Sosiologi sebagai ilmu yang mengkaji hubungan antarmanusia sudah selayaknya menyentuh pandangan tentang cinta. Cinta, meskipun begitu sulit didefinisikan secara pasti, tidak dapat dielakkan adalah salah satu faktor terbesar dalam berlangsungnya transaksi antarindividu. 

Dalam sejarah manusia, interaksi yang terjadi bukanlah melulu tentang keuntungan ekonomi atau politik. Kisah-kisah pengorbanan romantik yang tidak melalui pertimbangan ekonomis atau politis, seperti dalam cerita Romeo-Juliet atau Dilan-Milea, sering kali kita jumpai pula dalam kehidupan nyata.

Dalam mengkaji persoalan cinta, yang kita butuhkan bukan hanya kajian biologis ataupun psikologis. Memang benar, ahli biologi sudah menemukan reaksi kimia yang terjadi saat orang sedang jatuh cinta. Ahli psikologi mungkin sudah mampu menjelaskan proses kejiwaan seseorang ketika mencinta. Namun semua itu penulis kira hanya menjadi starting point dalam menganalisis fenomena percintaan manusia. Lebih jauh lagi, kajian mikro-sosiologis sangat diperlukan untuk menemukan pola-pola interaksi dan konsekuensi-konsekuensi sosial yang terjadi pada sepasang manusia yang sibuk bercinta.

Kesempatan kali ini akan penulis gunakan untuk menerangkan perkara cinta tersebut dalam sudut pandang sosiologi. Cinta yang dibahas di sini bukan cinta dalam arti kemanusiaan atau religiositas, melainkan cinta berupa dorongan perasaan dan hasrat di antara dua pasangan manusia. 

Demi menguraikannya, penulis meminjam analisis yang digunakan Fowler (2007) dalam jurnal berjudul Love and Marriage: Through the Lens of Sociological Theories yang memuat teori mikro-sosiologi sebagai alat analisis. Beberapa teori makro-sosiologi juga akan digunakan untuk mengemukakan fenomena sosial yang lebih luas.

Baca Juga: Filosofi Cinta

Hanya saja, tulisan ini tidak berhenti pada analisis interaksi belaka. Penulis berusaha untuk menemukan paradoks cinta, yaitu sebagai sesuatu yang rasional sekaligus irasional, yang menyatukan sekaligus faktor yang menyebabkan konflik dan perpecahan. 

Sebagai faktor pemersatu, cinta dapat mengantarkan sepasang kekasih pada janji suci pernikahan. Namun, di sisi lain kita banyak menemukan konflik-konflik antarmanusia terjadi pula karena cinta, misalkan fenomena rebutan pacar, selingkuh, ataupun perebut laki orang (pelakor). Oleh karena itu, tulisan ini menggunakan multi-paradigma dalam analisisnya.

Rasional atau Irasional?

Umumnya, cinta sering kali dianggap sebagai sesuatu yang irasional. Peribahasa bahwa “cinta itu buta” rasa-rasanya diterima saja oleh hampir semua orang. Namun, benarkah cinta itu sepenuhnya irasional? Di sini penulis akan mencoba memberi pandangan baru: interaksi atas dasar romantisme cinta adalah juga rasional.

Rasional dalam perspektif sosiologi berbeda dengan prinsip rasionalitas pada, sebut saja, ekonomi. Dalam ilmu ekonomi, suatu perbuatan dianggap rasional apabila berorientasi pada ends yang berupa keuntungan materiil atau finansial. Adapun sosiologi tidak serta-merta membatasi rasionalitas pada materi belaka. 

Weber (Ritzer, 2012) menyatakan bahwa suatu tindakan dianggap rasional apabila antara means (sarana atau cara yang digunakan) atau values (prinsip nilai yang dipegang) sejalan dengan ends (tujuan akhir). Fowler (2007) menyebutkan bahwa, dalam exchange theory, perilaku manusia diakui sebagai pilihan rasional apabila benar-benar mempertimbangkan kepuasan maksimal dan rasa sakit minimal.

