Siapa yang tak kenal KH Ahmad Dahlan? Boleh jadi sebagian kalangan memang tak mengenalnya, tapi agaknya mayoritas masyarakat Indonesia mengenalnya. Ya, ia adalah pendiri Muhammadiyah 105 tahun yang lalu.

Siapa yang pernah membaca buku karya KH Ahmad Dahlan? Boleh jadi tak ada, termasuk saya. Jangankan itu, siapa yang pernah melihat buku karya KH Ahmad Dahlan saja dapat dipastikan sangat minim. Karena memang karyanya sulit ditemukan.

Sampai-sampai, gagasan Teologi Al-Maun dan Teologi Al-Ashr yang sangat khas Muhammadiyah itu, tak pernah ditulis olehnya. Teologi Al-Maun, justru ditulis oleh Prof. Zakiyuddin Baidhawy (2009) dan Teologi Al-Ashr (2015) ditulis oleh Azaki Khairudin.

Khusus Teologi Al-Maun, ada pula yang membahasnya pada sub-pembahasan buku, misalnya Moeslim Abdurrahman (2003) “Islam Sebagai Kritik Sosial”, Zuly Qadir (2010) “Reorientasi Gerakan dan Pemikiran Abad Kedua”, PP Muhammadiyah (2010) “1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan”. Dan masih banyak lagi.

Kesemuanya tidak ditulis oleh KH Ahmad Dahlan, melainkan para murid dan penerus gerakannya. Puluhan tahun setelah ia tiada, pada Februari 1923 lalu.

KH Ahmad Dahlan, memiliki nama kecil Muhammad Darwisy. Dalam berbagai literatur ia disebut-sebut sebagai salah satu tokoh pembaru Islam di Indonesia. Sejak mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912 lalu, ia begitu terkenal sebagai seorang pembaru dan penggerak. Bukan pemikir dan penulis. Mungkin ini berkelindan dengan fakta sejarah tadi (terkait karya tulisnya yang susah ditemukan).

Berbagai pembaruan banyak dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan. Mulai dari yang paling sederhana: cara berpakaian. Bila dahulu warga Kauman merasa tabu berpakaian ala Belanda, maka tidak bagi KH Ahmad Dahlan. Ia justru memakai jas, sorban di kepala, jarik (kain Jawa yang bermotif batik), dan bersepatu modern khas Eropa. Jadilah perpaduan Jawa dan Eropa yang khas.

Bagi KH Ahmad Dahlan, pakaian adalah budaya. Tidak mempengaruhi keimanan pada Gusti Allah. Yang terpenting, pakaian itu sesuai dengan syariat Islam, tidak melanggar batas-batasnya.  

Selain itu, KH Ahmad Dahlan juga merubah kebiasaan pendidikan yang tidak terbuka, menjadi sangat terbuka. Terbuka dalam artian ada penambahan kurikulum ilmu umum yang kala itu hanya dipelajari oleh kaum priyayi di sekolah Belanda.

Jadi, di samping belajar ilmu agama, murid-murid KH Ahmad Dahlan juga mempelajari ilmu umum (sciences). Untuk ukuran zaman sekarang, barangkali jadi kebutuhan wajib. Tapi tidak pada kala itu, yang dianggap tak lazim.

Dalam rangka membangun model pendidikan yang terbuka itu, KH Ahmad Dahlan tak sungkan-sungkan belajar ke sekolah Belanda. Sesuai catatan Prof Abdul Munir Mulkhan (2010), KH Ahmad Dahlan pernah mengajar di kweeckshool (Sekolah Praja) di Jetis setiap hari Sabtu dan Ahad dan OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsch Amtenaren) atau sekolah Pamong Praja di Magelang.  

Dalam pada ini, kemudahan KH Ahmad Dahlan belajar ke sekolah Belanda tak lepas dari keterlibatannya di Boedi Oetomo.

Kemudian pembaruan lain pada aspek kesehatan. Yang mana KH Ahmad Dahlan tak sungkan meniru cara kerja pelayanan kesehatan dari Belanda. Lalu diadopsinya, sehingga berdirilah Penoelong Kesengsaraan Oemom (PKO) atas usul H.M. Sudjak.

