Power, jika didefinisikan secara teori, adalah kemampuan untuk memengaruhi perilaku pihak lain. Dalam konteks negara, power berkaitan dengan mekanisme negara mengontrol masyarakat untuk mencapai tujuan nasional.
Mekanisme kontrol ini bisa diciptakan melalui berbagai hal, seperti hukum dan hegemoni budaya. Namun ada juga aktor internasional di dunia memanifestasikan power dalam wujud kekuatan bersenjata seperti ISIS.
Gerakan ISIS di Timur Tengah mampu mengontrol batas batas wilayah kekuasaan dengan kekuatan militer. Namun, di tengah parade kekuatan militer yang sedang berlangsung, masyarakat yang berada dalam teritori ISIS berusaha melarikan diri untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan tentunya keamanan.
Hal ini menunjukan bahwa power tidak dapat menjadi faktor tunggal untuk memerintah masyarakat. Faktor yang tak kalah penting adalah legitimasi. Masyarakat harus mengikuti hukum dan perintah yang berlaku di suatu negara dengan kesadaran penuh untuk menjadi bagian dari negara tersebut. Prinsip kesukarelaan, istilahnya.
Power yang kawin dengan legitimasi akan menghasilkan otoritas, baik itu otoritas untuk membuat hukum, mengelola upeti atau pajak, mendistribusikan kekayaan, sampai memobilisasi kekuatan militer.
Dalam sejarah, terdapat 2 mazhab tentang bagaimana otoritas seharusnya digunakan. Sebutlah mazhab kanan dan kiri.
Mazhab kanan percaya bahwa tidak semua orang memiliki keistimewan dan kemampuan untuk memegang otoritas. Karena itu, kekuasaan politik hanya dapat diemban oleh golongan tertentu saja. Konsep ini berlaku di negara-negara monarki dan otoritarian.
Mazhab kiri percaya bahwa otoritas harus diserahkan kepada masyarakat. Yang kemudian masyarakat ini akan menunjuk perwakilan untuk memperjuangkan kepentingannya di arena politik. Sistem ini kerap berlaku di negara republik.
Kedaulatan dan Perjanjian Westphalia
Perjanjian Westphalia adalah salah satu contoh peristiwa yang memperlihatkan pertentangan 2 mazhab ini. Perjanjian Westphalia mencabut hirarki paus dalam kehidupan bernegara sehingga negara-negara di Eropa dapat mengatur negaranya sendiri tanpa ada intervensi dari Paus dan Gereja.
Dalam sejarah Perjanjian Westphalia, terdapat 2 kubu yang bertentangan, yaitu kubu Universalis dan kubu Partikularis. Universalis berpihak pada kerajaan dan mendukung Gereja sebagai hirarki tertinggi (Mazhab Kanan).
Sementara Partikularis menolak kontrol gereja dan percaya bahwa setiap negara memiliki independensi untuk mengatur urusan masing masing (Mazhab Kiri). Ide tentang independensi ini adalah fondasi dari sebuah nilai yang dewasa ini kita sebut sebagai konsep kedaulatan.
Pada dasarnya, kedaulatan itu adalah "jika masuk wilayah kami, ikuti hukum kami!" Konsep kedaulatan inilah yang akan mengarahkan negara negara untuk membuat teritori untuk memperjelas sampai wilayah mana suatu hukum dapat berlaku. Mengacu pada konsep ini, setiap negara diharuskan bersikap egaliter dalam interansi internasional.
Absennya Egalitarianisme di Perang Dingin
Amerika mengeluarkan Marshall Plan untuk membantu negara-negara Eropa Barat membangun ekonomi mereka setelah Perang Dunia II. Amerika memberikan pendanaan untuk berbagai industri secara berkala, seperti minyak, pangan, teknologi pertanian, dan bahan baku lainnya.
Akibatnya, negara-negara Eropa harus mengizinkan masuknya investasi dari Amerika. Tidak hanya dalam investasi, Amerika juga mampu mendorong ekspor mereka ke negara-negara tersebut. Selain itu, Uni Soviet juga memberikan dana untuk negara-negara Eropa Timur untuk pembangunan ekonomi dan militer yang disebut Molotov Plan.
Kasus-kasus ini adalah beberapa contoh kejatuhan egalitarianisme. Karena bantuan internasional, beberapa negara secara tidak langsung menyediakan media bagi Amerika dan Uni Soviet untuk men-drive politik-ekonomi di negara negara Eropa.
Kedaulatan Ekonomi, Mitos?
Di negara berekonomi liberal seperti Amerika, pasar yang mengatur dirinya sendiri. Negara memiliki batasan untuk melakukan intervensi pasar.
Jika otoritas ekonomi dilihat sebagai fungsi pemerintah untuk memobilisasi produk dan layanan kepada masyarakat, secara ideal seharusnya terdapat peran negara untuk mengendalikan kegiatan ekonomi. Kedaulatan tidak berfungsi dalam situasi ini.
Namun, di lihat dari sisi sebaliknya, mengingat fungsi negara untuk memobilisasi bahan baku, produk, dan layanan untuk memenuhi kepuasan masyarakat, kenyataannya negara tidak memiliki kemampuan untuk menyediakan setiap barang dan jasa untuk rakyatnya.
Saat negara memegang penuh aspek produksi, negara berpotensi memproduksi barang secara surplus. Implikasinya, makin banyak barang, makin banyak juga penawaran. Makin banyak penawaran, harga akan berkurang dan pedagang tidak akan mampu mendapat keuntungan yang diharapkan.
Begitu juga sebaliknya. Jika negara memproduksi barang lebih sedikit, akan ada kenaikan harga yang berpotensi menurunkan daya beli.
Geopolitik ke Geoekonomi
Dalam kasus ini, negara akan menggunakan otoritas ekonominya untuk melakukan ekspor dan impor sebagai solusi untuk menjaga daya beli dan keuntungan bagi penjual. Kebijakan ekspor dan impor ini akan mendorong negara untuk mengumpulkan hubungan saling ketergantungan dengan negara lain.
Hubungan saling ketergantungan yang tercipta adalah hubungan ekonomi di mana modal dan keuntungan finansial adalah variabel utama yang menjadi pertimbangan.
Dewasa ini, threshold atau ambang batas kedaulatan tidak hanya dilihat dari bagaimana penjagaan teritorial, namun juga bagaimana kekuatan finansial suatu negara dibandingkan negara lainnya. Hal ini menunjukan bahwa konsep kedaulatan serta keamanan wilayah telah bertransformasi dari Geopolitik ke Geoekonomi.