Mengambil perspektif rasionalitas tersebut, tentu kita dapat menyebut bahwa sejoli yang bercinta itu tidak jarang bertindak berdasarkan pilihan rasional. Sudah maklum adanya, dalam interaksi percintaan, individu yang terlibat berusaha semaksimal mungkin mendapatkan kepuasan, baik berupa kepuasan perasaan ataupun nafsu seksual. Sebaliknya, mereka berusaha untuk tidak menimbulkan rasa sakit secara fisik ataupun psikologis, baik terhadap dirinya maupun pasangannya.

Meski begitu, irasionalitas cinta memang tidak bisa begitu saja kita simpulkan hilang. 30 Januari 2018 lalu, liputan6.com merilis berita seorang pria asal Tiongkok berumur 60 tahun bernama Henan rela berjalan 40 km di tengah badai salju hanya demi membelikan baju baru untuk istrinya. Meski dengan alasan menghemat uang, tindakan semacam itu jelas tidak menguntungkan jika dikalkulasi. Pertimbangan seperti ancaman terhadap kesehatan dan menunda sampai keadaan lebih kondusif seolah terabaikan begitu saja.

Altruis sekaligus Egois

Cinta adalah pengorbanan. Begitulah orang-orang mendeskripsikannya. Altruisme cinta memang hal yang sudah dimaklumi adanya. Para pecinta tidak segan untuk mengorbankan hal-hal yang dimillikinya untuk kebahagiaan kekasih. Asal kau bahagia, itu prinsipnya. 

Namun benarkah pengorbanan cinta itu sepenuhnya altruis? Jika benar bahwa cinta sepenuhnya adalah pengorbanan, mengapa masih terjadi percekcokan dan perselisihan di antara dua orang yang mengaku saling mencintai? Apakah cinta mereka palsu ataukah memang cinta tidak lepas dari perselisihan?

Dalam teori self-interaction, Mead menyatakan bahwa saat berinteraksi dengan orang lain, kita bertindak sebagai aku objek (Me) sekaligus aku subjek (I). “I” bereaksi sebagai subjek sebagaimana objek Me diberlakukan dalam interaksi (Fowler, 2007). 

Dua orang yang menjalin kasih akan melakukan pola interaksi ini secara lebih intens, hingga batas antara I dan Me semakin kabur. Akibatnya, sering kali seorang memosisikan kekasihnya sesuai dengan pandangan dirinya terhadap dirinya sendiri. Perselihan pun muncul apabila tingkah laku kekasihnya tidak sesuai dengan ekspektasi bayangan dirinya.

Dilansir dari tempo.co, salah satu penyebab perceraian antara suami-istri adalah ketidakmampuan mereka untuk saling menyesuaikan kepribadian satu sama lain. Poin ini menunjukkan bahwa Me dari suami maupun istri mengalami interaksi yang tidak sesuai dengan self-conceptnya sebagai (Knutsson, 1977). Ketidaksesuaian ini juga akan memengaruhi cara bernteraksi sehingga terjadi proses interaksi yang apatis akan preferensi pasangannya.

Pada kasus tersebut, pecinta tidak lagi menjadi altruis, tetapi juga egois. Dia memang menjadi altruis karena rela berkorban demi kepentingan kekasihnya[R2] . Namun, di sisi lain, dia juga egois, karena pengorbanan itu dilakukan bukan demi kekasihnya an sich

Kecenderungan looking-glass self atau melihat bayangan diri dari pandangan orang lain akan memengaruhi cara kerja dia bersikap sebagaimana pandangan [R3] orang lain terhadap dirinya (Fowler, 2007). Artinya, dalam hubungan percintaan yang intens, seseorang tidak selalu berkorban agar kekasihnya bahagia, tetapi justru keinginannya untuk merealisasikan konsep dirinya yang dipantulkan dari cara pandang si kekasih terhadapnya.

Institusionalisasi Cinta: Antara Tanggung Jawab dan Belenggu

Pernikahan mungkin masih menjadi banyak tujuan utama para lajang. Hubungan cinta yang tidak sampai pada jenjang pernikahan dianggap sebagai hubungan yang gagal dibina. 

