PENGANTAR
Metafisika merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang mengkaji tentang “yang ada”. Sebagaimana asal katanya, metafisika berasal dari akar kata Yunani, meta ta physika yang berarti sesudah fisika (hal yang fisik). Sehingga bisa dikatakan bahwa metafisika ini merupakan kajian spekulatif tertinggi karena mengkaji secara komprehensif seluruh realitas yang ada. Metafisika mengkaji seluruh realitas yang ada untuk menemukan hakikat yang ada di balik realitas yang terlihat secara fisik.
Metafisika sendiri sering dikaitkan dengan Aristoteles sebagai pencetus metafisika, namun penamaan metafisika sendiri diberikan oleh Andronikos dari Rhodes ketika ia mengumpulkan keempat belas buku Aristoteles yang membahas tentang pencaharian akan pendasaran atas segala sesuatu yang ada.
Dalam perkembangannya, metafisika terkadang juga dikaitkan dengan teologi padahal sekalipun dalam filsafat ini (teologi naturalis) dibahas mengenai Tuhan namun Tuhan dalam kacamata filsafat merupakan kesimpulan akhir dalam pengkajian metafisis berdasarkan rasio manusia sedangkan dalam teologi, Tuhan merupakan pokok awal pengkajiannya berdasarkan wahyu.
Maka dalam tulisan kali ini, penulis hendak mendalami metafisika ini untuk semakin memahami apa yang dimaksud kajian atas segala sesuatu yang ada dengan mengangkat salah satu fenomena mengenai orang-orang yang memutuskan dirinya untuk tidak lagi mempercayai bahwa Tuhan itu ada (atheis). Penulis berharap dengan tulisan ini penulis mampu memahami keberadaan Tuhan tidak hanya sebagai seorang yang beriman saja melainkan juga mampu didalami secara logis dan dapat diterima.
FENOMENA
Orang-orang Indonesia yang memutuskan atheis
Situs berita daring suara.com yang terbit pada 10/07/2019 melansir berita mengenai orang Indonesia yang memutuskan untuk atheis. Orang-orang yang diwawancarai pun mengakui bahwa mereka tidak lagi mempercayai adanya Tuhan dan bagi mereka agama hanyalah institusi yang melelahkan sehingga mereka menjadi agnostik.
Tina (mungkin nama samaran) menjelaskan bahwa ia memutuskan untuk menjadi atheis berdasarkan kesadaran dan rasionalitasnya selain itu keputusannya menjadi atheis tidak diketahui oleh keluarganya selain mantan suami dan anak tunggalnya (ia terlahir di lingkungan keluarga muslim).
Namun bagi Tina, bagaimanapun fenomena atheis masih tabu di Indonesia sehingga ia dan rekan-rekan atheis kerap mendapat anggapan miring terkait status mereka. Sehingga ia maupun rekan-rekannya yang terkumpul dalam organisasi akan menyeleksi secara keras bagi orang-orang atheis baru agar semakin berhati-hati.
Berbeda halnya dengan Shinte Galeshka seorang agnostik yang tinggal di Jakarta. Ia terlahir di keluarga Katolik namun memutuskan agnostik setelah ia tidak puas dengan dogma-dogma Katolik: “Sudah tak lagi masalah buat saya, karena praktiknya, ada pula orang beragama tapi bisa mudah membunuh orang lain atas nama Tuhannya.
Ada juga orang yang beragama dan berbuat baik. Maka, ada juga orang ateis atau agnostik yang seperti itu. Soal Tuhan? Saya mengakui tak tahu,” tuturnya. Sekalipun ia adalah sarjana komputer di Universitas Gunadarma, ia juga turut aktif dalam organisasi yang membela kaum marginal karena baginya pengetahuan juga berasal dari situasi tersebut.
Curahan hati seorang atheis
Selain kedua wanita di atas, hal senada juga disampaikan oleh seorang pria yang termuat dalam situs idntimes.com yang diterbitkan pada 17/05/2020. Ia bernama Rais Saputra, seorang pegiat HAM asal Solo. Dalam live instagram bersama akun ig @KabarSejuk2008 ia bercerita mengenai awal keputusannya menjadi seorang atheis.
Bagi dia agama seperti partai politik di mana setiap orang dikumpulkan dan ditundukkan dalam satu ideologi, cita-cita, pemikiran yang sama. Pergumulannya dimulai setelah ia lulus dari Pesantren tempat ia mengenyam pendidikan kala masih muda. Ia mulai bertanya mengenai eksistensi Allah setelah mendapatkan bahwa baginya pengetahuan tentang Allah itu paradoks dan sulit diterima oleh akal.
