Bersama dengan seorang teman, Nahdya Maulina, saya menjadi founder komunitas pilah sampah di pertengahan tahun 2020. Komunitas ini berfokus pada edukasi pemilahan sampah rumah tangga yang dilakukan secara online. Kami memilih instagram sebagai sarana edukasi.

Komunitas ini mempunyai satu recycle point di kawasan BSD Tangerang. Komunitas ini juga menerima sampah anorganik dengan jenis yang cukup banyak. Mulai dari multi layer plastic, styrofoam, mika, kemasan tetrapack, plastik asoy, botol kaca atau plastik, kardus, kertas, expired make-up dan minyak jelantah.

Komunitas ini tidak bergerak sendiri. Komunitas ini melibatkan beberapa mitra terpercaya untuk melakukan pengolahan sampah anorganik yang dikumpulkan di recycle point.

Keberadaan komunitas dengan model pilah sampah ini ada banyak di kawasan Jabodetabek. Semua mempunyai semangat yang sama: bagaimana berkontribusi terhadap penanganan sampah rumah tangga secara sukarela?

Karena berbasis sukarela, maka yang berpartisipasi hanyalah orang-orang yang tergerak hatinya untuk ikut serta dalam pemilahan sampah rumah tangga. Jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan penduduk Jabodetabek.

***

Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) yang jatuh setiap tanggal 21 Februari ditetapkan oleh pemerintah untuk mengenang peristiwa yang merenggut nyawa lebih dari 100 orang karena longsornya TPA Leuwigajah pada tanggal 21 Februari 2005.

Di Jabodetabek sendiri, permasalahan sampah rumah tangga ini menyimpan kisah tersendiri. Di kawasan Tangerang, TPA Cipeucang pernah jebol turapnya sehingga mencemari Sungai Cisadane.

Di Bekasi, TPA Bantargebang juga memberikan aneka ragam permasalahan sepanjang keberadaannya. Di Depok, tumpukan sampah TPA Cipayung juga sudah menggunung, melebihi kapasitasnya.

Permasalahan sampah ini akan semakin menggurita jika tidak ada upaya preventif yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten atau kota. Saya ingat saat berada di Chiba, sebuah kota di pinggiran Tokyo, Jepang yang begitu mempesona.

Penanganan sampah masyarakat kota Chiba dilakukan secara terintegrasi oleh pemerintah kota. Bukan hanya sekedar kontribusi relawan-relawan melalui komunitas-komunitas peduli sampah.

Pemerintah kota menentukan hari pengambilan sampah rumah tangga jenis tertentu. Satu hari untuk satu atau dua jenis sampah rumah tangga di daerah itu. Jika warga Chiba tidak mengikuti ketentuan ini, maka tidak boleh marah jika sampah kita ditinggalkan oleh petugas kebersihan yang bertugas pada hari itu.

Adanya aturan ini, mau tidak mau, maka semua masyarakat dipaksa untuk melakukan pemilahan sampah pada skala rumah tangga. Kemudian meletakkannya di tempat pengumpulan sampah perumahan atau apartemen sesuai dengan hari pengambilan sampah.

Selain itu, edukasi melalui brosur terkait waktu dan jenis pengambilan sampah ini juga dipasang jelas di perumahan atau apartemen. Cara ini membuat tidak adanya penumpukan sampah pada hari yang bukan waktunya sampah diambil oleh petugas kebersihan.

Seperti kata pepatah: alah bisa karena biasa. Saya yang bukan warga negara Jepang, karena adanya aturan ini juga harus melakukan pemilahan sampah rumah tangga. Saya juga harus mengumpulkan di tempat pengumpulan sampah apartemen pada hari yang sudah ditentukan oleh pemerintah kota.

Di atas adalah salah satu cara sinergi pemerintah kabupaten/kota dengan masyarakatnya. Pemerintah kabupaten/kota memberlakukan kebijakan yang menuntut kontribusi warga, sedangkan penduduk kota/kabupaten berperan serta sesuai dengan porsinya.

Sinergi ini menjadi penting. Ini adalah tulang punggung penanganan sampah rumah tangga di skala kabupaten/kota. Menilik pada sistem yang diberlakukan oleh komunitas pilah sampah atau pemerintah kota Chiba, pemerintah kabupaten/kota di Indonesia tentu saja bisa juga ikut menirunya.

Penerapannya bisa menyesuaikan kondisi lokal kabupaten/kota. Pemerintah kota/kabupaten harus mulai memikirkan bagaimana sampah rumah tangga akan diangkut oleh petugas kebersihan? Apakah ada hari-hari tertentu untuk jenis sampah anorganik tertentu?

Apakah ada sanksi bagi warga yang tidak ikut aturan pemilahan sampah yang diberlakukan di kota/kabupaten? Bagaimanakah edukasi rutin terhadap aturan penanganan sampah ini? Cara apa yang mesti ditempuh sehingga masyarakat kota/kabupaten mematuhi aturan ini?

Kerjasama dengan bank sampah, komunitas, perusahaan, atau start-up yang mengolah sampah anorganik ini menjadi sesuatu yang berharga mutlak diperlukan. Artinya sampah-sampah anorganik yang masih bisa diolah bisa dimanfaatkan lagi untuk pengolahan lebih lanjut menjadi barang yang bisa digunakan lagi.

Kerjasama akan berdampak positif bagi TPA-TPA. Beban penampungan TPA akan berkurang karena sampah rumah tangga yang dibuang di TPA benar-benar sampah yang sudah tidak terpakai lagi atau tidak bisa digunakan lagi.

Selain itu, adanya sinergi antara masyarakat dan pemerintah kota/kabupaten ini akan mempermudah tugas para relawan-relawan peduli sampah. Dalam jangka panjang, tentu saja pemerintah kota/kabupaten mesti juga memikirkan pengolahan sampah yang aman bagi lingkungan untuk TPA. Jangan sampai justru keberadaan sampah yang tidak terpakai di TPA ini menimbulkan masalah bagi lingkungan atau masyarakat sekitarnya.

Momen peringatan 17 tahun peristiwa TPA Leuwigajah ini bisa menjadi awalan bagi pemerintah kota/kabupaten untuk memulai langkah-langkah penanganan sampah rumah tangga. Tentu saja kita tidak ingin peristiwa 17 tahun yang lalu di TPA Leuwigajah terjadi lagi di TPA-TPA lain di Indonesia. Bukan begitu?  


Febty Febriani

Peneliti di Pusat Riset Fisika Badan Riset dan Inovasi Nasional dan Co-founder Komunitas Pilah Sampah.