Menjelang Indonesia Emas Tahun 2045, SDM yang mumpuni sangat diperlukan. Literasi merupakan sarana menuju ke arah sana. Sayangnya angka literasi Indonesia masih termasuk rendah. Padahal literasi dapat menjadi modal manusia dalam pembangunan ekonomi.

Kita selama ini hanya memperhitungkan angka melek huruf (AMH) yang sudah tinggi. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) AMH penduduk Indonesia usia 15-59 tahun adalah 98,44 persen. Yang tertinggi adalah DKI Jakarta (99,94 persen) dan terendah adalah Papua (79,04 persen).

Padahal, berdasarkan survei Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, literasi Indonesia menempati peringkat ke 62 dari 70 negara, atau merupakan 10 negara terbawah.

Menurut Unesco, kemampuan literasi merupakan hak setiap orang. Bahkan tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) poin 4.6 menyatakan bahwa pada tahun 2030, semua remaja dan proporsi kelompok dewasa tertentu, harus memiliki kemampuan literasi.

Oleh karena itu pemerintah menetapkan “Peta Jalan Pembudayaan Literasi Nasional” yakni Pembudayaan Literasi Keluarga, Pembudayaan Literasi Sekolah, Pembudayaan Literasi Perguruan Tinggi, dan Pembudayaan Literasi Masyarakat. Semuanya berbasis buku/kertas.

Pembudayaan Literasi Keluarga 

Bersumber dari BPS, persentase Penduduk Berumur 10 tahun ke Atas yang Membaca Surat Kabar/Majalah tahun 2018 adalah 14,92 persen, padahal pada tahun 2012 angka ini mencapai 18,76 persen. Terjadi penurunan minat baca padahal membaca adalah jendela pengetahuan.

Kemendikbud sendiri sangat mendorong literasi keluarga ini, diantaranya dengan program kiprah bunda dalam literasi keluarga, program perpustakaan keluarga, dan program PAUD sebagai wahana literasi anak. Selain itu, diperlukan harmonisasi anggota keluarga dalam prosesnya.

Pembudayaan Literasi Sekolah

BPS merilis bahwa Persentase Penduduk Berumur 10 tahun ke Atas yang Membaca Buku Pelajaran ataupun buku pengatahuan Tahun 2012 adalah 34,57 persen. Padahal Angka Partisipasi Sekolah (APS) jauh di atasnya.

Menurut BPS, APS SD/sederajat di Indonesia adalah 99,19 persen, SLTP/sederajat adalah 95,99 persen dan SLTA/sederajat 73,09 persen. Artinya siswa sekolah tidak terbiasa untuk membaca buku pelajaran.

Kemendikbud menyarakankan Literasi dapat dibangun dengan memajang karya siswa di seluruh area sekolah, membuat Sudut Baca, menyelenggarakan perlombaan membaca/menulis/bercerita dan juga mengalokasi waktu membaca sebelum pelajaran.

Pembudayaan Literasi Masyarakat

Data BPS menyatakan bahwa Persentase Penduduk Berumur 10 tahun ke Atas yang Membaca Buku Cerita/Lainnya Tahun 2012 adalah 22,04 persen. Angka ini juga terbilang rendah, padahal membaca buku cerita merupakan hal yang sangat menyenangkan.

Kemendikbud telah mendukung dengan membentuk Kampung Literasi, Taman Bacaan Masyarakat (TBM), program donasi buku lewat daring, dan menetapkan tanggal 17 adalah hari gratis biaya pengiriman buku melalui kantor pos di manapun. Tapi tidak juga berdampak.

Solusi

Selain literasi baca-tulis-hitung, World Economic Forum menyatakan bahwa pada era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 ini juga diperlukan literasi finansial, literasi sains, literasi budaya kewarganegaraan, serta literasi TIK atau digital.

Tanggal 10 Agustus diperingati sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional. BPS merilis IP-TIK (Indeks Pembangunan Teknologi Informasi Komunikasi) Indonesia Tahun 2020 sebesar 5,59 dari skala 0-10, yaitu kategori sedang. Ini merupakan potensi pengembangan literasi.

Pembudayaan literasi oleh mendikbud sebagai perpanjangan dari pemerintah di atas bersifat konvensional. Artinya tidak melibatkan digital di dalamnya. Padahal generasi muda kini sangat terkait erat dengan dunia digital. Buku tercetak merupakan hal yang kuno dan membosankan.

Menurut BPS, proporsi penduduk usia 15-59 tahun yang memiliki keterampilan TIK di Indonesia Tahun 2021 adalah sebesar 70,17 persen. Bila dilihat berdasarkan provinsi maka tertinggi di DKI Jakarta (91.79 persen) dan terendah di Papua (30,58 persen).

Oleh karena itu, angka literasi dapat ditingkatkan melalui TIK ini. Kawula muda yang terbiasa bermain game ataupun menonton di perangkat komunikasinya, agar diarahkan untuk membaca berita atau pengetahuan. Dapat juga diadakan lomba menulis secara virtual.

Sayangnya, pada tahun 2020, BPS merilis bahwa di Indonesia, masih terdapat 5.705 (6,80 persen) desa yang tidak memiliki sinyal dan 17.281 desa (20,60 persen) yang memiliki sinyal lemah. Ini merupakan PR pemerintah dalam rangka inklusi digital di Indonesia.

Pembudayaan Literasi Perguruan Tinggi

Khusus untuk literasi di dunia kampus tentu saja tidak hanya sekedar membaca dan menulis. Diharapkan akan tercipta penelitian yang sangat dibutuhkan dalam percepatan perekonomian bangsa. Riset dan pengembangan diharapkan lahir dari generasi muda penerus bangsa ini.

Penelitian dan kajian dari para akademisi ini tentu saja membutuhkan data. Oleh karena itu, BPS membangun rumah data di kampus-kampus yang diberi nama Pojok Statistik. Diharapkan lliterasi dan pemanfaatan statistik di lingkungan Perguruan Tinggi meningkat.

Pelayanan dalam pojok statistik selain melingkupi publikasi/data juga berupa konsultasi teknis pendataan dan juga bimbingan/workshop tentang pendataan. Pada pojok statistik ini permintaan data tidak akan dipungut biaya alias gratis.

Selain Pojok Statistik yang berada di lokasi kampus sehingga terjangkau oleh mahasiswa dan kalangan akademisi, BPS juga membangun Pojok Statistik Virtual. Diharapkan hal ini dapat memberikan pelayanan prima untuk generasi muda harapan bangsa.

Semoga keterampilan TIK masyarakat Indonesia yang cukup tinggi dapat mendukung minat baca secara digital di Indonesia untuk menyongsong generasi emas 2045. Selain itu, penyediaan pojok statistik dapat membangun semangat R&D di Indonesia.