Pada akhirnya pergumulannya pun terjawab ketika ia masuk ke dalam lingkungan sains. Baginya sains memberikan penjelasan yang mudah untuk dipahami oleh akal manusia dan di dalam sains. Ia juga menceritakan bahwa awal dirinya menjadi atheis pun tidak mudah karena harus bersitegang dengan lingkungan keluarga, teman, namun ia tetap berpegang pada pendiriannya.
Dalam salah satu caption instagramnya, Rais mengatakan bahwa atheis mempercayai bahwa Tuhan ada sebagai konsep sehingga ia mengatakan, “Saya sebagai atheis dari awal memang berpikir ‘tidak percaya bahwa ada Tuhan’, bukannya ‘percaya bahwa tidak ada Tuhan’, begitu logikanya.”
Tuhan dalam pandangan orang jenius
Jika Rais Saputra menyatakan kecintaannya terhadap sains yang mampu mengatasi persoalannya terhadap Tuhan, maka dalam situs cnnindonesia.com yang diterbitkan pada 20/10/2014 dimuat pandangan orang jenius mengenai Tuhan yang diwakilkan oleh Stephen Hawking berdasarkan informasi yang telah dikumpulkan oleh cnnindonesia.com.
Dijelaskan bahwa Stephen Hawking sebagai orang jenius mendeklarasikan dirinya sebagai seorang atheis dan menjadi buah bibir masyarakat dunia. Ia kemudian mencetuskan argumen melawan keberadaan Tuhan yang secara singkat menjelaskan bahwa baginya Allah maupun dewa hanya representasi ketidaktahuan manusia terkait fenomena alam yang terjadi, sehingga sebutan untuk mukjizat tidak ada selain hukum-hukum alam yang tak terbantahkan yang kemudian menjelaskan jika keberadaan alam semesta terjadi karena gaya gravitasi terhadap dirinya sendiri.
Argumennya pun mendapat banyak kecaman terutama dari pihak agamawan, “Fisika tidak bisa begitu saja menciptakan sesuatu dari kehampaan,” ujar Uskup Agung Canterbury, Dr. Rowan Williams kepada CNN begitu juga Ibrahim Morgan selaku perwakilan dari Majelis Muslim Inggris yang menolak argumen Stephen Hawking tersebut.
KEBERADAAN TUHAN
Permasalahan tentang keberadaan Tuhan terkadang masih sering terdengun sekalipun kehidupan manusia bisa dikatakan tidak jauh dari kehidupan agamanya atau apapun yang membuat manusia yakin akan adanya entitas yang lebih tinggi dan mahakuasa dari segala entitas yang ada dan terkait satu dengan yang lain.
Entitas yang tinggi dan mahakuasa itulah yang kemudian dikenal dengan nama Tuhan sebagai entitas yang sempurna dan karena sempurna Ia bersifat positif karena keberadaan-Nya adalah satu, indah, baik, dan benar, karena mampu dicapai oleh akal budi manusia.
Jika Tuhan disebut sebagai entitas yang sempurna dan positif karena Ia satu, indah, baik, dan benar sehingga mampu dicapai oleh akal budi manusia, maka Tuhan dalam pembahasan metafisisnya adalah pengada dan terkhusus Tuhan adalah pengada (ens) yang mengada-Nya (esse) adalah pengada (ens) itu sendiri karena Tuhan adalah satu dan Ia adalah indah, baik, dan benar.
ketika pemahaman akan keberadaan Tuhan akan semakin terjangkau secara filosofis jika benar-benar dikaitkan dengan pengalaman sebagai titik tolak pemahaman akan eksistensi Tuhan dan bagi John Dewey yang dikutip oleh Kattsoff, agama adalah kenyataan empiris manusia sebagai usaha memahami eksistensi Tuhan dalam penghayataan dalam hidup manusia.
Banyak pemikir yang sekiranya berusaha mencari pemahaman mengenai eksistensi Tuhan tersebut dan yang menjadi inspirasi bagi John Dewey yakni Anselmus maupun Thomas Aquinas menyatakan hal yang sama bahwa pemahaman atau ide tentang Tuhan bukanlah suatu pengetahuan yang sudah melekat pada diri manusia sejak keberadaannya melainkan Tuhan perlu dicari melalui “jalan kerinduan akan kebahagiaan sejauh sebagai pengalaman akan Tuhan.
