Ribuan tahun silam, Socrates, Buddha, dan Muhammad sudah menganjurkan: kenalilah dirimu sendiri. Namun, gimana caranya? Tentu saja, banyak cara untuk mengenal diri sendiri. Tapi, semuanya diawali dari: jangan mempercayai pikiranmu.

“Lho, bagaimana bisa kita tak mempercayai pikiran sendiri?” tanya seorang kawan.

Begini. Lebih tepatnya, jangan mudah percaya pada pikiran kita sendiri. Jika pun pikiran ingin diberi wewenang mengetahui sesuatu, maka itu bukan perihal keperkasaan, kedudukan, atau segala hal eskternal lainnya. Tapi, yang boleh pikiran kita tahu hanya satu: bahwa kita tidak tahu. Itu, cukup.

Suatu ketika Socrates dianggap oleh Oracle Delphi, semacam perkumpulan imam wanita di kuil dewa Apollo, sebagai orang paling bijaksana di Athena pada masanya. Tentu saja, Socrates pun heran. Bagaimana bisa? Padahal, Socrates bilang kepada penduduk Athena kalau yang ia tahu adalah dirinya tidak tahu.

Karena tak percaya dan ingin membuktikannya, ia berkeliling kota Athena untuk menemui semua orang yang dianggap bijaksana (kaum Sophis). Di zaman sekarang, mungkin orang-orang itu semacam politisi, ulama, presiden, menteri, dosen, atau profesor gitulah. Pokoknya yang sering merasa dan dianggap khalayak tahu banyak hal tentang dunia dan kehidupan.

Socrates mendatangi mereka untuk berdiskusi tentang berbagai masalah dan kebenaran. Sayangnya, tak ada satupun yang bisa menjawab dan memuaskannya. Malahan mereka kesal dengan Socrates. Para orang yang dianggap dan merasa bijak itu mati kutu.

Akhirnya Socrates mengambil kesimpulan: orang yang merasa bijaksana justru tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Sementara, orang bijaksana hanya tahu bahwa dirinya tidak tahu. Dan ya, kebijaksanaan manusia ternyata sangatlah kecil. Ironis sekali.

Bagi Socrates, masih ada kebijaksanaan yang lebih tinggi dari kebijaksanaan manusia yang ternyata sangat kecil itu. Betapa rendah hatinya seorang Sokrates!. Ia tak menganggap pikirannya sendiri maha paling benar.

Karena ia tahu bahwa ia tak tahu apa-apa, Sokrates tak pernah letih mencari kebenaran hingga kematiannya. Ia pun dikenal sebagai bapak filsafat etika.

Di masa yang lain lagi, Siddharta Gautama yang kelak dikenal sebagai sang Buddha, punya anggapan yang mirip. Hanya saja, sang Buddha bergerak lebih jauh. Buddha menyatakan bahwa pikiran adalah ilusi. Karena itu, pikiran adalah sumber penderitaan.

Agar bahagia, maka kita jangan terlalu percaya dan melekat pada pikiran kita sendiri. Pikiran bagai awan-awan di langit yang mudah terhempas angin. Gampang terombang-ambing. Mudah pula bergonta-ganti.

Oleh karenanya, pikiran itu semu dan fana. Sementara, kebahagiaan yang sejati tidak muncul dari hal-hal semu dan fana.

Inilah alasan mengapa Buddha menganjurkan agar berhati-hati pada pikiran dan selalu mengawasinya setiap saat. Praktik anjurannya itu di masa kini dikenal sebagai: meditasi. Ya, begitulah cara dari sang Buddha.

Di masa yang lain lagi, muncullah Muhammad beserta ajarannya. Muhammad pun juga menyampaikan hal yang mirip. Hanya saja, kemasannya sedikit berbeda dengan Buddha.

Ia mengatakan bahwa pikiran kita adalah sumber prasangka. Dan, kebanyakan prasangka yang timbul adalah prasangka buruk. Tapi, beruntungnya kita juga punya kemampuan untuk melatih berprasangka baik.

Oleh karenanya, Muhammad menganjurkan agar umatnya banyak-banyak berprasangka baik. Baik kepada Tuhan, sesama manusia, dan segala hal yang terjadi pada manusia.

Muhammad juga pernah berkata: jihad paling berat adalah jihad melawan hawa nafsu. Nafsu itu kan letaknya di dalam, bukan di luar. Jadi, sering-seringlah melihat ke dalam, bukan keluar.

Boleh jadi hawa nafsu inilah yang membuat kita gampang berprasangka buruk. Pikiran kita ini sangat rawan dari pengaruh hawa nafsu.

Beruntungnya, Muhammad juga menawarkan jalan keluar: gunakanlah akal untuk mengendalikan hawa nafsu.

Akan tetapi, apa itu akal?

Ada yang bilang akal adalah kemampuan berpikir logis. Tapi, boleh jadi akal lebih dari itu. Ya, akal lebih dari sekadar logika dan pikiran. Sebut saja akal itu sebagai sebuah entitas yang lebih tinggi, yakni kesadaran.

Jika Buddha menganggap pikiran sebagai awan yang semu, maka kesadaran adalah langit luas yang membentang di atasnya. Ia luas dan tak terbatas. Oleh karenanya, hidup dengan kesadaran adalah hidup yang utama. Dengan kesadaran, kita bisa mengendalikan pikiran dan tak mudah melekat padanya.

Walaupun hidup berbeda zaman, Socrates, Buddha, dan Muhammad menyampaikan pesan yang esensinya sama: hiduplah dengan kesadaran dan berhati-hatilah pada diri sendiri. Pesan ini tentu saja akan selalu relevan bagi saat ini dan zaman-zaman ke depan. Apalagi, saat ini bagi kita bangsa Indonesia yang akan merayakan pesta demokrasi.

Di tengah hoaks yang marak, kita tak bisa sekadar mengandalkan pikiran. Sudah terbukti, pikiran kita sangat rapuh dan rawan dimanipulasi oleh bermacam interpretasi yang jauh dari kebenaran.

Apa dampaknya jika hanya mempercayai pikiran dan interpretasi-interpretasi semu? Tentu saja, kita akan mudah terjeblos pada prasangka, yang bisa berujung kegaduhan-kegaduhan dan hanya menguras tenaga. Untuk hal ini, tentu sudah banyak sekali contoh nyatanya.

Padahal, jika disadari, masih banyak urusan hidup yang lebih utama ketimbang ingar bingar politik dan kekuasaan. Jadi, alternatif yang tersedia adalah: hidup dengan kesadaran. Dan, kesadaran hanya bisa dilakukan dengan berhati-hati pada diri sendiri.

Berhati-hati pada interpretasi diri terhadap tsunami informasi yang datang, interpretasi diri pada kelebihan dan kekurangan kedua kandidat pasangan capres-cawapres, interpretasi diri terhadap amarah yang muncul saat berbeda pilihan, interpretasi diri pada keinginan untuk menghujat dan interpretasi diri terhadap hal-hal fana lainnya.

Ya, memang ini tampak sederhana. Tapi, sulit untuk dipraktikkan serempak senasional.

Namun, sebagaimana layaknya pesta, apakah mungkin pesta bisa dirayakan dengan kesadaran? Ataukah, kitanya yang keliru menginterpretasikan demokrasi sebagai pesta?