Malam, langit bumi sasak tanpa taburan bintang, purnama bersembunyi dibalik gumpalan awan tebal seiring dengan itu, suara-suara intelektual sedang sibuk membacakan puisinya.
Di atas panggung sederhana, mereka berteriak lantang tidak ada beban ataupun rasa takut layaknya para orang dulu ketika Portugis, Belanda, dan Jepang merobek jantung Nusantara.
Sekumpulan pemuda yang ingin memelihara semangat juang para pahlawan kemerdekaan, mereka menggelar panggung puisi, orasi ilmiah serta nobar (nonton bareng) detik-detik proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia sebagai tanda kemerdekaan telah kita genggam, kita rebut dengan pertumbuhan darah bukan karena empati mereka, bukan pula hadiah ataupun di kasih cuma-cuma.
Oleh Karena itu, perhelatan kemerdekaan harus menggema ke sendi-sendi kehidupan rakyat lalu semangat persatuan sebagai senjata utama untuk merebut kemerdekaan selalu tertanam dalam jiwa-jiwa rakyat.
Mereka adalah pemuda yang tergabung dari Kampung Baca, HIMABA, dan KKP UIN Mataram untuk menggelar "Panggung Rakyat" sebagai pemupukan semangat juang kemerdekaan Republik Indonesia. Usia 77 bagai suatu bangsa adalah bukan umur yang tua, jadi tidak etik bila semangat juang rakyatnya terkikis.
Sebab tugas hari ini lebih berat karena musuh bukan lagi negara luar melainkan kebodohan, kemiskinan, kebobrokan moral, serta mafia yang berkedok suci.
Di lain waktu siswa-siswi SD/MI, SMP/MTS, dan SMA/MA berjalan indah di sepanjang jalan diiringi bunyi peluit yang berirama "kiri-kanan, Kiri-kanan, Kiri-kanan" dengan beraneka ragam kostum yang berwarna merah dan putih, sesekali mereka menampilkan kecakapan berbaris dengan formasi indah. Hal ini, orang Kampung menyebutnya dengan " Gerak Jalan". Lomba yang selalu ada dalam perhelatan kemerdekaan Republik Indonesia.
Tidak hanya itu, di hari yang berbeda dari anak-anak, pemuda/pemudi, dan orang tua dari berbagai kalangan mereka beriringan menghiasi sepanjang jalan Senggigi Batulayar, mereka berpakaian seunik mungkin ada yang berpakaian adat sasak, mengenakan kostum polisi, TNI, pilot, Petani ada juga yang pakai kostum hantu. Dan ini kata orang kampung adalah "Pawai Agustusan". Setiap tahun selalu menghiasi penyelenggaraan 17 Agustusan.
Sedangkan di pelosok-pelosok negeri sampai dusun-dusun pergelaran HUT Republik Indonesia mereka hiasi dengan Panjat Pinang, lomba makan kerupuk, tarik tambang, balap karung, dan masukkan paku ke dalam botol. Menjadi hiburan tersendiri bagi rakyat pelosok dalam euforia kemerdekaan Indonesia.
Di tempat lain pada malam 16 Agustus, sekelompok pemuda yang terkumpul dalam Lembaga Kajian Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam), menggelar kajian buku yang berjudul " GEGER, Gerakan 30 September 1965, Rakyat NTB Melawan Bahaya Merah" karya Fathurrahman Zakaria.
Karena mengangkat buku GEGER, banyak yang bertanya apa kolerasinya 17 Agustus dengan gerakan 30 September? Apa seharusnya diadakan pada bulan September saja! Kan nyambung?.
"Sebentar lagi, hanya hitungan jam kita akan menyambut hari kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus. Kami ingin sampaikan kepada para pemuda/pemudi di seluruh Indonesia terutama yang hadir di tempat ini, bahwa kajian gerakan 30 September ini, sebagai sebuah tanda peringatan kita, meski proklamasi kemerdekaan telah kita genggam dan gemakan pada 17 Agustus, namun ancaman setelah kemerdekaan itu ialah lebih berat dan butuh pengorbanan serta perjuangan yang lebih besar karena musuh kita bukan lagi kolonial namun orang kita sendiri, kebodohan, kemiskinan sehingga untuk mewujudkan negara yang benar-benar berdaulat adil dan makmur, mewujudkan negara yang berlandaskan kemasyarakatan. Kita harus lihat ancaman yang akan datang". Ungkapan dari seorang penyelenggara kajian tersebut. Kalu Soekarno kata " Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri".
Para pejuang telah mengantarkan negeri ini merebut kemerdekaan sebagai keinginan luhur masyarakat Nusantara. 350 Tahun kita telah di jajah Portugis, Belanda, Jepang silih berganti sebagai tuan. Mencuri kekayaan alam, di tembak bagi yang berani, kerja rodi menjadi keharusan rakyat. Begitulah sedikit gambaran ketika kemerdekaan belum ada di genggaman pejuang.
Untuk kita hari ini, sebagai generasi penerus bangsa, sebagai perawat dan penjaga kemerdekaan sekaligus untuk mewujudkan negara maju, adil dan makmur mari kita renungkan ucapan sang proklamator kemerdekaan Republik Indonesia Soekarno " manakala suatu bangsa sudah sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masuk untuk kemerdekaan". Karena tugas hari ini lebih berat, sulit dari mengusir penjajah.
Jangan sampai euforia 17 Agustus hari ini, membuat kita terlena lalu lalai terhadap tanggung jawab besar sehingga menjadikan kita lupa pengorbanan darah, perjuangan besar para pahlawan mempertahankan negeri ini.
Jangan sampai kita mengaku menjaga, berkorban tapi diri sendiri yang merusak bangsa. Jangan sampai mengaku peduli pada akhirnya menghancurkan negara sendiri.
Karena orang yang berpikir kepada bangsanya di tengah euforia rakyat dia keluar dari euforia untuk merenungi apa yang akan dilakukan untuk mempertahankan kedaulatan bangsa, untuk mewujudkan negara yang maju adil dan makmur di tengah gempuran bermacam badai. Di mana perubahan itu, dimulai dari diri sendiri.