Bagi Thomas Aquinas, keberadaaan Tuhan tidak mampu dicapai oleh manusia secara langsung mengingat keterbatasan intelek manusia namun manusia mampu menangkap “jejak” keberadaan Tuhan melalui pengalaman yang sifat universal sebagai suatu akibat-akibat dari penyebab (a posteriori). Sebab Thomas menyadari bahwa manusia adalah makhluk intelek yang berwujud (badan) sehingga kemampuannya teraktualisasi dalam pengalaman inderawi.
Maka Thomas Aquinas memberikan argumen dalam karyanya yang berjudul Summa Theologiae yang menekankan bukti-bukti keberadaan Tuhan yang disebut quinque via (lima jalan) di mana Thomas Aquinas hendak membuktikan keberadaan Allah melalui gejala-gejala inderawi sebagai jawaban atas keterbatasan intelek manusia untuk melakukan “loncatan” pada pemahaman yang lebih transendental, jalan-jalan yang saling berhubungan tersebut, antara lain:
Jalan pertama, Thomas Aquinas menyatakan bahwa bukti yang paling nyata dari keberadaan Allah adalah gerak (motus). Baginya segala sesuatu yang ada itu bergerak atau berubah karena digerakkan atau diubah oleh yang lain sehingga pada jalan pertama ini menyiratkan konsep potensia-aktus sebagai pendasaran logis dan gerak yang menggerakkan ini akan terus bergerak hingga tak berhingga. Maka konsekuensi yang patut diterima ialah adanya penggerak awal yang tidak digerakkan dan sebagai yang menggerakkan dan adanya itu adalah Tuhan.
Jalan kedua, berpusat pada bukti bahwa segala sesuatu yang ada memiliki sebab-akibat pada keberadaannya di mana segala sesuatu menjadi sebab dari keberadaan yang lain sebagai akibat dari sebab tersebut (ex ratione causae efficiens). Hal yang menjadi pembahasan dalam jalan kedua ini ialah bahwa tidak ada sesuatu yang menjadi menyebabkan dirinya sendiri – tidak ada yang memulai dari ketiadaan.
Sehingga dalam jalan kedua ini hendak menegaskan keterarahan sebab menuju pada dasar berada (causa essendi) dan sebab terhadap keberadaan lain. Maka konsekuensi dari jalan kedua ini ialah adanya penyebab (efficient) awal yang menyebabkan namun keberadaannya tidak disebabkan yang bagi Thomas Aquinas adalah Allah.
Jalan ketiga, argumen mengenai kemungkinan dan keniscayaan (ex possibilio et necessario). Kemungkinan dan keniscayaan ini dilihat dari gejala inderawi bahwa segala sesuatu bisa ada dan bisa tidak ada, bisa lahir dan bisa mati sehingga bagi Thomas Aquinas segala yang ada di dunia ini penuh dengan kemungkinan dan keniscayaan.
Sehingga jika segala sesuatu berangkat dari keniscayaan maka bisa jadi mungkin ada saat di mana segala sesuatu tidak ada. Tetapi hal keniscayaan juga menerangkan mengenai keberadaan bahwa jika adanya segala sesuatu merupakan kemungkian “ada” dari adanya sesuatu yang mengadakan maka ia menjadi kemungkinan “ada” bagi dirinya sendiri tanpa ada yang menyebabkan keber-adaan-nya, yakni Tuhan sebagai keniscayaan mutlak.
Jalan keempat, argumen mengenai tingkatan derajat-derajat kualitas dalam objek-objek (ex gradibus qui in rebus inveniuntur). Jalan ini hendak menekankan bahwa ada sesuatu “yang lebih baik” dan ada “yang kurang baik”, ada pula “yang indah” dan ada “yang kurang indah” sebagaimana dalam pengalaman inderawi manusia.
Karena terdapat dalam pengalaman inderawi manusia, bisa dikatakan bahwa kesempurnaan sebagai kualitas derajat antara objek tidaklah sama. Namun kesempurnaan yang dimaksud bukan merupakan suatu hal yang konseptual layaknya kodrat dari segala sesuatu yang ada sehingga bagaimanapun derajat kesempurnaan antara objek tidak mempengaruhi kodrat masing-masing.
