Setelah negara-negara bangsa terbentuk, berbagai kerjasama mulai dilakukan untuk membangun hubungan di antara mereka demi kepentingan domestiknya masing-masing. Dari kerjasama bilateral sampai multilateral; mengenai pertumbuhan ekonomi, politik, kesehatan, pendidikan, lingkungan dan lain-lain. 

Hak Asasi Manusia adalah contoh isu penting yang dibahas di forum internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember 1948 mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Righs (UDHR) di Majelis Umum dan menyerukan kepada semua bangsa-bangsa untuk menghormati UDHR. 

Namun, adopsi UDHR bukanlah dokumen yang mengikat secara hukum dan tidak ada kewajiban dari negara-negara anggota untuk mengimplementasikan ke dalam hukum domestik di negaranya masing-masing.

Pada saat yang berbeda, masalah lingkungan juga telah dibahas di forum global karena kekhawatiran akan dampak berbahaya dari aktivitas manusia. Blewit (2008) mengatakan bahwa aktivitas manusia mengkonsumsi modal alam, bergantung pada jasa ekosistem untuk mendukung standar dan kualitas hidup. 

Sektor bisnis memiliki dampak yang sangat besar terhadap lingkungan dengan mengkonsumsi sumber daya alam atau secara langsung menghasilkan polusi dari kegiatan bisnis. Di Cina, emisi karbon turun sekitar 18 persen antara awal Februari dan pertengahan Maret 2020 karena penurunan konsumsi batu bara dan hasil industri (Stone, 2020).

Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi akan selalu berdampak pada lingkungan, namun disaat yang sama memberikan manfaat dalam pemenuhan hak asasi manusia untuk memenuhi taraf hidup yang layak serta memenuhi kebutuhan dasar manusia.

Menurut Badan Lingkungan PBB atau UNEP berpendapat hak asasi manusia dan lingkungan saling terkait; hak asasi manusia tidak dapat dinikmati tanpa lingkungan yang aman, bersih dan sehat; dan tata kelola lingkungan yang berkelanjutan tidak dapat ada tanpa pembentukan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. maka dari itu, kedua isu penting ini tidak dapat dipisahkan dan memiliki keterkaitan yang kuat satu sama lain.

Selama ini isu lingkungan tampaknya hanya menjadi perbincangan politik semata. Kehadiran negara-negara di pertemuan penting sering dipandang hanya ingin mendapatkan kekuatan politik dari negara anggota lain. Dan hanya sebatas kegiatan seremonial.

Meskipun berbagai kesepakatan, pertemuan internasional telah dilakukan, dari konvensi PBB di Brazil yang juga dikenal sebagai Konvensi Rio pada tahun 1992 dengan serangkaian pertemuan lanjutan tentang pembangunan berkelanjutan – perubahan signifikan masih jauh dari harapan dan kerusakan lingkungan masih terjadi hingga saat ini.  

Selain itu, sejak berdirinya United Nations Environmental Programme atau UNEP pada tahun 1972, Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi pada tahun 2012 untuk mereformasi UNEP. 

Hal ini senada dengan apa yang di katakana Susskind dan Ali (2015) bahwa ada pengakuan yang jelas adanya masalah serius dengan sistem saat ini, dan bahwa proses koreksi yang lebih adaptif diperlukan. Dengan demikian, membangun citra dan reputasi yang baik sangat penting untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat internasional terhadap kerja organisasi lingkungan.

Transformasi Millennium Development Goals (MDGs) menjadi Sustainable Development Goals (SDGs) juga menunjukkan ketidakmampuan negara-negara dan lembaga internasional dalam memenuhi komitmen tujuan pembangunan sebelumnya. 

Pemerhati lingkungan di Indonesia Bachriadi (2020) berpendapat bahwa pembangunan berkelanjutan lebih baik dilihat sebagai konsep 'komposisi' atau 'naskah' politik yang menghasilkan berbagai 'repertories' atau 'adegan' dalam pertunjukan politik untuk menunjukkan kepedulian bersama global terhadap kelestarian lingkungan.

Jika saat ini agenda pembangunan (SDGs) digunakan sebagai konsep politik daripada komitmen nyata untuk melindungi lingkungan, pada akhirnya kondisi dunia akan tetap sama atau memburuk. Akibatnya, manusia akan menjadi lebih rentan dengan kemiskinan, kekurangan gizi, penyakit dan bencana alam dari kerusakan lingkungan. 

Hal ini memperkuat pertanyaan mengapa isu lingkungan akan tetap menjadi perbincangan tanpa tindakan nyata? karena kemungkinan besar maksud pertemuan negara-negara di tingkat internasional hanyalah panggung untuk menunjukkan kekuatan politik kolektif mereka atas sesuatu yang tidak terkait dengan lingkungan.

Memang tidak mudah untuk mengabaikan kepentingan politik antar negara demi kepentingan bersama. Dan jika kesadaran ini diabaikan, dampak ekonomi dan kerusakan lingkungan akan meningkat. Karena tujuan negara-negara hanya akan mengambil keuntungan dari masalah lingkungan dan hak asasi manusia.

Gagasan pembangunan berkelanjutan harus diikuti dengan komitmen untuk melindungi kehidupan generasi berikutnya dalam segala aspek. Harus ada keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan konsep pembangunan. 

Komunitas internasional secara kolektif harus mengevaluasi langkah dalam menghadapi tantangan dalam melindungi lingkungan serta hak asasi manusia di negaranya masing-masing.

Oleh karena itu, pemenuhan Hak Asasi Manusia yang melindungi lingkungan memerlukan regulasi dan komitmen yang ketat dari setiap negara. Dan harus ada pengawasan selama proses kebijakan dilakukan. Sehingga kegiatan usaha atau aktivitas bisnis lainnya dapat diawasi sesuai dengan peraturan yang berlaku, serta tidak mengeksploitasi sumber daya alam atau mencemari lingkungan.