Bukan hal baru jika kini Prabowo kembali mengadu ke MK setiap pilpres usai. Pasalnya, pada pilpres 2014, Prabowo juga melawan SBY atas kasus yang sama, yakni masalah sengketa pilpres.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan mengutarakan ‘kejanggalan’ atau ‘kecurangan’ yang dianggap terjadi pada pemilu. Malah akan sangat baik ketika kasus kecurangan yang diduga tersebut memiliki bukti yang konkret dan kuat. Sehingga berkat adanya pengaduan adanya sengketa pilpres ini, maka akan memperbaiki sistem demokrasi dalam negeri.

Tetapi kembali lagi pada syarat dasar pengaduan, yakni harus tertera bukti atas berbagai tuduhan tersebut. Tidak hanya sekadar ucapan bahwa pemilu kali ini kembali dinodai dengan aksi kecurangan yang bersifat Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) saja.

Dalam hal ini, mengingat pemilu telah usai, seharusnya Prabowo dan BPN-nya berhenti berkoar mengenai adanya kecurangan yang bersifat TSM. Hal yang tepat dilakukan adalah mencari dan mengumpulkan bukti yang kuat dan kokoh untuk mendukung keberatannya terkait hasil pemilu itu.

Meskipun sebenarnya agak telat jika bicara langkah preventif untuk mencegah kecurangan dalam pemilu. Seperti kita ketahui, pihak Prabowo selalu mengatakan jika demokrasi di Indonesia telah tercoreng dengan adanya berbagai tindak kecurangan setiap kali pemilu. Persoalannya adalah Prabowo dan BPN-nya selalu saja melaporkan adanya tindak kecurangan dalam pemilu pasca pemilu itu sendiri.

Yang sama-sama menjadi pertanyaan adalah, mengapa Prabowo dan BPN tidak langsung melakukan pelaporan ketika mengetahui ada kecurangan pada saat kecuragan itu terjadi? Mengapa Prabowo selalu saja kebakaran jenggot setelah penetapan hasil pemilu? 

Kalau begini, kan, membuat masyarakat berasumsi bahwa bisa jadi Prabowo melakukan ini karena ia tidak bisa menerima kekalahannya yang bertubi-tubi, walaupun misalnya tuduhannya itu benar adanya.

Andai saja Prabowo melakukan itu, sedikit-banyaknya ia akan membantu memperbaiki sistem demokrasi di negeri ini kalau memang terdapat kecurangan yang seperti ia ucapkan. Sebaliknya, Prabowo kembali membuat laporan kepada MK pasca pemilu. 

Tetapi lucunya, semua tuduhannya itu hanya dugaan-dugaan saja. Meski pihaknya mencantumkan bukti, selalu saja dalam persidangan dikatakan bahwa buktinya itu tidak kuat atau ilegal.

Artinya, dalam proses sidang seharusnya tidak ada lagi bukti berupa dugaan-dugaan. Konyol memang! Ya, namanya juga dugaan, akan terus menjadi hal yang diduga-duga jika tidak dicantumkan bukti fisik.

Satu lagi soal dugaan, apakah dugaan memiliki nilai hukum yang kuat jika tidak disertakan bukti? Sungguh implementasi dari jargon populer sing penting yakin di ranah sidang selevel sidang MK.

Baiklah, selanjutnya mari kita mengenang dan sedikit menyumbangkan pikiran kita dalam memorial sengketa pilpres yang dilayangkan Prabowo di 2014. Yang mana, sidang MK 2019 ini secara langsung mau tidak mau membawa kita untuk mengingat perjuangan Prabowo untuk memperoleh keadilan atas kekalahannya.

Pada 2014, Prabowo pernah melakukan pelaporan jika terdapat kecurangan yang bersifat TSM. Yang mana, topik kecurangan TSM pada pemilu kali ini juga ia laporkan. 

Pada saat itu (2014), Prabowo melaporkan bahwa kecurangan TSM terjadi saat pemungutan hingga perhitungan suara dan setelahnya. Sedangkan pada laporan sengketa pilpres 2019, Prabowo mengaku bahwa kecurangan TSM terjadi saat sebelum dilakukannya pemungutan suara.

Bagaimana? Masih lucu, nggak? 

Pada saat itu, lagi-lagi Prabowo tahu jika kecurangan terjadi ketika pemungutan suara dilakukan. Tetapi, ia tidak langsung membuat laporan dan malah menunggu kecurangan-kecurangan berikutnya terjadi. Lebih lanjut lagi, kecurangan tersebut terjadi lagi pada pemilu kali ini.

Pada dasarnya, laporannya mengenai kecurangan yang bersifat TSM tadi sama dengan laporan pada pemilu 2014. Bedanya adalah kadar kecurangan TSM pada pemilu kali ini tidak sebanyak pada 2014. Hal ini menandakan kemajuan bahwa kecurangan pada pemilu kali ini sudah berkurang dibanding pada sengketa pilpres 2014.

