Saya ingin mewakili korban pelaku pelecehan seksual di pesantren, untuk menyampaikan protes. Tetapi maaf saya belum memahami perasaan yang dirasakan oleh korban, apakah perasaan yang sehancur-hancurnya, hancur-lebur, merasa bahwa ia tak lagi memiliki masa depan, yang hanya tersirat kemuraman, serta trauma seumur hidupnya. Yang mana hal ini juga dapat merusak citra pesantren di masa mendatang.

Orang-orang akan berpikir dua kali sebelum memasukkan anak-anaknya ke pesantren. Dikarenakan pemberitaan selalu saja pemberitaan kenegatifan. Pesantren sebagai tempat pembuangan orang bermasalah. Semakin negatif, karena pemegang kekuasaan bukannya memperbaiki citra pesantren, tetapi justru memperparah citra negatif tersebut.

Kiai di pesantren seperti raja, ia memiliki kekuasaan mutlak. Mana bisa bawahan melawan raja? Karena merasa paling berkuasa itulah mereka bebas melakukan apa saja, termasuk pelecehan seksual. Membujuk dan merayu anak di bawah umur, alasannya macam-macam seperti mendapatkan berkah, mengisi tenaga dalam, mertuanya tidak ingin punya cucu (jadi nafsunya diarahkan pada santrinya), atas dasar suka sama suka, dan terlalu sayang kepada muridnya.

Kiainya mengatakan, mohon kamu mengerti bapak, bapak tentu tidak ingin menghancurkan masa depanmu. Nak, kamu harus taat sama guru. Nak, kalau kamu hamil maka bapak yang bakalan bertanggung jawab, lalu membiayai semua keperluan anakmu, bahkan kalau perlu sampai kuliah bapak sanggupi. Kamu juga akan diberikan jabatan di pesantren. 

Demikian miris, seseorang yang mendahulukan nafsu. Kemudian tangan setannya berkuasa penuh pada wilayah tubuh korban. Ia menganggap bahwa tidak akan ada yang mampu memprotes dan menghukumnya, sekalipun Tuhan, tidak bisa.

Jijik, ketakutan, trauma. Sebab tubuhnya bukan lagi menjadi hak miliknya, melainkan orang lain. Boleh melawan? Tidak, sebabnya ia ialah seorang kiai atau orang terhormat. Yang ada malah korban yang mutlak salah. Karena kiai dianggap selalu benar, dielu-elukan, padahal ia juga manusia. Manusia yang bisa melakukan salah, dan wajib dihukum jika melakukan kesalahan fatal, amoral.

Sayangnya kiai ataupun pelaku cukup dengan mengaku bersalah, kekhilafan, minta maaf, dan selesai. Nikmat sekali hidupnya. Memangnya mesti hamil dulu, baru kemudian hukumannya bertambah berat? Mesti hamil dulu, baru boleh diprotes? Apa jangan-jangan kalau nanti hamil selanjutnya akan dinikahkan pula dengan kiai atau pelakunya? Kalau memang benar begitu, maka saya sangat-sangat kecewa dengan pemikiran sableng demikian.

Kiai diartikan sebagai orang yang dihormati, dan ini khusus di Jawa. Kiai sebenarnya istilah khas budaya Jawa yang mempunyai makna selaku orang terhormat di tengah masyarakat yang senantiasa untuk memandang umat dengan tatapan kasih sayang.

Zaman dahulu, kyai tidak hanya untuk orang, tetapi juga untuk benda. Kiai memiliki sifat kasih dan sayang tanpa pamrih, untuk selalu membantu orang lain. Contohnya yaitu memberikan tempat tinggal gratis bagi santri, memberikan modal usaha bagi yang miskin, dan mengobati mereka yang sakit. 

Seperti Rasulullah, yang tidak tega melihat penderitaan umatnya sehingga sanggup berkorban dan menolong umatnya dengan penuh kasih sayang.

Seharusnya bukan jabatan atau kiainya saja yang ditonjolkan, tetapi orangnya. Meski dia seorang kiai sekalipun, dia tetap orang biasa di mata hukum. Presiden pun juga seharusnya sama seperti orang normal di mata hukum. Tidak adanya diksriminasi hukum.

Hal inilah yang membuat orang miskin sudah jiper duluan kalau bersoalkan hukum. Kiai yang memiliki duit berlebih misalkan, lalu hal tersebut menguntungkannya di mata hukum. Maka hal ini bisa membuat masyarakat ngamuk. Dan semakin tidak percaya pada hukum di Indonesia.

Jelas masyarakat butuh pendampingan hukum di dalam kasusnya. Hal tersebut membutuhkan pengacara dari lembaga atau organisasi bantuan hukum. Tentunya yang terpenting ialah perlunya penegak hukum yang berintegritas, berpihak pada keadilan, bukan hanya kepada yang membayar banyak, serta adanya pendidikan hukum bagi masyarakat. Berarti hukum dapat dicerna oleh seluruh lapisan masyarakat.

Kita tidak bisa menyalahkan korban, kenapa kamu kok tidak melawan, tidak protes? Sebab di pesantren Kiai sangat dihormati. Jika melawan, malah Anda yang disalahkan. Kita tidak pula bisa memaksa korban untuk melaporkan. 

Sebab melaporkan, sama halnya mengingat-ingat potongan peristiwa amat mejijikkan, demikian. Peristiwa yang tidak bisa kita bayangkan. Peristiwa yang belum pernah kita rasakan, seperti mati? Solusinya tentu keluarga atau kerabat terdekat yang melaporkan kepada pihak berwajib.

Di berita tidak hanya kiai, ada pula guru ngaji, guru (di sekolah), paman, bahkan ayah kandung sendiri. Dapat disimpulkan maka keluarga, saudara dan tetangga pun dapat berbuat keji, tidak ada yang tahu. Saat ini banyak orang yang tidak mampu mengendalikan nafsunya. 

Entah karena sel-sel di otaknya yang korslet, atau pikirannya bahwa keegoisan telah jadi pegangan hidupnya. Lagi pula pelaku ini sepertinya lega dan bangga, sebab tidak dihukum penjara seumur hidup.

Maka hukuman harus ditegakkan dan dibebankan seberat-beratnya kepada pelaku. Tidak bisa cuma 13 tahun, lalu dipotong-potong masa hukumannya. Hal ini akan menjadikan persepsi masyarakat main hakim sendiri akan dilegalkan dan ditolerir. 

Sebab yang ada dibenaknya, polisi dan hukum sama, enggan berpihak kepada korban. Mending kita saja yang jadi hakim. Padahal kan hukum juga bisa membaik, asalkan penegak hukumnya berempati pada kerugian korban.


Daftar Bacaan

Aprilia Kumala. 2018. Apa sih Bedanya Ustaz, Ulama, dan Kiai?

Haris Azhar. 2018. Equality Before the Law dalam Sistem Peradilan di Indonesia.

NU Online. 2005. Gus Mus: Istilah Kyai Sudah Salah Kaprah.