Hari ini kita menjumpai sebuah dinamika politik yang mengalami eskalasi dalam beberapa minggu terakhir, sebut saja kontestasi Pilkada DKI Jakarta yang memunculkan 3 calon dari berbagai latar belakang. Hanya saja, fokus sentralnya terletak pada satu kandidat yang sedang mengalami proses hukum, yakni Ahok.

Terbelit masalah yang entah disengaja atau tidak disengaja ketika berkunjung ke Kepulauan Seribu 30 Oktober 2016 silam, pernyataan yang dianggap kontroversial dengan  selongsong kalimat “dibodohi pake Al-Maidah 51”.

Berawal dari situ kemelut mayoritas umat Islam meledak-ledak dan mencapai puncaknya hingga Aksi 4 November bertajuk Bela Agama/Bela Al-Qur’an yang dilakukan secara masif untuk menuntut sebuah proses hukum sebagai salah satu cara mengakomodir umat Islam yang diasumsikan mengalami penistaan agama.

Bukan sebuah cara untuk berkilah namun lebih tepatnya melihatnya dari kedua sisi secara oposisi biner (benar/salah) tidak ada habisnya, tentu karena kebenaran mutlak bisa diciptakan sesuai definisi setiap orang, sehingga menjunjung asas keadilan sesuai apa yang diungkapkan oleh John Rawls di sisi Equal Rights yang dapat ditinjau lebih dalam dengan memperhatikan Hak Dasar setiap orang tanpa ada pengurangannya.

Dengan syarat 2 prinsip Rasionalitas yakni Instrument Rasionality serta Reasonable ini membentuk sebuah konsep keadilan bagi publik itu tersendiri. Pada faktanya orang sering kali mendengar isu yang santer naik dikategorikan sebagai problematika SARA yang menginjak harga diri umat mayoritas.

Alkisah hari ini kita perlu menegakkan pandangan dan tidak berusaha menampik bahwa ada suara minoritas, intelektual-moderat dan religius-moderat yang perlu untuk didengar. Sehingga tidak menimbulkan dominasi yang kental serta membangun iklim demokrasi dengan adanya pro-kontra yang dinamis.

Tendensi terhadap poros agama besar selalu terjadi di setiap negara karena sebagai dogma yang menyentuh setiap individunya tidak dipungkiri kekuatan dalam mengatur manusia dan tingkah lakunya begitu mendarah daging, di mana kilas balik zaman kegelapan (dark age) yang melanggengkan dogma melalui Gereja sangatlah melegitimasi aktivitas masyarakatnya.

Kita mengenal istilah “Agama adalah Candu” yang mana kegagalan dalam persoalan manusiawi perlu untuk diserahkan kepada agama sebagai satu-satunya pemecah kebuntuan umat. Namun antitesis ketika zaman pencerahan (Renaisanas) membongkar kebiasaan lama dengan sedikitnya mengklasifikasikan peran agama dan negara sebagai entitas yang tetap bahu membahu.

Per hari ini seolah-olah konteks Indonesia berusaha diklaim secara sepihak dalam pergulatan demokrasi satu arahnya ini. Negara seolah tidak memiliki nilai tawar ataupun strong positioning dalam menentukan keputusan yang bisa mengakomodir setiap pihak. Senyatanya keputusan yang telah dilakukan adalah mencederai demokrasi kita dengan memenggal secercah harapan yang dimunculkan oleh pihak-pihak yang dikategorikan di luar golongan mayoritas.

Mungkin perlu kita menyegarkan pikiran sedikit menganai apa yang telah meinmpa Ahok sebelum adanya kasus penistaan hari ini. Pernyataan demi pernyataan yang dilontarkan kepada Gubernur non-aktif ini oleh beberapa pihak seperti Ketua Umum FPI yakni Habib Rizieq ketika berorasi menyebut dukungan Wiranto kepad Ahok sama saja mendukung berkembangnya China.

Lalu ada orasi yang dilakukan oleh mahasiswa S2 UI yakni Boby Febri yang berlatar Gema Pembebasan menolak kehadiran Ahok dan menggiring opini untuk tidak memilih nonmuslim ataupun pernyataan sarkas HMI Makassar yang akan membakar perusahaan-perusahaan China jika Ahok tidak diproses secara hukum.

Paling terdekat dari kawan saya yang menyatakan bahwa memberikan kesempatan pada Ahok untuk berkiprah menjadi gubernur saja buah toleransi baginya. Sungguh tanda tanya besar teriang di benak saya, inikah cerminan Bhinneka Tunggal Ika kita dalam menghargai Hak Asasi Manusia secara dasar?

Hal ini tidak semerta-merta menunjukkan giat penulis melakukan pembelaan terlepas kasus yang terjadi, namun di mana negara ketika hal-hal seperti di atas terjadi untuk sekadar mengakomodir minoritas bagian bangsa kita atau Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hanya sebagai sematan semata?

Gambaran negara sebagai otoritas terbesar dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi tampaknya mulai menjauhi dari kalimat surat yang ditulis oleh Alcuin of York (735-804) Vox Populi Vox Dei menjadi Vox Pars Vox Dei (Suara Mayoritas adalah Suara Tuhan).

Negara yang menjadi alat legitimasi pembenaran perilaku harus mampu menunjukkan kepastian hukumnya dengan menjamin Hak Dasar yang terdapat pada Ratifikasi Deklarasi Universal HAM (Duham 1948) pada UU No. 39 Th. 1999 Bab I Pasal 1 Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati.

Ia dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Tanpa pandang bulu dan mengecualikan perbedaan karena ada sebuah istilah hukum yakni Restitutio In Integrum yang mana kekacauan dalam masyarakat  harus dipulihkan dengan pernanan hukum yang fungsinya sebagai sarana penyelesaian konflik (resolusi konflik) dengan berlandaskan masyarakat yang Multikultural untuk mencapai sebuah keadilan bersama.