Mu’adz bin Jabal adalah satu sahabat Nabi yang menjadi founding father dalam hal ijtihad. Namanya tercatat dalam As-sabiqunal awwalun (sahabat yang masuk islam terdahulu). Ia telah memeluk agama Islam sejak usianya masih relatif muda, 18 tahun.  

 Selanjutnya beliau terkenal sebagai ahli hukum atau dalam istilah kita, ia adalah seorang faqih (ahli fiqih). Kepakarannya di bidang fikih sampai mendapat pengakuan dari Nabi. “umatku yang paling tahu akan hukum halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal”, begitu Nabi memujinya. 

Keunggulannya dalam bidang hukum membuatnya diutus ke negeri Yaman oleh Nabi sebagai ahli dalam pemecahan problem islami. Dalam peristiwa pendelegasian inilah muncul istilah ijtihad. Kata itu pertama kali terekam dalam sebuah dialog menarik antaranya dengan Nabi sebelum ia berangkat ke Yaman.

 “Bagaimana kamu akan memutuskan sebuah permasalahan?’ tanya Nabi.

 “Akan aku putuskan dengan kitabullah” jawab Mu’adz bin Jabal.

 “Jika tidak kamu temukan dalam kitabullah?”

 “Akan aku selesaikan berdasarkan sunah Rasul”

 “Jika tidak kunjung kau temukan?”

 “Saya akan berijtihad (berpikir keras) dalam menyelesaikannya”

Sambil menepuk-nepuk dadanya Rasulullah berujar “segala puji bagi Allah yang telah memberi pertolongan kepada Rasulnya dalam perkara utusan”.

Istilah ijthad dalam hadist di atas kemudian didefinisikan oleh kalangan fuqaha sebagai, badzl al-juhdi fi bulugh al-ghordl. “mengerahkan segala kemampuan untuk mencapai sebuah tujuan”, (Imam Al-Juwaini, Al-Waraqat). Objeknya adalah hal-hal yang tidak disebutkan dalam Al-Quran secara eksplisit.

Dengan demikian jelas motif jawaban ijtihad Mu’adz bin Jabal disebabkan perbedaan konteks yang akan ia hadapi. Di Mekah dan Madinah ia tidak perlu repot-repot melakukan ijtihad karena Al-Quran dan sunah Rasul berbicara dalam konteks dua wilayah tersebut. Namun di Yaman berbeda, ada kasus-kasus yang muncul yang tidak disebutkan dalam keduanya secara eksplisit.

Dalam bahasa mudahnya, ijtihad mulai diperlukan saat teks tidak lagi dapat berbicara karena problem yang terus berevolusi dan tidak pernah berhenti. Dalam kitab Bidayah Al-Mujtahid, Ibnu Ruysd mengemukakan sebuah ibarah yang mampu merekam problem di atas. 

الوقائع بين الأشخاص والأناس غير متناهية ومحال ان يقابل ما لايتناهى بما يتناهى

“problem-problem yang dihadapi individu dan masyarakat bersifat tidak terbatas, sedangkan sabda-sabda Nabi (nash), perbuatan, serta pengakuan beliau terbatas. Maka tidak mungkin yang terbatas dapat menjawab semua persoalan yang tidak terbatas”

Singkatnya konteks sebagai wadag harus memiliki teks sebagai ruh. Sehingga semua permasalahan benar-benar tidak luput dari kendali Allah. Namun karena teks yang beredar terbatas sehingga butuh diadakan ijtihad untuk menemukan teks dari sebuah konteks yang hanya disebutkan nash secara implisit.

Lalu ruang-ruang manakah yang dapat dijadikan objek kajian ijtihad?

Semua pekerjaan mukalaf  di dunia ini  tidak  ada yang terlepas dari kendali Allah. Sebab Allah lah pencipta sejati. Kendali tersebut biasa dinamai dengan  hukum. Para ulama ushuli kebanyakan  mendefinisikan hukum  sebagai, “titah pembuat syariat (Tuhan) yang berhubungan  dengan pekerjaan  mukalaf (akil, baligh). 

Dalam ushul Fikih disebutkan pembagian hukum islam ada dua bagian. Pertama, adalah hukum yang bersifat qath’i, yaitu hukum yang ditetapkan melalui dalil dalil yang dilalahnya tegas dan konkret, sehingga tidak bisa dikompromikan dengan logika-logika. Bagian sama sekali tidak bisa dimasuki oleh mujtahid, sebab kebenarannya sudah absolut. Oleh karena itu sifatnya stagnan, tidak mungkin berubah.

Kedua, adalah hukum yang bersifat dzonni (asumtif), yaitu hukum yang ditetapkan melalui dalil-dalil yang dilalahnya masih ambigu dan tidak menutup kemungkinan untuk salah. Oleh karena itu butuh pada logika-logika untuk memperkuat kebenaran yang ditunjukkan sebuah dalil dalam menderivasikan (istinbath) sebuah hukum. Bagian inilah yang menjadi ruang kerja mujtahid dalam berijtihad.

Dua hukum di atas mencakup tiga bidangnya masing-masing. Keduanya masing-masing memasuki tiga ruang yang sama, aqidah, amaliyah, dan kaidah-kaidah.

Aqidah, yang dimaksudkan adalah keyakinan manusia akan Tuhan, berikut dengan variasinya. Atau lebih eksplisit lagi bidang ini biasa disebut dengan ilmu Tauhid. Beberapa contoh hukum yang bersifat qath’i dalam bidang ini adalah tentang keesaan Tuhan, adanya neraka dan surga, diutusnya Nabi Muhammad, dan masih banyak lagi masalah yang teksnya menuntut dimaknai apa adanya. 