Hal itu karena dengan adanya pernikahan, cinta yang tadinya hanya berupa abstraksi dan rayuan belaka dapat dipertanggungjawabkan dalam peran suami-istri. Dengan kata lain, pernikahan adalah cinta yang sudah ditransformasikan dalam bentuk institusi yang memiliki peraturan-peraturan, pembagian tugas, ataupun susunan hierarki kekuasaan.        

Di sisi lain, pernikahan tidak hanya menjadikan cinta memiliki fungsi yang sepenuhnya positif. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat sebanyak 335.062 pengaduan kepada Pengadilan Agama mengenai kekerasan terhadap istri yang berujung perceraian. 

Pengaduan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ini menjadi pengaduan terbanyak setiap tahunnya. Ini membuktikan adanya anomali antara konsep cinta yang seharusnya mendamaikan justru menjerumuskan pada belenggu sesak. Penyebabnya bukan murni budaya patriarki saja, melainkan interaksi suami-istri yang melazimkan adanya relasi kuasa. 

Suami disebabkan relasinya yang intens dengan istri menjadikan ada hubungan superordinasi dan subordinasi yang kuat di antara keduanya (Simmel dalam Ritzer, 2012). Hubungan semacam inilah, ditambah legitimasi budaya patriarki dan status sebagai suami, yang mendorong terjadinya eksploitasi dalam bentuk KDRT.

Namun apakah hanya suami saja yang mampu menduduki posisi superordinasi? Tentu tidak. Semboyan suami takut istri buktinya. Fenomena semacam suami yang menunggui istri belanja berjam-jam juga dapat menjadi contohnya. Bahkan dalam budaya patriarki, relasi kuasa mampu menempatkan istri dalam posisi superordinasi di atas suami.

Apa artinya? Suatu pernikahan yang diklaim berlandaskan cinta itu ternyata tidak selalu bersifat fungsional bagi kedua belah pihak. Istri yang berharap mendapatkan perlindungan dan kasih sayang suami, bisa saja justru terjerumus dalam belenggu malapetaka kezaliman lelaki. Suami yang pada awalnya menginginkan sandaran atas gundah hatinya, ternyata mungkin juga terkekang oleh kehendak istri yang lebih besar kuasanya.

Cinta yang Memersatukan?

Rasanya cinta adalah satu-satunya hal yang dianggap positif tetapi tidak boleh dibagi-bagi. Semakin dibagi semakin negatif. Sebab itulah perselingkuhan dan pelakor selalu dianggap sebagai keburukan dalam tradisi masyarakat kita. Bahkan poligami yang terlegitimasi pun bisa dianggap sebagai pengkhianatan atas pasangan. Sampai di sini, mungkin kita perlu mempertanyakan prinsip cinta yang memersatukan.

Jika menggunakan teori Collins, potensi konflik manusia timbul karena adanya resource yang diperebutkan (Ritzer, 2012). Cinta itulah yang menjadi salah satu resource. Itu artinya, mendapatkan cinta yang diinginkan dapat meningkatkan subjective status. Keberhasilan menguasai seseorang yang dicintai seolah merupakan status yang menempatkannya dalam posisi tertinggi stratifikasi sosial yang dikonstruksikan dalam dunia subjektifnya. 

Keberhasilan menempati posisi itu, salah satunya, dapat direpresentasikan dengan pernikahan. Jadi, apabila suatu ketika muncul pihak ketiga, suami ataupun istri menjadi pihak dominan yang mempertahankan resource, sedangkan pihak ketiga menjadi subordinat yang berusaha merebut resource. Perebutan inilah yang menjadikan cinta bukan lagi sebagai alat pemersatu, melainkan justru sumber daya konflik yang memisahkan.

Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa paradoks cinta memang nyata adanya. Cinta yang selama ini dianggap irasional, penuh keindahan, penuh pengorbanan, alat pemersatu, ternyata memiliki wajah lain yang berkebalikan. 

Pada akhirnya, mengkaji cinta dalam interaksi sosial memang tidak bisa menghasilkan jawaban yang definitif. Akan tetapi, tulisan ini setidaknya membantu kita untuk mengurai proses interaksi yang terjadi antarindividu ketika menjalin hubungan atas dasar perasaan yang mereka sebut cinta.

Daftar Pustaka