Wajahnya berseri. Jas almamater masih membalut tubuhnya. Naskah proposal skripsi di tangan kanan, makanan-makanan ringan yang dirangkai seperti buket bunga di tangan kiri. “Semprotulation!” seru teman-temannya kala berfoto bersama. Foto yang akan menghiasi lini masa dan status sosial media dengan keterangan (caption) yang sama: semprotulation.
Bukan cuma buket makanan ringan. Mahasiswa yang baru selesai menyelesaikan prosesi seminar proposal skripsi itu juga mendapat banyak hadiah. Dari baju, balon-balon, hingga boneka beruang yang memakai topi wisuda. Itulah bentuk perayaan atas keberhasilannya melewati satu tahapan menuju gelar sarjana.
“Semprotulation” adalah istilah bentukan baru yang menggambarkan tradisi baru di kalangan mahasiswa S1 masa kini. Ungkapan itu merupakan gabungan dari “sempro”, kependekan dari “seminar proposal” dan “tulation”, potongan dari kata “congratulation”. Jadi Semprotulation awalnya adalah semacam ucapan selamat kepada sesiapa mahasiswa yang baru menyelesaikan seminar proposal skripsi.
Ungkapan itu juga bisa digunakan untuk menyebut tradisi yang hadir di kalangan mahasiswa generasi Z. Merekalah yang mencetuskan istilah tersebut. Tahun 2013 ketika baru lulus kuliah S2 saya belum menemukan tradisi Semprotulation di kalangan mahasiswa S1, setidaknya di lingkungan kampus saya. Jadi bolehlah saya katakan tradisi itu miliki generasi Z.
Bagi generasi sebelum mereka, Semprotulation mungkin akan terlihat asing dan terkesan aneh atau mungkin pula berlebihan. Sebab, ketika masih kuliah S1 tidak ada perayaan semacam itu.
Perayaan hanya akan dilakukan ketika sudah wisuda atau baru dinyatakan lulus kuliah lewat sidang skripsi – itupun cuma makan-makan di kantin kampus. Toh, seminar proposal hanyalah satu tahapan kecil yang disusul dengan beban yang lebih berat: meneliti dan menulis skripsi.
Namun bagi mahasiswa generasi Z, keberhasilan mempertahankan proposal penelitian adalah suatu pencapaian tersendiri. Setiap pencapaian melahirkan kenikmatan dan kegembiraan.
Emosi inilah yang juga dirasakan mereka yang lulus ujian skripsi, berulang tahun, juara kompetisi olahraga, mereka yang merayakan hari raya keagamaan atau menikah dengan kekasih yang sudah lama didamba.
Perayaan Semprotulation di kalangan mahasiswa generasi Z dapat kita lihat dari perspektif demikian. Josef Pieper (1904-1997), seorang filosof abad ke-20, dalam bukunya In Tune with the World: A Theory of Festivity (1965), menegaskan bahwa orang merayakan sesuatu karena realitas yang ia alami secara eksistensial adalah baik.
Pieper menulis: “For man cannot have the experience of receiving what is loved, unless the world and existence as a whole represent something good and therefore beloved to him”, seseorang tidak bisa memiliki pengalaman menerima apa yang cintai, kecuali dunia dan eksistensi sebagai suatu keseluruhan menghadirkan sesuatu yang baik dan karena itu menjadi kecintaannya (h. 20).
Sampai di sini kita bisa memahami bahwa menyelesaikan seminar proposal skripsi berarti melewati satu tahapan untuk menjadi sarjana. Bagi setiap mahasiswa, menjadi sarjana adalah keseluruhan eksistensinya dan seminar proposal skripsi merupakan salah satu potongan yang akan memenuhi eksistensinya itu. Ekspresi kebahagiaan lewat Semprotulation, karena itu, menjadi respon yang wajar.
Namun “sesuatu yang baik” itu tidak terbatas pada realitas yang memang baik pada dirinya, melainkan juga realitas yang dianggap baik. Yang terakhir ini Pieper contohkan dengan mengutip Albert Camus ketika mendiskusikan tokoh Sisyphus dalam mitologi Yunani.
Ceritanya Sisyphus mengecoh para dewa, khususnya dewa kematian, Hades. Karena kejahatannya ia mendapat hukuman menggelindingkan batu ke puncak gunung. Tentu saja itu adalah tugas yang konyol lagi sia-sia. Setiap kali melakukannya, Sisyphus hanya menyaksikan batu itu menggelinding jatuh ke bawah.
Namun Sisyphus berhasil mengubah paradigmanya terhadap usaha itu. Ia melihatnya sebagai suatu kesenangan, sampai akhirnya ia menikmati setiap gelindingan batu yang jatuh setiap kali ia mendorongnya ke atas. Sisyphus berhasil meyakinkan dirinya bahwa ia bahagia.
Mahasiswa yang merayakan Semprotulation mungkin tidak sepenuhnya mengalami bahwa seminar proposal itu menyenangkan. Membuat proposal skripsi dan mempertahankannya dalam seminar justru merupakan beban. Tapi ketika seminar selesai, realitas yang tidak menyenangkan itu berganti menjadi kebahagiaan, sekalipun karena lepas dari beban.
Sebenarnya sudah sejak dulu, menulis skripsi, mulai dari proposalnya, dirasa banyak mahasiswa layaknya memikul batu besar ke puncak gunung. Seorang kawan mahasiswa mengatakan ia rela melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama 6 bulan atau setahun penuh asalkan tidak mengerjakan skripsi – “seperti di al-Azhar Kairo”, katanya.
Tingkat literasi bangsa kita yang menurut beberapa riset memang rendah boleh jadi menjadi suatu faktor dalam masalah ini. Terlebih media sosial yang telah menjadi dunia kita kini telah begitu mengikis kesadaran literasi kita.
Namun yang patut menjadi renungan adalah: sudahkah pihak pendidik dan pengelola pendidikan – dari pemerintah sampai para dosen dan guru berupaya optimal dalam meningkatkan literasi generasi penerusnya? Sudahkah para pendidik memberikan bimbingan yang ikhlas dan penuh tanggungjawab bagi para mahasiswa dalam membuat karya ilmiah?
Secara keseluruhan: sudahkah pihak perguruan tinggi membentuk iklim belajar, bukan sekedar memenuhi beban administratif dan akreditasi di lingkungan kampusnya? Sudahkah pendidik berupaya keras menumbuhkan – seperti kata Ali bin Abi Thalib – sifat hirsh (rakus) terhadap ilmu pengetahuan, baik dalam dirinya maupun dalam jiwa para pelajar dan mahasiswa?
Kehadiran tradisi semprotulation dapat dibaca sebagai penanda pembebasan diri dari beban yang menekan. Meski tidak sepenuhnya sama, semprotulation tampak sepadan dengan aksi konvoi di jalanan dan corat-coret baju para siswa SMA yang baru mengetahui kelulusan mereka.
Dalam perayaan keterbebasan itulah para mahasiswa menemukan kebahagiaan mereka. Kebahagiaan (joy) menjadi dasar dari segala perayaan yang Pieper sebut sebagai “kekayaan eksistensial” (Pieper, 1965: 15). Seseorang yang kaya adalah yang menemukan kebahagiaan sekalipun dalam momen-momen kecil, momen yang membuatnya mencintai kehidupan.[]