Maka kesempurnaan derajat ini hanyalah aksidens bagi kesempurnaan sejati di mana mereka berpartisipasi dalam kesempurnaan sejati kecuali kodrat kesempurnaan sejati. Dan jelas bahwa kesempurnaan sejati menempati derajat “paling tertinggi” dari segala sesuatu yang berderajat dan tingkatan “paling tinggi” tersebut ialah Tuhan.
Jalan kelima, argumen bahwa segala sesuatu sudah terarah dan terselenggara dengan baik (ex gubernatione rerum). Dalam jalan ini, Thomas Aquinas menjelaskan bahwa segala ciptaan yang tak berakal budi memiliki keterarahan yang jelas dalam mencapai suatu tujuan dan keterarahan tersebut bukanlah suatu kebetulan dari keberadaan mereka.
Keterarahan pada tujuan tersebut ialah (jelas) kepada yang mutlak jika konsekuensi logis bahwa bukti tersebut ialah eksistensi Tuhan sebagai tujuan dari keterarahan yang tidak kebetulan tersebut.
Maka bisa dikatakan bahwa Tuhan yang menetapkan keterarahan tersebut karena Ia-lah pengetahuan dan Penyelenggara Tertinggi yang mengarahkan ciptaannya yang tidak berakal budi. Bukan berarti manusia yang berakal budi tidak termasuk dalam keterarahan Tuhan, manusia justru menyadari keterarahan tersebut karena manusia makhluk berakal budi.
Menilik teman Atheis: Refleksi Filosofis atas Keberadaan Tuhan
Perbincangan mengenai keberadaan Tuhan kerap menjadi topik yang tidak berhenti untuk dibicarakan sekaligus tidak pernah menemukan solusi yang dapat menengahi perbincangan mengenai Tuhan dan eksistensi-Nya tersebut. Tidak jarang dampak dari pergumulan mengenai Tuhan ini mempengaruhi paradigma manusia terkhusus di Indonesia mengenai isu-isu agama maupun Tuhan.
Ada yang menganggap bahwa pembahasan tersebut tidak relevan untuk dibawa ke ranah publik namun di sisi lain ada yang menganggap bahwa pembahasan tersebut menjadi semacam inspirasi bagi mereka dan tidak sedikit dari masyarakat yang akhirnya menanggalkan keyakinan mereka akan Tuhan karena tidak sanggup untuk menerima situasi pergumulan mengenai Tuhan (terutama dalam diri mereka).
Melaui fenomena yang penulis angkat dan pemahaman terkait materi yang telah disampaikan, penulis semakin memahami bahwa keputusan rasionalitas dan secara sadar bu Tina, kak Shinte Galeshka, mas Rais Saputra, dan si jenius Stephen Hawking untuk tidak lagi percaya ada Tuhan dan menganggap bahwa agama hanya sekadar lembaga institusional menunjukkan keterbatasan intelek manusia yang ‘mungkin’ memaksa memahami entitas tertinggi secara langsung (a priori).
Padahal jika melihat kembali, Anselmus maupun Thomas Aquinas justru menyadari keterbatasan intelek manusia dalam memahami keberadaan Tuhan jika dilaksanakan secara langsung sehingga mereka menyarankan agar manusia “mencari jalan kerinduan” akan Tuhan sebagai kebahagiaan sejati.
Selain itu para atheist mungkin tidak menyadari bahwa alasan mereka menolak adanya Tuhan atau menganggap Tuhan hanya sebagai konsep justru hal tersebut menjelaskan secara inplisit bahwa Tuhan itu ada dan dipahami oleh akal budi manusia.
Tuhan yang transenden sekaligus imanen karena seperti halnya telah dijelaskan bahwa Allah memenuhi konsep jiwa intelektual, yakni satu, indah, baik, dan benar yang tidak lain dan tidak bukan adalah Allah itu sendiri sehingga dapat dipahami “ada”-Nya melalui akal budi manusia.
Dan hal inilah yang kemudian menginspirasi John Dewey yang akhirnya beranggapan bahwa agama adalah kenyataan yang bersifat empiris di mana keberadaan agama-agama di dunia menjelaskan bahwa manusia yang memiliki pengalaman kerinduan untuk kembali pada yang Mutlak yang adalah Tuhan.
Sehingga pemahaman akan keberadaan Tuhan tidak serta merta muncul begitu saja dari akal budi manusia melainkan melalui pengalaman sehari-hari manusia (a posteriori) yang kemudian dihayati sebagai kerinduan manusia akan yang Mutlak (religiusitas) tersebut sehingga peran agama adalah mengokohkan pengahayatan manusia dalam hidup sehari-hari sebagai kerinduan akan kembali pada Tuhan agar religiusitas manusia tidak tumpul dan akhirnya lenyap seperti yang terjadi pada mereka yang memutuskan atheis.
