Sewaktu berdikusi bersama mengenai Society 5.0 di Indonesia, salah seorang kawan menegur saya dengan keras katanya, "selama kita masih fotocopy KTP dan KK untuk ngurus dokumen di kelurahan, sangat tidak relevan ngomong soal Society 5.0 di Indonesia".

Saya hanya tertawa sambil memuji lawakannya. Pikir saya ada benarnya juga kritik yang diungkapkan kawan saya ini. Namun, bolehlah kita cermati apakah memang benar demikian.

Society 5.0, Proses Evolusi Peradaban Manusia

Perkembangan teknologi digital terlihat dengan penggunaan Internet of Thing (IoT), Artificial intelligence (AI), Robotics, dan Big Data pada sektor industri yang membawa perubahan pada masyarakat. Melalui pemanfaatan teknologi, manusia memiliki harapan untuk dapat menemukan solusi untuk masalah-masalah sosial.

Istilah yang digunakan di berbagai negara untuk menyebut hal ini cukup beragam. Misalnya di Eropa menggunakan istilah Industry 4.0, Made in China 2025 di Tiongkok, Smart Cities di berbagai negara Asia, Industrial Internet di Amerika Utara, dan Society 5.0 di Jepang.

Istilah Society 5.0 sendiri menandakan proses evolusi peradaban manusia. Society 1.0 ditandai dengan kegiatan berburu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Society 2.0 ditandai dengan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat dengan cara bercocok tanam.

Kemudian, Society 3.0 ditandai dengan masyarakat yang mulai mengenal dan mendalami dunia industri yang dipercaya dapat mempermudah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan. Serta Society 4.0 yang ditandai dengan perkembangan akses informasi dengan basis internet dan komputer.

Bukan Modal Melainkan Data

Pada 23 Januari 2019, Perdana Menteri Jepang waktu itu, Shinzo Abe, menyampaikan pidato berjudul “Toward a New Era of “Hope-Driven Economy” (Menuju era baru “Ekonomi yang digerakkan oleh harapan”) di World Economic Forum.

Dalam pidatonya, Shinzo Abe menyampaikan ciri masyarakat masa depan bernama Society 5.0Shinzo Abe menegaskan bahwa dalam era Society 5.0bukan lagi modal, melainkan data yang menghubungkan dan mendorong segala aspek kehidupan.

Visi nasional yang ingin dicapai pemerintah Jepang pada waktu itu adalah memperjuangkan masyarakat baru yang berpusat terhadap masyarakat.

Mereka memprioritaskan lima bidang yaitu perpanjangan rentang hidup yang sehat, realisasi revolusi mobilitas, penciptaan rantai pasokan generasi mendatang, membangun dan mengembangkan infrastruktur dan kota yang nyaman, dan teknologi finansial.

Skenario yang dirumuskan pemerintah Jepang ialah dengan penggunaan drone, peralatan rumah tangga dengan sistem AI, pemanfaatan robot untuk rekayasa perawatan medis, smart work, smart management, dan autonomous vehicle (kendaraan swa-kemudi).

Konsep Society 5.0 memiliki kekhasan pada realisasi perpaduan cyberspace dan physical space (CPS) untuk menghasilkan data berkualitas yang disimpan dalam perangkat penyimpanan informasi.

Data dari dunia nyata dikumpulkan dan dianalisis pada ruang digital untuk kemudian menemukan solusi yang bisa diterapkan. Perpaduan ruang siber dan ruang fisik menandai bahwa dalam setiap lini kehidupan manusia tidak akan lepas dari penggunaan internet, AI, dan robot.

Penggunaan teknologi yang berbasis data tersebut membuat kehidupan akan tergantung dengan algoritma. Algoritma adalah kumpulan langkah-langkah yang digunakan untuk menyelesaikan masalah tertentu seperti masalah matematika dan logika, salah satunya pada komputer.

Yuval Noah Harari dalam bukunya yang berjudul Homo Deus menjelaskan mengenai bagaimana algoritma mesin AI dan robot yang bisa menggantikan pekerjaan manusia bahkan dengan lebih baik.

Dalam analisanya, Harari menyebut bahwa sekarang ini algoritma sudah mendominasi pasar saham, menggubah musik, mengendarai mobil, menulis berita, menjadi dokter, bermain catur, dan banyak lainnya.

Harari melihat bahwa algoritma komputer yang tidak memiliki emosi, dapat dengan mudah dan efisien menjalankan tugasnya dibandingkan dengan manusia yang memiliki emosi dan sering melakukan kesalahan.

Artificial Intelligence (AI) dan Machine Learning Siap Membaca Anda

Dunia di era Society 5.0 khas dengan penggunaan Artificial Intelligence (AI) dan Machine Learning sebagai dasar dari transformasi digital. Untuk alasan efisiensi, banyak korporasi menggunakan algoritma Machine Learning pada sistem operasinya.

Machine Learning adalah subset atau bagian dari AI berupa mesin yang dikembangkan untuk bisa belajar sendiri tanpa arahan penggunanya. Sementara Deep Learning merupakan sub-bidang Machine Learning yang algoritmanya terinspirasi dari struktur otak manusia.

Penerapan Deep Learning sudah banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar teknologi seperti Google, Microsoft, Facebook, Instagram, Youtube, Netflix dan Amazon.

Perusahaan-perusahaan teknologi itu mengembangkan suatu sistem kontrol operasi pada berbagai macam hal seperti pencarian gambar dan pemberian label, pengenalan wajah dan suara, penerjemah bahasa, strategi permainan game, dan kendaraan semi swa-kemudi.

