Fatwa secara bahasa artinya pendapat. Terhadap sebuah pendapat kita boleh percaya boleh juga tidak, boleh taat boleh juga tidak, tergantung pada analisis intelektualitas kita sendiri. Sebagaimana halnya fatwa seorang dokter tentang sebuah penyakit, kita boleh saja menerima fatwanya namun juga kita sangat boleh mencari ragam fatwa lain dari berbagai dokter, yang pada akhirnya kita sendirilah yang akan memutuskan untuk menerima fatwa dokter tertentu.

Demikian pula fatwa atau pendapat terkait nilai-nilai agama yang dikeluarkan oleh beragam ulama. Kita bisa saja menerima fatwa seorang ulama lalu menolak fatwa ulama yang lain atau sebaliknya, tergantung analisis intelektual kita.

Saat ini kontroversi fatwa terkait nilai-nilai agama semakin rumit. Katakan saja terkait fatwa haram mengucapkan selamat natal kepada pemeluk agama Kristen atau haram menggunakan atribut natal. Kontroversi fatwa ini seolah tak pernah kunjung berakhir, terus saja berulang setiap tahunnya ketika menjelang tanggal 25 Desember.

Yang menjadikannya lebih rumit lagi adalah saat ini muncul pergerakan dari kalangan minoritas umat Islam yang memproklamirkan diri sebagai pengawal fatwa tersebut, mengkampanyakekannya bahkan menuntut beberapa pihak untuk melaksanakannya dengan cara paksaan. Sungguh upaya pengawalan seperti itu sangat tidak terpuji.

Sejatinya fatwa pelabelan haram bagi kaum muslimin untuk mengucapkan natal dan menggunakan aksesori natal adalah sesuatu hal yang sah-sah saja, toh karena hal itu hanya sebatas pendapat saja, namun kemudian menjadi sangat buruk jika memaksakan fatwa tersebut agar dilakukan oleh orang lain.

Saya akan mencoba membawa para pembaca ke zaman ketika sesat fatwa terjadi dan upaya pengawalan fatwa tersebut dilakukan dengan pendekatan pemaksaan dan kekerasan.

Jika kita hidup di masa tokoh-tokoh suci lagi mulia seperti Imam Abu Hanifa ra., Imam Malik bin Anas ra., Imam Syafei ra., Imam Ahmad bin Hambal ra., Imam Bukhari ra., Imam Ghazali dan Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani, maka kita akan dihadapkan pada sebuah pertanyaan mendasar, “Apakah kita akan menerima fatwa dari Ulama-ulama Islam pada saat itu terkait tokoh-tokoh mulia di atas?”

Imam Abu Hanifa ra. lahir pada tahun 80 Hijrah dan wafat pada tahun 150 Hijarah. Beliau adalah ahli fikih dan pengasas mazhab Hanafi. Namun apa yang terjadi pada diri beliau, Ulama-ulama Islam pada saat itu na’udzubillah memfatwakan beliau sebagai seorang yang sesat, keluar dari Islam dan pendurhaka.

Bukan hanya itu beliau dihukum dalam penjara hingga akhirnya beliau wafat karena diracun. (Seerat-al-Nu’maan oleh Shibli m.s. 63 dan Taareekhul Khulafa m.s 141 dan Tatheer-ul-Auliya oleh Mir Mudhatar Shah Gilani)

Imam Malik bin Anas ra., lahir pada tahun 93 Hijrah dan wafat pada tahun 179 Hijrah. Beliau adalah seorang waliyullah dan ahli fikih yang termasyhur, beliau pribadi yang sangat menyayangi Rasulullah saw., beliau pun sangat dikenal sebagai penulis kitab hadis yang terkenal yakni Muwatta.

Namun apa yang terjadi dengan beliau, penguasa pada saat itu memfatwakan beliau sebagai orang yang bersalah, beliau disiksa sehingga pakaian beliau koyak dan dihukum cambuk sebanyak 70 kali lalu dipaksa untuk mengelilingi kota mengendarai unta, dan dalam kondisi yang berdarah-darah beliau menunaikan salat dua rakaat di dalam masjid. (Seeratul-A’emma Arba’ah oleh S. Rais Ahmad Jaffari edisi 1955).

