Seribu Persen

Badan tegap itu masih terlihat terpuruk di kursi kerjanya. Pandangan matanya keluar jauh menembus jendela kaca lebar pada dinding ruang kerja sebuah gedung perkantoran. Sinar matahari yang semakin meredup menerobos masuk, tetap tak mampu mengusik diamnya.

Tania, sekretaris di kantor jasa Zoe Architech & Building tampak bimbang. “Maaf, Pak Bagus. Apakah Bapak masih hendak berlama di kantor? Sekarang sudah jam 18.00 WIB,” Suara Tania memecah keheningan.

“Oh, ya. Silahkan, jika kamu mau pulang, Tania,” jawab pria berbadan tegap itu, tanpa berbalik dari posisinya.

Tania berjalan mendekati meja pimpinannya. “Siap, Pak! Ini ada beberapa dokumen yang perlu persetujuan Bapak,” lapor Tania sambil meletakkan beberapa dokumen yang tersusun rapi di meja besar itu. “Saya ijin pulang lebih dulu, Pak,” pamit Tania.

Tania berbalik hendak meninggalkan ruang kerja pimpinan perusahaannya. Sesaat dia terkejut, ketika berbalik ada seorang laki-laki bersandar di ambang pintu ruangan Direktur. “Eh, Pak Arga. Maaf, Pak.”

Arga manajer departemen arsitek tersenyum dan memberikan jalan pada Tania yang akan meninggalkan ruangan.

Pintu tertutup perlahan, diikuti dengan langkah kaki mendekat ke meja besar dan rapi itu. “Ehem!” dehem Arga memecahkan kesunyian.

Sosok diam itu pelan bergerak memutar kursinya, menyambut deheman yang berhasil mencairkan kebekuannya. Senyum kaku terkembang sesaat. Tarikan nafas berat terdengar entah yang keberapa.

“Belum balik kamu, Ga?” tanya pemilik suara berat itu tanpa semangat.

Arga duduk di seberang meja sang Pimpinan yang juga merupakan sahabatnya sejak kuliah. Kaki kirinya ditumpangkan di kaki kanannya. Kedua tangannya terjalin bertumpu pada lengan kursi  Ditatapnya bos sekaligus sahabatnya itu dengan pandangan mata penuh ketidaksabaran.

“Belum,” singkat jawaban Arga. “Mau berapa lama kamu gak karuan seperti ini, Gus? Sudah hampir sebulan!” dengus Arga sambil berdiri menuju satu pojok ruangan untuk menyeduh kopi. Tidak berapa lama Arga kembali dengan membawa dua cangkir kopi item, satu untuknya satu untuk Bagus.

“Minum, biar terang pikiranmu!” perintah Arga. Arga menyeruput dengan nikmat kopi hitamnya, tanpa melepas tatapan matanya pada Bagus.

Bagus mengikuti Arga menyeruput pelan kopi hitam jatahnya. Usai seruputan ketiga, Bagus meletakkan cangkirnya. Sedangkan Arga masih memegang cangkir kopinya.

Bagus merasa tatapan mata itu memvonisnya atas sesuatu. Dibalasnya tatapan mata Arga.“Bagaimana aku menyudahinya?” pinta Bagus.

“Hah! Kamu itu ahli mengurai dan menyelesaikan masalah di perusahaan kita ini, Gus. Gak ada yang bisa mengalahkan analisamu dan caramu. Selalu tuntas dan diterima semua pihak. Lha ini, masalah yang tidak lebih rumit, membuatmu seperti orang linglung begini,” gerutu jengkel Arga.

Arga masih menatap tajam Bagus. Raut wajah Arga menyiratkan kejengkelan yang lama ditahannya. “Pekerjaan kantor hampir-hampir tidak kamu pegang. Sekedar memantau dan mengevaluasi pekanan saja tidak lagi kamu kerjakan. Semua melimpah ke aku. Kalau aku mau, sudah kukudeta kamu!” gerutu kesal Arga.

