran, terlalu bla...bla...bla.
Tiba-tiba Tatanya merasa iba terhadap laki-laki yang telah dicintainya selama bertahun-tahun itu. Tetapi semakin merasa iba, semakin menipis kekaguman Tatanya terhadap lelaki itu. Dan rasa cinta yang pernah mengkristal dalam hatinya, kini memecah menjadi beragam perasaan yang terserak kasar. Karena itu Tatanya bergegas untuk mengakhiri drama yang tersaji di hadapannya.
Dewi telah selesai dengan makanannya. Tatanya memanfaatkan kesempatan itu untuk menyelesaikan keberadaannya di antara mereka.
“Mbak Dewi.. “ Tatanya membuka dengan suara pelan dan gugup.
“Ya?” Suara Dewi terdengar tegas. Sorot matanya tenang. Membuat Tatanya semakin kalut. Matanya tak bisa mengarah lurus ke dalam mata Dewi. Akhirnya Tatanya hanya bisa bicara sambil menundukkan kepala.
“Saya tidak tahu harus memulai dari mana. Saya memang licik, berharap Mbak yang akan membukanya dengan berbagai pertanyaan, maaf.”
Tatanya diam beberapa saat, memberanikan diri melirik ke arah perempuan di hadapannya. Dewi acuh tak acuh, menenggelamkan matanya pada tablet di genggamannya. Tatanya menarik nafas dalam, kembali membuka pengakuan.
“Saya kira, isi dari email itu sudah menjelaskan semuanya. Ya, saya perempuan jalang yang menerima email tak sewajarnya dari Seif. Email dia tidak akan berbunyi seperti itu jika saya tidak terlibat di dalam perselingkuhan ini. Saya benar-benar menyesali perbuatan saya. Saya minta maaf. Dan... saya tahu diri, maaf saja tidak cukup...”
Tatanya berhenti. Ia memberanikan diri mencari mata Dewi. Merasakan Tatapan itu, Dewi akhirnya selesai dengan gadget-nya. Ia masih nampak berkuasa dalam ketenangannya. Tatanya tak berhasil menerka apa yang ada dalam pikiran perempuan itu.
Tatanya akhirnya hanya menunggu. Ia berusaha menguasai ketakutannya. Matanya sudah mulai berkaca-kaca. Ia berusaha keras menahan pecahnya tangis. Ia khawatir tangisannya akan mempermalukan Dewi.
Tatanya mencoba kembali bersuara. Tetapi perempuan di hadapannya telah menyihir Tatanya menjadi manusia paling bodoh yang tak lagi mengenal kata-kata.
Sementara Seif, ia telah lama berpisah dengan kesadarannya. Seperti mendadak autis, ia hanya mampu fokus pada cincin kawinnya. Tak sekali pun matanya terlepas dari cincin itu. Tatanya putus asa dengan sikap lelaki yang sebentar lagi akan menjadi mantan kekasihnya itu. Seif telah semakin kerdil di matanya.
Lalu seorang gadis muda berparas menawan dengan nampan pada tangannya menghampiri meja mereka, meminta izin untuk membereskan alat-alat makan yang masih menyisakan banyak hidangan.
Pramusaji itu lantas bertanya dengan sopan, apakah hidangan penutup sudah bisa disajikan. Dewi mengiyakan. Tetapi alangkah terkejutnya ia ketika tiba-tiba Seif mulai sembuh dari kengerian yang menghipnotisnya sedari tadi.
“Tidak usah, kami sudah selesai. Tolong bawakan bill-nya ya.”
Seif berbicara sambil tersenyum sangat manis terhadap pramusaji yang mukanya segera kemerah-merahan. Tatanya mual melihatnya. Lelaki ini pasti sudah gila! pikirnya.
Melihat tingkah Seif, ketenangan Dewi nampak mengikis. Mata perempuan itu murka mencari jawaban pada mata suaminya. Tetapi Seif masih tersenyum dan bermain mata dengan pramusaji yang nampak seperti ingin menelan senyum Seif bulat-bulat. Ketika gadis muda itu hendak pergi, terdengar suara Dewi menahannya.
“Tolong bawakan makanan penutupnya.“
Pramusaji berseragam batik mini itu nampak bingung. Lewat matanya ia berusaha mencari jawaban dari lelaki yang baru saja dikaguminya. Seif diam sejenak. Lalu ia mulai berani menatap Dewi.
“Kita selesaikan semuanya di rumah, Yang.” Pintanya sedikit memelas.
Tetapi Dewi semakin murka. Tangannya mengepal dan matanya mulai bengis.
“Kalian begitu sabar merawat dosa selama bertahun-tahun, tetapi tak tahan menghadapi satu makan malam saja?” teriaknya.
Seif panik. Begitu juga Tatanya. Ini makin gila. Mereka mulai mencuri perhatian banyak orang di restoran itu.
Seif berusaha menenangkan, tetapi Dewi telah menangis sejadi-jadinya. Bisik-bisik meriuh di restoran itu. Tatanya tak bisa terus bertahan di sana. Ia minta izin untuk pulang lebih dulu. Dewi terus meradang.
“Tidak, kamu tidak boleh pergi begitu saja!” teriaknya.
“Sayang, pelan-pelan bicaranya. Orang-orang banyak yang lihat.”
Untuk kalimat terakhir itu, Dewi mengganjar Seif dengan semangkuk kecap asin pada mukanya.
Tatanya benar-benar tak bisa lagi berada di sana. Tanpa berpamitan ia melesat cepat dari restoran itu. Memang pengecut. Tetapi Tatanya berpikir, suami istri bisa menyelesaikan permasalahan mereka tanpa kehadiran orang ketiga.
Dengan naif Tatanya meyakini bahwa kehadirannya adalah sebuah kutukan yang bisa menodai kharisma Dewi. Sebab kharisma itu semakin menipis oleh amarahnya yang menjadi-jadi setiap kali ia melihat perempuan yang telah merebut suaminya.
Padahal dalam hatinya Tatanya menyadari bahwa itu hanyalah satu-satunya cara agar ia bisa melarikan diri.
****
Kisah ini tak berhenti sampai di sini, sesungguhnya. Sebab, Tatanya hingga kini masih menjalin hubungan asmara dengan Seif. Diam-diam, tentu saja. Perselingkuhan seperti candu, yang membuat para pecandu tak bisa melepaskan diri begitu saja. Tanpa latihan yang ketat dan tanpa tekad yang kuat, terutama.
Meski Tatanya tak bisa menyerahkan cintanya sepenuh hati terhadap Seif, tetapi lebih sulit baginya kehilangan berbagai kebiasaan dan kemudahan yang ia dapat dari Seif ketimbang mengikuti hatinya untuk meninggalkan lelaki itu. Begitulah Tatanya, begitulah kita.