Bagi Titi, panggilan kental Astuti Ananta Toer, tragedi kemanusiaan September 1965 menyisakan kenangan hitam. Masih lekat dalam ingatannya, bahwa pada Oktober lima puluh tujuh tahun yang lalu, sang ayah Pramoedya Ananta Toer – disingkat nama pendek ‘Pram’ – ditangkap sebagai tahanan politik.

Tragedi kemanusiaan itu terjadi setengah abad silam. Hitungan mundur, lima puluh tujuh tahun berlalu, namun memorinya melekat dalam kalbu. Memori merah-hitam 1965 menyisakan kepahitan yang dirasakan seorang Titi, putri kesayangan Pram. 

Pram adalah penulis hebat yang tercerabut dari deretan nama-nama sastrawan yang menghiasi sejarah sastra Indonesia. Tercerabut akibat tekanan, boikot, stigma, rekaan, serta penafian sikap orba yang tak sudi mengakui karya-karya Pram, meskipun sejatinya berkelas sastra dunia.

Astuti atau Titi adalah putri sulung Pram, buah perkawinan dengan Maemunah (istri kedua). Titi dipercaya ayahnya untuk mendokumentasikan semua berkas tertulis yang terkait dengan proses kreatif Pram. Titi paham betul, betapa Pram intens menempuh jalan hidup sebagai penulis. 

Pram pernah pula berproses menulis biografi tokoh besar Bung Karno. Namun, Pram mengurungkan menulis biografi tersebut, tanpa diketahui persis alasannya. Boleh jadi karena tekanan politis yang kental mewarnai situasi saat itu.

Peristiwa Gestok atau Gestapu 1965 sangat menampar wajah Indonesia sebagai bangsa yang menapaki dua puluh tahun kemerdekaannya. Konspirasi atau glenak-glenik politik antarpihak yang ditengarai bernafsu membidik kursi pemerintahan, begitu terasa kala itu. 

Gestapu meletus membawa ekses berkepanjangan, menggurita, dan merumit tak kunjung terurai. Praktis, pasca-Gestapu pemerintahan orba mengendalikan kondisi perpolitikan. Ironisnya, aspek seni-budaya yang dilahirkan dari komunitas yang berseberangan paham, turut terdampak.

Dua minggu pasca-Gestapu, tepatnya 13 Oktober 1965, Pram diamankan secara paksa oleh tentara. Titi, yang saat itu masih bocah 9 tahun, tak paham kenapa ayahnya ditangkap. Ia baru sadar kalau Pram ditangkap setelah melihat foto ayahnya  di koran dengan headline ‘Pramoedya Ananta Toer Ditangkap’.          

Seminggu sebelum penangkapan, Pram menyuruh putri kesayangannya itu tak pergi sekolah. Titi bingung, kenapa ayah melarangnya pergi sekolah padahal ia dikenal sangat disiplin untuk urusan pendidikan.

Persis tiga hari sebelum penangkapan, rumah Pram di Jalan Multikarya II Jakarta didatangi intel. Pram diminta menyerahkan dokumen koran Medan Prijaji serta kliping beberapa koran terkait pembuatan ensiklopedi Indonesia dan sejarah bahasa Indonesia, yang disusunnya sejak 1960. 

 Pram menolak keras untuk menyerahkan apa yang diminta intel tersebut. Tak patah arang, intel datang lagi dengan strategi lain. Ia membujuk agar Pram mau menyerahkan dokumen tersebut dengan imbalan satu unit Impala, sebuah mobil tergolong kelas mewah saat itu.

Ah tidak, koran dan klipingan koran itu untuk anak-cucu saya agar mereka tahu sejarah Indonesia,” kata Pram. Tanpa kenal putus asa, intel datang lagi untuk ketiga kalinya merayu Pram. Namun, Pram tetap pada pendirian. 

 “Ini adalah harta untuk keluargaku dan masa depan pemuda negeri ini,” ujar Pram kukuh. Akhirnya, habis juga kesabaran si intel. Ia pun mengancam: “Pak, ini ibarat kucing dan tikus, di mana saya kucingnya dan Bapak tikusnya” (Sukanta, 2016:4).

Saat Pram ditahan di Rutan Salemba, Titi bersama Ibu Maemunah sempat menjenguk. Titi tahu persis manusia disiksa secara sadis, dipukul, ditendang dengan sepatu tentara. Jeritan bersautan, diiringi darah yang berceceran. Pram terlihat bengkak pada bibir atasnya, dan telinganya tampak berdarah. 

Namun, Pram mengatakan pada istri dan putri tercintanya itu, kalau dirinya terjatuh bukan karena disiksa. Dalam hati kecil, Titi tak percaya. Ayahnya berusaha menutup-nutupi kejadian yang sebenarnya.

Selama Pram ditahan, Maemunah berjualan kue seperti donat, pastel, lapis legit buatan sendiri demi keberlangsungan ekonomi. Titi turut menjajakan kue tersebut. Kemudian ketika menginjak remaja, Titi bekerja di sebuah apotek sambil tetap bersekolah. Itu demi menopang kehidupan keluarga.

