Akhirnya Pemerintah memutuskan untuk mencabut aturan mengenai investasi industri minuman keras yang tercantum dalam lampiran III Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Berita menggembirakan bukan? Tentu saja. Karena sebagian besar warga menolak investasi miras ini. Tetapi dalam hal ini saya tidak mau membahas pro dan kontra dari sisi sosial atau agama.  

Ada baiknya kita kembali pada titik awal yaitu apa sih tujuan membuka keran investasi di negeri ini? Pasti inti tujuannya adalah untuk meningkatkan perekonomian agar negara mampu mensejahterakan rakyatnya. Maka jika benar itu tujuannya, harusnya investasi didorong untuk mengurangi ketergantungan negara ini terhadap pihak luar terutama dalam pemenuhan pangan dan energi.

Dalam menentukan keran investasi ini, tentu Presiden dan timnya tidak main-main. Memang begitukan? Mereka pastinya akan menilai masak-masak melalui beberapa pertanyaan sederhana. Seperti benarkah dengan membuka keran investasi untuk minuman beralkohol ini cukup signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia? Atau malah lebih banyak kerugiannya?

Dalam beberapa berita disebutkan bahwa investasi di industri minuman beralkohol atau miras ini dapat meningkatkan lapangan pekerjaan dan untuk mendukung industri pariwisata. Yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah seberapa besar sih tenaga kerja yang akan terserap oleh industri miras? Apakah pariwisata tidak bisa jalan jika tidak ada minuman beralkohol ini? Bagaimana dampak sosialnya dan apakah investor tertarik pada bidang ini jika menimbulkan pro dan kontra? Dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya.

Jika benar mempertimbangkan banyak hal dengan tujuan utamanya adalah kesejahteraan rakyat, maka pemerintah harusnya tidak akan pernah memasukkan miras pada daftar peluang investasi. Namun akan sangat serius pada industri - industri yang mendukung pencapaian swasembada pangan atau sembako. Itu loh sembilan bahan pokok. Mengapa? Karena hingga saat ini lebih dari 70 tahun merdeka, Indonesia belum bisa swasembada pangan. Padahal SDA sangat mendukung untuk berswasembada pangan.

Tanpa kita sadari Indonesia masih tergantung pada import untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari warganya. Sebut saja beras, kedelai, jagung, kentang, bawang putih, garam, gula, singkong, daging sapi dan masih banyak lainnya. Bukankah semua yang disebut diatas itu bisa ditumbuhkan dan diproduksi di dalam negeri?

Petani dan peternaknya saja ada. Namun sebagian dari petani dan peternak itu seolah hidup segan mati tak mau. Lah saat panen seringnya harga anjlok. Sering tidak BEP dengan biaya produksi atau kadang kalah saing dengan harga produk import. Petani itu bagai jatuh tertimpa tangga, saat panen raya  barang import malah masuk, contohnya bawang merah dan bawang putih. Bukankah selama ini import hasil pertanian dan ternak malah membunuh petani dan peternak kita secara perlahan-lahan? Artinya ada sistem yang salah di sini.

Lalu mengapa pemerintah dalam menangani masalah kekurangan pangan yang nyata-nyata dapat diproduksi di dalam negeri malah mengambil jalan pintas dengan import? Apakah pemerintah serius dalam program swasembada pangan? Seriuskah membuka keran investasi pada sektor pertanian dan peternakan?

Untuk langkah awal pilih salah satu saja komoditas pangan agar kita bisa berswasembada, misalkan komoditas gula. Tidak perlu pemerintah mengembalikan Indonesia menjadi produsen gula terbesar di dunia seperti tahun 1930-an, cukup dengan mampu berswasembada gula. Maka revitalisasi pabrik gula dan perkebunan tebu perlu ditangani dengan serius dan menjadi program nasional yang gaungnya harus melebihi GNWU. Semoga bukan hanya sekedar Perpres.

Mengapa gula sih? Dibanding dengan miras, warga Indonesia lebih butuh gula sebagai konsumsi sehari-harinya. Karena orang Indonesia hobi ngeteh, ngopi, ngemil yang manis-manis dan masih banyak lagi. Tahun 2020 kebutuhan gula di Indonesia sekitar 3,16 juta ton. Sedangkan produksi tahun 2020 diperkirakan hanya mencapai 2,1 juta ton. Dan terbantu stok tahun sebelumnya sekitar 1,08 juta ton. Maka masih perlu Import sebesar 29 ribu ton gula untuk kecukupan ketersediaan gula di pasaran.

Jika rata-rata produksi tahunan hanya sekitar 2 juta ton. Artinya ada sepertiga kebutuhan gula tidak terpenuhi. Jika pemerintah serius pada program revitalisasi pabrik gula dan perkebunan tebu, maka bukan tidak mungkin kita bisa berswasembada gula bahkan menjadi negara pengeksport gula. Amanat ciptaker pada Omnimbus Law tercapai bukan? Kan tenaga kerjanya banyak terserap oleh pabrik-pabrik gula dan perkebunan-perkebunan tebu. Ini baru komoditas gula loh, bayangkan jika komoditas pangan lainnya juga ditangani dengan serius.  

Apabila Pemerintah sangat serius dengan keinginan berswasembada pangan, maka miras tidak akan ada dalam daftar keran investasi karena hanya akan menimbulkan polemik. Lah wong masih banyak komoditas lainnya yang jika ditangani dengan sangat serius mampu membuka lapangan kerja bagi warga negara ini. Bukankah selama ini Pemerintah mengatakan tingginya angka pengangguran, sulitnya UMKM berkembang, berkurangnya jumlah petani dan masih banyak lagi.

Kenyataannya selama ini tubuh rakyat Indonesia lebih butuh beras, gula, garam dan sembako lainnya? Dokter juga mengatakan bahwa tubuh manusia tidak membutuhkan alkohol dalam metabolismenya? Mungkin saya perlu mencari tahu mengapa waktu itu Pemerintah memasukkan miras dalam daftar peluang investasi, agar saya tidak gagal paham.

Menurut saya saat Pemerintah mempertimbangan industri miras sebagai salah satu peluang investasi adalah sebuah kecerobohan dan kurangnya tekad untuk mengurangi import kebutuhan pangan. Karena pangan atau sembako lebih dibutuhkan daripada miras. Terlebih dalam masa pandemi seperti ini. Paket bansos saja berisi sembako bukan miras. 

Bukankah beberapa waktu yang lalu peternak dan petani mengalami kerugian saat panen karena harga pasaran yang terlalu anjlok. Peternak dan petani membuang hasil panennya sebagai ungkapan kekecewaan mereka. Padahal inilah saatnya pemerintah menunjukkan kepeduliannya pada petani dan peternak sekaligus menciptakan peluang kerja yang mampu mengurangi pelemahan ekonomi akibat pandemi.

Atau jangan-jangan Perpres No. 10 tahun 2021 terutama lampiran III ini sengaja dibuat memang nantinya untuk dicabut atau direvisi saat ada gejolak dari masyarakat? Untuk menepis anggapan bahwa Pemerintah anti kritik. Entahlah… monggo silakan berpendapat. Wong Indonesia ini negara demokrasi. Setiap warga bisa beropini dan menyampaikan uneg-uneg atau pendapatnya. Asal santun.