Imam Syafei, beliau lahir pada tahun 150 H dan wafat pada tahun 204 H. Beliau dikenal dengan ketinggian ilmunya yang luar biasa dan sebagai pengasas dari mazhab Syafei. Namun apa yang terjadi pada diri beliau, para ulama Islam saat itu memfatwakan beliau na’udzubillah lebih berbahaya dari iblis. Lantas beliau dipenjara. (Harba-i-Takfeer, 1933)

Imam Ahmad bin Hambal, beliau lahir pada tahun 164 H dan wafat pada tahun 241 H. Beliau adalah pribadi yang sangat mendalam dalam ilmu hadis, filsafat, tafsir Alquran dan juga dikenal sebagai seorang sufi yang alim.

Namun apa yang terjadi dengan beliau, para ulama saat itu memfatwakan beliau salah, sehingga beliau dimasukan kedalam penjara, diikat dengan empat rantai besi yang berat lalu dibawa dari Tarsus menuju Baghdad dengan berjalan kaki. Dalam bulan Ramadhan semasa beliau tengah berpuasa beliau dijemur dibawah terik matahari lalu dicambuk dengan tidak berperikemanusiaan. (Seerat-i-A’emma m.s. 613-615)

Imam Bukhari, beliau lahir pada tahun 195 H dan wafat pada tahun 256 H. Beliau adalah pengumpul dan penyusun hadis-hadis Rasulullah saw yang agung. Kitab beliau ‘Shahih Bukhari’ menjadi dasar utama hadis-hadis sahih saat ini. Namun para ulama Islam pada waktu itu memfatwakan beliau murtad lalu mengusir beliau dari Bukhara ke Khartang. (Nazm-ud-Durr, Fin Silk-us-Seer: m.s. 167)

Imam Ghazali, beliau lahir pada tahun 450 H dan wafat pada tahun 505 H. Beliau sangat mulia dan unggul dalam keilmuan serta kezuhudannya. Kitab beliau berjudul Ihyaa al-ulumuddin menjadi karya agung dalam sejarah intelektual Islam. Namun para ulama pada saat itu telah memfatwakan beliau sesat, murtad bahkan sebagi atheis.

Selain itu para ulama mempengaruhi masyarakat agar tidak percaya dengan ajaran beliau. (Anwar-ul-Auliya: m.s. 198, Al-Ghazali oleh Allama Shibli Nomaani: m.s. 56).

Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani, lahir pada tahun 470 H dan wafat pada tahun 561 H. Beliau adalah seorang ulama dan waliullah yang sangat terkenal. Beliau adalah pengasas Qadiriah dalam tasawuf Islam.

Kitab-kitab beliau seperti Ghuyat-ul-Taalibin, Futuh-al-Ghoib, Bahjat-ul-Asraar, Al-Fath-ur-Rabbaniya adalah karya-karya agung nan mulia dalam sejarah intelektulitas umat Islam. Namun apa yang terjadi dengan beliau, sekitar 200 ulama Islam pada saat itu kembali memfatwakan beliau sesat dan murtad. (Haalat-i-Janaab-i-Ghauth-ul-Azam)

Tarikh di atas menunjukkan kepada kita bahwa ada kalanya para ulama mengalami kekeliruan dan sesat dalam membuat fatwa, bahkan lebih pada dari itu mereka pun melakukan sesat dalam tindakan. Dan jika saya hidup di zaman para tokoh mulia nan suci tersebut di atas, tentunya saya akan menolak fatwa-fatwa tersebut sehingga terhindar dari antara mereka yang melakukan sesat perbuatan.

Oleh sebab itu, diperlukan sekali kearifan dan kebijaksanaan dalam menyikapi pendapat atau fatwa dari beragam ulama saat ini.