Musim hujan telah tiba. Setiap malam hujan datang dengan sendirinya. Namun, terasa perbedaan yang mencolok, yang dirasakan oleh kakek tua pensiunan guru bernama Qirun. Dahulu kala ketika Qirun berusia muda, kodok-kodok saling mendongeng di selokan yang penuh dengan air keruh.

Akan tetapi, Qirun berupaya mencoba mengingat suara-suara bising khas musim hujan itu di teras rumah. Namun tak terdengar sama sekali. Bahkan yang di dengar oleh Qirun malahan suara desahan tetangganya yang merupakan pengantin baru “ahh..ahh..ahh” ketika sedang berhubungan seksual.

 Suara itu lebih mengganggu dibandingkan dengan suara-suara kodok yang sedang di nanti oleh Qirun. Bukan tanpa alasan, suara erangan dari Dewi si pengantin perempuan, mengingatkan Qirun bahwa ia sekalipun belum pernah melakukan hal senikmat itu, Qirun memang masih bujang, ia tak pernah menikah sampai usianya beranjak tua.

 Namun, yang menyebabkan Qirun betah duduk di teras rumah bukanlah itu, melainkan ia merasa heran karena musim hujan tidak adanya suara kodok yang saling bersautan itu. Dimanakah kodok-kodok itu? Apakah ia sudah makan? Kali ini musim hujan tidak komplit. Pikir Qirun yang masih memasang telinganya dengan seksama.

Malam telah memaksa kakek tua seperti Qirun untuk segera beranjak memeluk selimut. Tubuhnya telah layu, sebongkah daging yang menyusut dilahap oleh waktu. Waktu subuh telah tiba, di tandai dengan ayam jantan yang berkokok. Qirun telah tuntas menunaikan ibadah di waktu itu, tanpa menunda dan dengan segera.

 Ia beranjak menikmati udara pagi di teras rumah, mendengarkan ayam jantan yang saling berkokok, beradu suara untuk memenangkan minat si betina, hal yang wajar bagi makhluk yang ingin bercinta! Seketika itu Qirun teringat dengan masa mudanya, lebih tepatnya setengah abad yang lalu, saat Qirun masih memiliki cinta bagi wanita, ia benar-benar jatuh cinta.

Sumiati, gadis dengan rambut hitam, alis yang lebat, serta bibir tipis yang pemalu, nama seorang gadis yang merebut sebongkah cinta dari Qirun. Pada waktu itu, Qirun merupakan pria idaman bagi seluruh gadis di desanya, ia terlahir dari keluarga juragan sawah yang kaya, wajahnya penuh dengan wibawa, tubuhnya gagah seperti arjuna.

Sedangkan, Sumiati adalah salah seorang putri dari buruh tani yang bekerja kepada keluarga Qirun. Memang pada awal, bertemunya kedua insan tersebut terjadi disawah, ketika Sumiati membantu bapak emaknya memanen padi di sawah yang dimiliki oleh Qirun.

 Pada waktu itu, Qirun disuruh untuk memantau para buruh tani disana, tak terkecuali Sumiati. Gadis yang lebih indah daripada padi-padi yang telah siap untuk dipanen. Keduanya jatuh cinta dan menjalin asmara. Namun, keluarga Qirun enggan untuk setuju, begitu juga dengan keluarga Sumiati yang telah kecewa, baginya harga diri harus tetap ada walau bagi orang miskin.

Keluarga Qirun benar-benar tak mengerti apa itu cinta, hanya karena merasa derajatnya lebih tinggi, keluarga Qirun tak pernah setuju, bahkan Qirun dijodohkan dengan gadis lain, benar-benar gila. Logika dan cinta jika tak seimbang dan berat sebelah, maka menyebabkan orang menjadi gila!

Akhirnya Qirun bungkam soal perasaan, ia tak mau menikah jika tidak dengan Sumiati, ia telah berjanji, dan itu benar-benar membuktikan bahwa Qirun seorang pria sejati. Walau ia hanya berusaha menepati janji yang telah diucapkan, itu benar-benar beresiko, keluarganya terancam tak punya keturunan, Qirun seorang putra tunggal.

Qirun tak peduli, yang ia kehendaki hanya-lah Sumiati, tak lebih dan tak kurang. Keluarganya telah putus asa, berbagai hal telah dibujuk untuk Qirun. Namun, Qirun tetap pegang pendirian. Dan pada akhirnya, keluarganya memberi restu. Namun, telah terlambat.

Sumiati dijodohkan dengan duda anak satu dan menikah, lalu berpindah kota. Meninggalkan desa tanpa sisa. Barangkali Qirun-lah satu-satunya yang tetap mengingat Sumiati, hingga kini. Dan bagaimana dengan Qirun? Diawal sudah dijelaskan bahwa ia sama sekali belum pernah menikah, sampai keluarganya pergi meninggalkan ia sendiri. Luka yang berapi! Seperti gunung api yang meletus meninggalkan kawah, kawah yang dalam dan menjadi danau yang indah.

Qirun tak pernah selesai dengan masa lalunya, terperangkap disana seperti beruang yang terjerat pemburu, tak tersisa. Orang-orang desa menduga-duga Qirun tak normal. Padahal ia masih jantan. Namun, yang ia kehendaki hanyalah menikah dengan Sumiati, sekedar itu.

Kadang-kadang hatinya hancur, melihat tetangganya saling bercanda dengan anaknya, menjewer dengan kasih sayang. Sedangkan ia hanya dapat memandangi anak-anak yang diantar oleh orang tuanya pergi ke sekolah dengan seribu harapan, mengubah alur hidup.

Namun, Qirun menyadari bahwa ia tak lebih dari rumput yang tumbuh dan akan menguning, dibabat habis oleh angin. Ia sebatang kara di hari tua. Kata orang-orang cinta itu buta, tapi tidak bagi Qirun, cinta itu melihat dengan tajam dan teliti, seperti mata elang, ia melihat segalanya. Baik tentang kekecewaan  maupun kesenangan.