“Itu bukan solusi tapi omelan!” sanggah Bagus. “Kamu tidak mengurangi bebanku tapi menambahnya!”

“Nah! Itu kalimat … mirip dengan yang kamu ucapkan satu setengah tahun yang lalu. Di sore yang sama dengan baju leseh, dan di sini pula. Sehari semalam kamu tidak pulang, pilih nginap di rumah keduamu ini, hanya karena dipaksa memilih satu di antara dua perempuan yang semua kamu sayangi!” seru sengit Arga sambil meletakkan cangkir kopi hitam yang sudah tinggal ampasnya.

Kening Bagus berkerenyit. Sahabatnya masih ingat peristiwa yang mengubah kisah cintanya. Peristiwa di malam itu. Satu malam ketika dia bermaksud melamar Tyas, namun tidak diterima oleh bapak kekasihnya itu. Justru Bagus diminta untuk melamar kakak Tyas, Nia, almarhum istrinya.

Bagus merasakan  begitu berat beban atas kejutan yang diberikan bapak Tyas. Cintanya kepada Tyas. Rasa kasihan terhadap kakak Tyas. Kedekatan keluarga Bagus dengan keluarga Tyas. Beban itu bertumpuk menghimpit dada dan nalarnya hingga membuatnya tak tahu harus kemana dan bagaimana.

“Untuk urusanmu kali ini, tak perlu analisa njelimetmu. Ikuti saja pesan terkuat di hatimu yang seluas samudera itu. Jangan lupa minta petunjuk kepada yang Maha Kuasa!” jawab tegas Arga.

Bagus memandang Arga dengan tatapan mata kosong. “Achhh, Ga, aku tidak tahan berlama di sisi anakku. Senyum kecilnya ketika tertidur dan tatap matanya, tidak bisa aku singkirkan dari mataku. Tatapan matanya sangat mirip dengan ibunya. Aku merasakan cinta dan lara ketika bersama anakku. Tapi aku tidak mampu meninggalkannya.”

Suara Bagus tercekat. Matanya tampak berkabut. Arga tertegun, dan menggelengkan pelan kepalanya, heran dengan sahabatnya, tadi nanya apa sekarang cerita apa. Bagus benar-benar rapuh kali ini.

“Aku tidak pernah tulus mencintai Nia, ibu anakku. Hingga Nia hamil, aku baru merasakan jatuh cinta padanya. Saat berdua, Nia biasanya mengambil tanganku dan menyentuhkannya di perutnya. Tuhan. Nia akan membisikkan kalimat-kalimat lembutnya, bahwa dia menyayangi ayah anak yang ada dikandungannya. Nia akan bisikkan permintaan maaf karena merasa telah merebut aku dari Tyas.”

Arga bergeming, dia tatap sahabatnya dan menyiapkan seluruh waktunya menjadi pendengar yang baik,

Bagus menyandarkan tubuhnya dan tatapan matanya jauh menerawang. “Saat itu aku akhirnya memutuskan menerima permintaan bapak Tyas. Menikah dengan Nia. Walaupun sebenarnya mudah bagiku untuk menolaknya dan meninggalkan Tyas juga Nia. Tapi aku bukan laki-laki seperti itu,” ungkap resah Bagus.

“Aku menikahi Nia dengan menguatkan niat bahwa pernikahan bukan permainan, bukan sandiwara. Pernikahan adalah sebuah tanggungjawab dunia akhirat. Aku mengambil jalan itu, hanya karena Allah. Aku pasrahkan semua keputusanku pada-NYA. Saranmu waktu itu cukup menambah bekalku untuk megucapkan akad dengan mantap.”

Bagus mengambil cangkir kopinya yang masih terisi setengah dan masih cukup hangat. Diseruputnya dan dituntaskannya seluruh resah hatinya.