Selanjutnya, pada 2014, Prabowo mengatakan terdapat mobilisasi pemilih yang terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Sehingga, masih menurut Prabowo, jumlah pemilih tidak sesuai dengan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKb).

Selain itu, Prabowo juga mengatakan banyak kasus anggota penyelenggara pemilu tingkat bawah yang mengubah hasil suara pemilu baik di level TPS, Kecamatan, Kabupaten/Kota, serta Provinsi. Pencoblosan ganda oleh satu orang pun pernah dilaporkan terjadi oleh Prabowo. Jangan ditanya lagi, politik uang juga dituduhkan terjadi oleh Prabowo kala itu.

Jika dianalisis, tuduhan Prabowo pada pemilu lalu sangat mirip terhadap tuduhan sengketa pemilu pada tahun ini. Meski tahun ini tampaknya ada tambahan kecurangan terkait sengketa pemilu. Seperti tuduhan yang dilayangkan kepada Mendagri Tjahjo Kumolo, Prabowo mengatakan Mendagri menginstruksikan kepada PNS untuk mengampanyekan capaian kinerja Jokowi.

Menurut Prabowo, hal tersebut mencederai netralitas PNS. Jadi, sebenarnya jika Tjahjo Kumolo benar adanya menginstruksikan seluruh ASN dan PNS untuk mengampanyekan capaian kinerja Presiden Jokowi itu memang sebuah luka yang mencederai netralitas pemilih. 

Tetapi, sebaliknya, jika Tjahjo Kumolo meminta ASN dan PNS untuk tetap menghormati presiden yang masih memimpin dengan mempertahankan apa yang telah dicapai Presiden Jokowi, tentu yang yang lumrah dan sudah sepatutnya begitu.

Mengapa Mendagri melakukan instruksi tersebut? Karena memang kita bisa melihat ada aparatur negara yang mengolok dan menentang kebijakan presiden, padahal mereka masih bekerja di bawah pemerintahan yang melantiknya. Bisa dibilang, ada ASN dan PNS yang terbawa suasana kampanye lantas mengolok pemerintah yang masih berkuasa hanya untuk mendukung pasangan lain.

Tetapi jika maksud Mendagri Tjahjo Kumolo menginstruksikan agar para ASN dan PNS untuk mengampanyekan dan mendukung Jokowi dalam pemilu, tentu kita semua sepakat bahwa hal tersebut salah.

Tuduhan selanjutnya, yaitu Prabowo menilai aparatur negara seperti polisi dan intelijen tidak netral. Tuduhan ini dilayangkan karena Kepala BIN menghadiri acara yang digelar oleh PDI Perjuangan.

Selanjutnya, Prabowo juga mengatakan adanya pembatasan media dan pers. Prabowo menambahkan, media pemberitaan tidak netral karena telah berafiliasi dengan salah satu paslon. 

Menurut saya, hal tersebut tidak ada salahnya. Perusahaan media tentulah butuh pemasukan untuk keberlangsungan medianya. Yang salah adalah ketika media yang berafiliasi dengan salah satu paslon lantas memberitakan hoaks yang akan menjatuhkan politik lawan.

Selagi media memberitakan berdasarkan fakta, tidak menyudutkan dan mendiskriminasi lawan politik, tuduhan tidak netral rasanya tidak cocok dihujamkan pada media-media yang berafiliasi. Afiliasi media layaknya iklan-iklan penumbuh rambut.

Yang terakhir, yakni adanya diskriminasi penerapan hukum. 

Menurut Prabowo, penegak hukum cenderung pasif terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan kubu Jokowi-Ma’ruf. Hal ini benar, karena memang kubu Jokowi-Ma’ruf cenderung lebih halus dalam melakukan perang politik dibanding kubu Prabowo. Hal ini terlihat dari tidak grasa-grusunya dalam mengambil keputusan dan lebih hati-hati dalam berucap.

Demikianlah sederet permasalahan sengketa pilpres dari tahun ke tahun. Kalau boleh saran, sih, sudahlah hentikan sengketa ini. Prabowo cukup berlapang dada dalam menerima kekalahan. Hal tersebut lebih keren dibanding mencari-cari kesalahan yang terlihat dipaksakan untuk menjadi bukti yang kuat untuk melawan presiden terpilih.

Jika memang presiden terpilih melakukan kecurangan seperti yang dituduhkan, Tuhan tidak tidur. Tuhan tidak rida jika pemimpin zalim memimpin negeri tercinta ini. Atau bisa jadi Tuhan sedang menjauhkan kita dari calon pemimpin zalim.