Misalnya, pada Januari 2019, Amazon melakukan uji coba layanan antar dengan robot yang diberi nama “Amazon Scout” yang mampu mendeteksi halangan berupa benda hidup seperti manusia dan hewan.

Sejak November 2014, Microsoft meluncurkan Microsoft Band, sebuah pita lengan yang mampu memantau detak jantung, kualitas tidur, dan jumlah langkah kaki setiap hari. Mobil-mobil swa-kemudi yang sudah dikembangkan oleh Tesla dan Google.

Algoritma-algoritma AI yang telah berkembang bahkan sudah bisa menandingi manusia dengan memenangkan berbagai kompetisi seperti permainan catur dan Go, permainan strategi asal China. Pada Februari 2015, suatu program yang dikembangkan oleh Google DeepMind belajar sendiri cara memainkan 49 permainan klasik Atari, dari Pac-Man hingga balap mobil.

Program itu bahkan bisa memainkan sebagian besar permainan itu sama dengan atau bahkan lebih baik dari manusia bahkan terkadang memunculkan strategi baru yang belum pernah terjadi pada pemain manusia.

Beberapa di antara kita mungkin tidak merasa kaget ketika Youtube, Instagram, atau Netflix bisa merekomendasikan konten yang sesuai dengan minat kita. Mungkin tidak heran ketika Amazon yang tiba-tiba merekomendasikan buku yang kita cari-cari atau Instagram yang menampilkan iklan sepatu yang kita inginkan selama ini.

Algoritma yang dikembangkan perusahaa-perusahaan itu bisa membantu kita dengan rekomendasi yang disusun berdasarkan basis data statistik yang besar. Netflix, Facebook atau Amazon bisa tahu siapa kita, tipe kepribadian kita, dan bagaimana mempengaruhi emosi kita.

Harari mengutip dalam bukunya, Homo Deus, mengenai bagaimana hasil studi dari Facebook menunjukkan bahwa algoritma mereka telah mampu dengan baik menilai kepribadian dan watak seseorang daripada teman, orangtua, pasangan atau bahkan orang itu sendiri.

Studi tersebut dilakukan pada sejumlah 86.220 relawan pengguna akun Facebook dan yang menyelesaikan 100 item kuisioner kepribadian. Harari menyebutkan bahwa algoritma Facebook dapat memprediksi jawaban para relawan berdasarkan pemantauan aktivitas “Like” di Facebook yakni mana laman web, gambar, dan klik yang mereka tandai dengan tombol “Like”.

Semakin banyak tombol “Like”, akan membuat prediksi algoritma menjadi semakin akurat hingga mampu mengetahui opini dan keinginan seseorang. Implikasi perkembangan AI ini, menurut Harari, bisa sangat serius hingga mempengaruhi demokrasi suatu negara.

Penutup

Hidup di era serba teknologi, membuat orang ingin atau bahkan wajib untuk menjadi bagian dari aliran data. Setiap orang mungkin dengan sukarela atau terpaksa akan memberikan data personalnya kepada akun media sosial atau suatu instansi tertentu, yang juga berarti menyerahkan privasi, otonomi, dan individualitas mereka.

Bagi kita terutama para pemuda, mungkin tidak bisa dipisahkan dari aktivitas posting, chatting, uploading, dst. Setiap hari, kita menyerap data yang tidak terhitung jumlahnya mulai dari membaca surel, membaca artikel, menelpon, mengikuti navigasi GPS, melihat video lucu di Tiktok dan lain sebagainya.

Mungkin kita adalah salah satu orang yang mudah mengambil gambar lewat telepon pintar dan mengunggahnya ke media sosial, kemudian memeriksanya setiap beberapa menit untuk melihat berapa banyak Like yang kita dapatkan dan berapa banyak orang yang menyaksikannya. Manusia sekarang ini seolah memiliki motto baru: “Jika Anda mengalami sesuatu rekam. Jika anda merekam sesuatu, unggah. Jika anda mengunggah sesuatu, bagikan.”

Hal tersebut saya kira tidak jauh dari realitas kebiasaan masyarakat Indonesia. Sebagai negara pengguna media sosial Instagram terbesar ke empat di dunia, masyarakat menjadi bagian dari aliran data yang tiada henti secara global.

Kita tidak bisa mengatakan bahwa konsep Society 5.0 jauh dari realitas di Indonesia, sementara masyrakat sudah ikut ambil bagian baik secara sukarela maupun terpaksa dalam Big Data. Yang harus kita lakukan ke depan adalah mempersiapkan generasi yang mampu menggunakan teknologi dan algoritma sedemikian rupa untuk cita-cita awal Society 5.0 yakni membangun masyarakat yang human-setris.

Sumber-sumber:

Harari, YN 2018, Homo Deus Masa Depan Umat Manusia, cetakan ke-3, Tangerang Selatan, Pustaka Alvabet.

Harari, YN 2018, 21 Lessons 21 Adab untuk Abad ke 21, Manado, CV. Global Indo Kreatif.

https://tirto.id/apa-itu-masyarakat-50-karakteristik-dan-contoh-implementasinya-gjWz

https://infokomputer.grid.id/read/122809202/apa-itu-artificial-intelligence-machine-learning-dan-deep-learning?page=all

https://cadmus.eui.eu/handle/1814/71620

http://www8.cao.go.jp/cstp/%0Ahttp://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=bth&AN=108487927&site=ehost-live

https://tirto.id/amazon-uji-coba-layanan-antar-pakai-robot-bernama-amazon-scout-de4X

https://www.mofa.go.jp/ecm/ec/page4e_000973.html