Di samping itu, ada juga ruang-ruang aqidah yang hukumnya masih bersifat dzonni (asumtif) dan mukhtalaf fih (banyak dipertentangkan mujtahid) sebab teks-teks yang muncul sifatnya masih menimbulkan ambiguitas dan kurang tegas, atau bahkan banyak terjadi kontradiksi dalam teks-teks tersebut. Sehingga para mujtahid pun berlomba-lomba memberikan interpretasi. 

Satu contoh dalam kasus ini adalah keyakinan tentang rukyatullah, keyakinan seseorang tentang “apakah di hari kemudian ia bisa melihat Tuhan atau tidak?”. 

Sebagian ulama berpendapat bahwa Allah bisa dilihat di akhirat. Sedang ulama seberang berpendapat sebaliknya.  Keduanya sama-sama memutuskan hukum melalui Al-quran dan hadist. Namun hasil ijtihadnya berbeda. Tetapi sebenarnya masalah keyakinan akan rukyatullah tidak begitu penting. Karena di akhirat Allah tidak akan menanyakan “wahai hambaku, dulu di dunia kamu yakin bisa melihatku tidak?”.

Bidang kedua adalah amaliyah atau sesuatu yang bersifat praktis. Dalam ruang ibadah ini banyak sekali terdapat hukum qath’I. Contoh hukum-hukum qoth’I dalam masalah amaliyah adalah tentang kewajiban menunaikan salat, zakat, puasa Ramadhan, haji, dan lain sebagainya yang bersifat ma’lum min ad-dini bi dharurah (mesti diketahui seorang muslim). 

Problem dalam bidang ini yang  sudah ditetapkan hukumnya melalui teks-teks yang tegas, baik berupa Al-Quran maupun sunah, tidak lagi berhak untuk diijtihadi. Ia hanya diberi pamrih untuk menunaikannya.

Sebagian sektor lainnya lagi ada beberapa permasalahan  yang  belum memiliki teks yang jelas/masih bersifat  dzonni (asumtif). Sehingga  hukumnya masih tanda tanya. Dalam bidang-bidang  inilah  para  mujtahid mendapatkan job  untuk menyingkap tabir dilalah sebuah teks. 

Contoh  kerja mujtahid dalam bidang amaliyah adalah interpretasi atas hukum penyusuan yang membuat seseorang menjadi mahram. Apakah penyusuan itu satu kali, dua, atau lima kali? Para fuqaha beramai-ramai mengungkapkan hasil ijtihadnya masing-masing dari teks-teks yang ada. Dan hasilnya mereka masih khilaf karena teks yang diinterpretasi sejatinya masih mengundang banyak asumsi (bersifat dzonni).

Mengenai contoh-contoh hukum dzonni dalam bidang amaliyah masih banyak lagi. Apalagi  setiap zaman memiliki polemik yang berbeda-beda yang  perlu diijtihadi  hukumnya masing-masing. Misal hukum top up diamond yang tentunya belum dibahas oleh mujtahid-mujtahid masa lampau. Di  sinilah mujtahid memiliki ruang besar.

Bagian  ketiga atau terakhir adalah kaidah-kaidah yang mendasari sebuah hukum. Ada sebagian kaidah hukum yang dikonstruksi melalui teks yang tegas dan penelitian cermat nan komprehensif terhadap hukum-hukum yang dicakup kaidah tersebut. Dari penelitian dan observasi tersebut ditariklah sebuah konklusi bahwa Islam menghendaki dibangun di atas kaidah-kaidah tersebut. 

Contohnya, kaidah la dharara wala dhirara (tidak boleh merugikan/membahayakan kepentingan diri sendiri atau orang lain). Kaidah ini diambil teksnya dari sebuah hadist. Para ulama pun sepakat akan kebenaran kaidah tersebut. Setelah diteliti ternyata benar, kaidah tersebut mencakup banyak hukum yang dikehendaki dibangun di atas kaidah tersebut.

Kaidah-kaidah yang dibangun dengan konsep seperti ini masih banyak lagi. Seperti al-hududu tudrau bi as-syubuhat, “sebuah hukuman harus dibatalkan jika masih terdapat keraguan”, ad dinu yusrun wa raf al-haraj, “agama menghendaki kemudahan dan menghilangkan kesulitan, dan lain sebagainya.  Kaidah-kaidah semacam ini sifatnya qath’i, baik  karena dilihat dari otentisitas jalur dan makna yang dipahami dari sebuah teks maupun karena penelitian terhadap hukum-hukum yang dicakupnya.

Di samping itu ada juga kaidah-kaidah lain yang melandasi sebuah hukum, namun sifat kebenarannya masih  dzonni (asumtif). Sehingga masih diperselisihkan oleh banyak kalangan ulama akan validitas kaidah itu.  Contoh, sebagian ulama menghendaki qiyas (analogi) sebagai alternatif penyelesaian hukum yang belum disebutkan oleh teks Al-Quran atau sunah. 

Sebagian ulama yang lain mengingkari hal tersebut dan membuat kaedah sendiri, bahwa segala sesuatu yang tidak disebutkan oleh nash (Al-Quran dan Hadist) maka hukumnya dikembalikan kepada asalnya, yakni ibahah.