“Nia dapat mengambil tempat di hatiku. Walau tidak sepenuhnya. Tyas tidak pernah benar-benar hilang dari hatiku. Aku menyayangi Nia, Ga. Aku juga belum bisa melupakan Tyas. Ada sesal dan ada rasa bersalah yang selalu menggangguku. Apalagi jika anakku menatapku dengan tatap mata ibunya,” desah Bagus dan kemudian kembali terdiam.

Arga melihat celah untuk bicara. “Nah! Jika kamu merasa menyesal dan bersalah karena tidak bisa mencintai Nia seratus persen, gampang to cintai seribu persen anak kalian itu. Berikan perhatianmu dan segalanya. Bukan kamu terus-terusan seperti orang patah hati, begini. Pikiran kamu itu di rumah enggak, di kantor enggak!” ucap Arga kesal tapi penuh perhatian.

Bagus dengan mata elangnya yang meredup memandang sahabatnya. “Aku harus bagaimana menunjukkannya?”

“Jadi Bapak sekaligus Ibu buat anakmu. Sebelum ada pengganti ibu buatnya,” jawab singkat Arga.

“Bagaimana caranya menjadi ibu, Ga? Jadi bapak saja aku belum pernah!” sentak Bagus.

“Sorry, Gus … aku ya tidak paham bagaimana jadi ibu buat anak-anak, lha ibunya anak-anakku selalu  ada di sisi mereka … sorry… sorry …,” ucap ringan Arga. “Baiknya segera saja kamu pikirkan untuk mencari pengganti posisi Nia … Ups! … Maap … tapi serius saranku ini, Gus,” ralat Arga sambil menahan senyum.

Bagus seorang laki-laki yang dikaruniai wajah yang membuat banyak perempuan terkesima. Seorang laki-laki pekerja keras, penuh kharisma, berhati lembut, dan mudah tersentuh. Jika mau, hal yang mudah bagi Bagus untuk mencari pengganti istrinya.

“Udahlah, Gus. Kamu ambil cuti lagi saja. Konsentrasi belajar mengasuh anakmu sebentar, mengenalnya dan menyayanginya seribu persen. Sambil kamu tata pikiranmu, Urusan kantor, tenang saja, nanti kendali perusahaan aku pegang sementara  dan kujamin tak ada kudeta, Bro,” saran Arga. “Oh iya, Tyas adik Nia masih di sini?” alih Arga.

“Nggak, Udah balik ketika usia anakku sepekan. Cutinya habis,” jawab Bagus tanpa semangat.

“Nah! Tepat! Saat yang tepat kamu untuk ambil cuti. Tyas bisa dengan ringan tinggalkan sejenak pekerjaannya, hanya untuk keponakannya. Lha kamu? Kamu bapak dari anak itu. Harusnya lebih lagi dalam memberikan perhatian pada anakmu.”

Bagus tampak kembali bersandar dan menopangkan tangannya di lengan kursi. Matanya memandang sahabatnya dengan tajam. Tanpa kata-kata.

“Sudah, segera ambil keputusanmu! Aku mo pulang. Udah malam,” pamit Arga. Kamu juga musti pulang sekarang! Temani anakmu tidur. Besok pagi temani dia menyambut matahari.”

Arga beranjak menuju pintu, meninggalkan Bagus yang tidak juga bangun dari lamunannya. Namun tiba-tiba langkah Arga berhenti, dan kembali mendekati Bagus.

“Pikirkan juga kapan kamu akan melamar Tyas,” ucap Arga dengan mimik serius sambil berlalu meninggalkan Bagus.

“Gila kamu!” seru Bagus.

Arga hanya mengangkat tangan kanannya tanpa berbalik, “Kamu yang akan gila jika tak kau dapatkan Tyas!” serunya.

Bagus masih terpaku di kursinya.Tiba-tiba Bagus bergegas beranjak … melangkah cepat menyusul Arga. “Tunggu!” teriak Bagus.

Arga menghentikan langkahnya. Tak berapa lama dua karib itu tampak berjalan beriringan. Entah apa yang mereka bincangkan. Seribu persen atau “gila”?