Mendengar cerita di atas, rasanya sudah biasa. Di mana KH Ahmad adalah pembaharu dan penggerak. Mendirikan ini dan itu. Menggagas ini dan itu. Demikian diperkuat lagi oleh Ahmad Nur Fuad (2015) dalam kesimpulan disertasinya, yang juga menyebut KH Ahmad Dahlan sebagai penggerak. Bukan penulis ataupun pemikir. Makanya sampai hari ini, jarang ditemui buku yang ditulis oleh KH Ahmad Dahlan. Walaupun sejatinya buku itu ada.

Ini berbeda dengan pendiri Nahdatul ‘Ulama (NU), KH Hasyim Asyari, yang memiliki cukup banyak karya, di antaranya: Risalah Ahlu Sunnah Wa Al Jama’ah, Adabul ‘Alim Wa Al-Muta’alim, At-Tibyan Fin Nahyi An-Muqothoatil Arham Wal Aqorib Wal Ikhwan, An-Nurul Mubin Fi Mahabbati Sayyidil Mursalin, dan seterusnya.   

Ahmad Surkati, pendiri Al-Irsyad, di antaranya: Surat al-Jawab (1915) dan Risalah Tawjih Al-Quran ila Adab Al-Quran (1917). Dan Ahmad Hassan, salah seorang pendiri PERSIS, karyanya antara lain: Tafsir Al-Quran Al-Furqan (1956), Kitab Pengajaran Sholat, dan Terjemah Buluqhul Maram.

Berbagai bukti itu menunjukkan bahwa KH Ahmad Dahlan memang minim karya tulisan. Namun agaknya tidak pantas pula bila menyebut KH Ahmad tidak punya karya. Karena ternyata, KH Ahmad Dahlan memiliki karya tulisan, hanya saja berserakan di mana-mana. Tidak rapi dan teratur dalam satu buku.

Salah satu tulisan KH Ahmad Dahlan dan diterbitkan ulang adalah “Tali Pengikat Hidup” (1923), berisi tentang persatuan umat.

Pun juga transkip pidato KH Ahmad Dahlan di Kongres Muhammadiyah di Cirebon, tahun 1922. Judulnya “Kesatuan Hidup Manusia”. Karya ini kemudian diterbitkan oleh Hoofdbestuur (HB) Majelis Taman Pustaka.

Lalu tulisan KH Ahmad Dahlan di Majalah Suara Muhammadiyah Edisi Pertama dan Kedua. Dan dimungkinkan di edisi lainnya KH Ahmad Dahlan juga menjadi kontributor. Hal ini disampaikan oleh Editor Bahasa Majalah Suara Muhammadiyah, Bapak Lutfi Efendi, pada Sabtu (2/12).

Edisi kedua terbit pada tahun 1915. Sedang edisi pertama tidak ditemukan arsipnya sampai sekarang. Edisi kedua, ditemukan di Belanda tepatnya di perpustakan Leiden University oleh Dr. Kuntowijoyo.  

Dalam hal ini untuk menulis dan menerbitkan sebuah majalah itu, bukan perkara mudah. Aspek paling menentukan adalah “Ruh” keilmuan. Ruh menulis. Itu artinya dalam aspek ini KH Ahmad Dahlan tidak ketinggalan memiliki ruh menulis. Tertanam semangat keilmuan yang tinggi. Dan ini perlu disadari. Karena terbukti, KH Ahmad Dahlan ternyata punya karya (tulisan).

Di atas itu semua, tentu hal ini menjadi informasi menarik bagi kita aktivis Muhammadiyah. Bahwa ternyata, KH Ahmad Dahlan tidak hanya bergerak namun juga menulis. Buktinya jelas. Dan mungkin masih banyak karya-karya lain yang belum terungkap oleh sejarah. Tapi agaknya bolehlah sampai sini kita sebut KH Ahmad Dahlan adalah seorang Penulis. Itupun bila anda setuju?