 Titi dan adiknya berlatih menulis. Ayahnya mengajarkan langsung. Mereka menulis di buku harian tentang pengalaman yang diperoleh tiap hari. Titi kecil pernah menerima honorarium tulisan cerita dan puisi yang dimuat majalah Si Kuncung. Puisi dan cerpennya dikirim juga ke negeri tetangga Malaysia. 

Namun, berkontradiksi dengan Pram sebagai ayah, Ibu Maemunah justru tak suka anaknya jadi penulis. Barangkali trauma dengan nasib yang diderita Pram, khawatir nasib anaknya akan lebih parah daripada ayahnya.

Ketika Pram dibuang ke Pulau Buru, Titi dan keluarga seperti kupu yang patah sayapnya. Betapa sulit dan pahit untuk sekadar bertahan hidup. “Inilah masa-masa kesedihan keluarga kami mulai. Saat Pak Pram di penjara, mulailah beberapa warga mencelaku, memanggilku dengan sebutan anak PKI ... 

...Namun yang lebih menyakitkanku cibiran itu keluar dari mulut saudara-saudaraku sendiri. Ketika baru pindah ke Jalan Multikarya saja kami pernah ditodong senjata oleh tentara karena di sini lingkungan tentara. Kemudian saat kami bermain dengan anak-anak tentara, kami tidak boleh menang ... 

... Kalau menang, orangtua anak-anak itu memarahi kami. Rumah kami sering sekali dilempari batu. Intinya kami ngga boleh salah deh di lingkungan ini,” beber Titi (Sukanta, 2016:6-7).

 Pembuangan ke Pulau Buru, membawa hikmah tersendiri bagi Pram. Tetralogi roman ngetop terlahir di sana, yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Padahal sarana untuk menorehkan tulisan sangatlah terbatas di tempat pembuangan itu.

Pram menjalani hukuman tapol selama 14 tahun. Dan pada akhir Desember 1979 bebas dari jeruji besi. Pram ingin karya-karyanya diurus dengan baik, dan yang diminta untuk mengurusnya adalah Titi langsung. Namun, Titi yang sudah mapan bekerja, pada awalnya enggan memenuhi permintaan ayah. 

Bahkan diiming-imingi semua royalti buku-buku Pram, Titi menampik. Titi menjawab, kalau gaji yang diperoleh dari bekerja lebih besar dari royalti tersebut. Lalu Pram berkata, “Nduk, berhenti bekerja, kalau tidak kau akan menyesal, di mana orang lain lebih mengenal ayahmu ketimbang kau.”

 Kali ini Titi tertunduk. Pada 1999 Titi keluar dari pekerjaan dan mulai mencurahkan perhatian untuk Pram. “Semua ini saya serahkan ke engkau, Nduk. Tapi kalau itu membebanimu, kau buang saja,” pesan Pram. Akhirnya, melalui penerbit Lentera Dipantara, Titi dan keluarga menjaga langsung warisan Pram.  

“Aku bertugas menjaga hubungan silaturahmi dengan sahabat-sahabat Pram, adikku yang mengatur keuangan,  mengatur pembukuan dan pemasaran. Mungkin dengan inilah aku meneruskan perjuangan Pram mengantarkan anak rohaninya menjadi inspirasi melawan ketertindasan,” ujar Titi (Sukanta, 2016:10).

Pram yang karyanya dikandidatkan meraih Nobel Sastra, menutup mata pada usia 81 tahun, April 2006. Titi mendampingi Pram selepas dari penjara hingga pergi  selama-lamanya. Kata terakhir Pram begitu menyentuh: “Apa-apa yang kuharapkan sudah kudapatkan, aku akan mati dengan tersenyum.”

Terkait upaya rekonsiliasi, dalam pandangan Titi, sikap yang harus diambil pemerintah untuk membersihkan nama ayahnya dari stigma eks-tapol PKI yang menggoncang kehidupan keluarganya itu adalah kembalikan dulu nama baik Bung Karno, maka nama orang-orang eks-tapol PKI lambat laun akan bersih.

Sekilas tutur Titi Ananta Toer itu terungkap dalam buku Cahaya Mata Sang Pewaris: Kisah Nyata Anak-Cucu Korban Tragedi ’65. Buku ini dieditori Putu Oka Sukanta dengan Kata Pengantar Dr Nani Nurrachman Sutojo, dosen senior Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya.

Tragedi kemanusiaan yang buram kelam itu telah berlalu. Namun, setiap September terutama di penghujung bulan, tetap saja kenangan 1965 dengan segala warna-warninya, muncul dalam lintasan getir menjejali alur perjalanan bangsa yang masih memiliki “PR” rekonsiliasi.

*) Peminat masalah sosial-kemanusiaan, perpolitikan; mantan pekerja perbukuan. Lulusan FS (kini FIB) Undip Semarang