Lima jalan bukti keberadaan Tuhan milik Thomas Aquinas seharusnya membantu manusia untuk semakin memahami keberadaan Tuhan yang tidak hanya berdasarkan iman juga dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan sadar. Lima jalan Thomas Aquinas mengindikasikan bahwa pengalaman-pengalaman inderawi manusia adalah “jejak-jejak” keberadaan Tuhan yang dengan akal budi manusia tangkap sebagaimana adanya.
Seperti halnya si jenius Stephen Hawking yang menjelaskan bahwa keberadaan alam semesta disebabkan oleh gaya gravitas; kita masih bisa mempertanyakan lagi berdasarkan lima jalan Thomas Aquinas: “apa yang menyebabkan gravitasi tersebut ada? Karena pasti ada yang menyebabkan gravitasi tersebut atau keputusan dari bu Tina yang tidak percaya ada Tuhan: kita masih bisa membalik hal tersebut jika keputusan bu Tina adalah suatu kemungkinan bahwa ia tidak percaya akan adanya Tuhan.
Maka tentu kemungkinan ada yang menyebabkan bu Tina sampai memutuskan demikian, yakni kemungkinan bahwa Tuhan itu ada dan kak Shinte Galeshka yang hanya berhenti pada keterbatasan intelek manusia dalam menanggapi Tuhan sebagai entitas transendental padahal keberadaan Tuhan yang transendental sekaligus imanen mampu dipahami oleh akal budi manusia menandakan bahwa manusia memang terbatas secara intelek maka dengan intelek manusia harus berusaha mencari jalan menuju pada Tuhan sebagaimana keberadaan Tuhan yang mampu dipahami oleh akal budi manusia termasuk juga bagi mas Rais Saputra.
Seperti yang dijelaskan oleh Thomas Aquinas bahwa Tuhan sebagai pengada (ens) yang mengada (esse)-Nya adalah ens itu sendiri maka ketika pemahaman pengada kita dalami dalam konsep jiwa intelektual, maka Tuhan sebagai pengada adalah utuh dan di dalam keutuhan-Nya, Tuhan itu baik, indah dan benar yang sempurna sehingga menjelaskan secara singkat bahwa sekalipun derajat Tuhan “paling tinggi” dari segala substansi yang ada (termasuk manusia) dan menjadi Penyelenggara tertinggi yang mengarahkan segala ciptaannya pada Diri-Nya sendiri.
Manusia sebagai makhluk berakal budi menyadari bahwa keberadaan Tuhan dan keterarahan-Nya yang tertuju pada Diri-Nya dan hal inilah yang dimaksud dalam pengetahuan a posteriori dalam memahami bukti keberadaan Tuhan sebagai religiusitas manusia dan agama landasan yang menguatkan kerinduan manusia untuk kembali kepada Tuhan dan bukan sekadar institusi semata.
KESIMPULAN
Pada akhirnya pemahaman akan keberadaan Tuhan mengajak manusia untuk semakin membuka kesadaran akan fenomena-fenomena inderawi sebagai “jejak” keberadaan Tuhan. Melalui tulisan ini, penulis semakin memahami bahwa manusia memiliki kapasitas untuk memahami keberadaan Tuhan hanya bagaimana manusia mampu menemukan jalan untuk sampai pada pemahaman seperti itu?
Sepertinya agama bisa menjadi jawaban sejauh agama tersebut membantu manusia untuk semakin menghayati nilai transendental dalam pengalaman sehari-hari manusia dan bukan menghalangi manusia untuk menghayati religiusitasnya karena di situlah manusia mampu menanggapi kerinduannya akan Tuhan melalui terang akal dan iman.
Melalui tulisan ini, pendalaman penulis semakin ditambahkan bahwa keberadaan Tuhan transendental yang hanya mampu untuk diyakini saja ternyata bisa perlahan-lahan dipahami dan dipertanggungjawabkan secara rasional.
Kiranya para atheist tidak percaya adanya Tuhan, namun bukankah demikian ia justru menunjukkan bahwa Tuhan sendiri ada dan dapat dipahami dengan akal manusia – mereka bukannya tidak percaya, hanya masih berusaha menjawab kerinduan mereka akan Tuhan.