Hutan (tombak), ladang, bahkan tidak sedikit hutan kemenyan masyarakat di Tanah Batak (Tapanuli)  yang sejak awal tahun 1970an diberikan izin untuk ditanami Kayu Pinus (Reboisasai atau Penghijauan) dengan beberapa perjanjian yang disepakati oleh masyarakat kepada kehutanan saat itu, diantaranya “hanya dikelola selama 20an tahun (sesuai umur pinus)”, “ketika kayu pinus panen, maka hasilnya dibagi dua dan tanah kembali kepada masyarakat, terutama jika dibutuhkan oleh masyarakat”.

Berbagai alasan dan janji dari pihak kehutanan ditawarkan kepada masyarakat. Kegiatan itu dimulai sejak era Soeharto menilai bahwa “Tapanuli Peta Kemiskinan”. Melihat kondisi masyarakat yang saat itu memang begitu sulit mengakses sarana dan prasarana pertanian, sehingga kehutanan memberikan tawaran untuk menanami pohon pinus untuk mendukung kesuburan tanah, menghindari longsor, memanfaatkan lahan kosong, bahkan kehutanan menjanjikan hasil dari kayu tersebut akan dibagikan kepada masyarakat dan tanah akan kembali.   

Sejak saat itu, dengan kebijakan sepihak antara pemerintah dengan perusahaan, akibat dampak Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) yang dikeluarkan era Soeharto (Orde Baru), beberapa lahan masyarakat yang diberikan izin untuk penanaman pinus dialihkan sepihak menjadi status kawasan hutan negara (tanah milik negara) dengan beberapa fungsi, seperti Produksi, Lindung dan sebagainya.

Fungsi produksi merupakan kawasan hutan yang diberikan kepada berbagai perusahaan, termasuk salah satunya perusahaan yang berada di Tanah Batak, seperti PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) yang dulunya bernama PT Inti Indorayon Utama (PT IIU). Berbagai tata ruang di sekitar masyarakat masuk ke dalam kawasan hutan (tanah milik negara), salah satunya fungsi produksi yang diberi sepihak kepada perusahaan. Memang tidak masuk akal, tapi bisa dibuat masuk akal oleh negara. Pertanyaannya “sejak kapan negara memiliki tanah?”.

Seluruh masyarakat pun percaya kalau negara ini merdeka 70an tahun lalu. Bukan hanya itu, banyak negara lain pun mengetahui hal yang serupa. Tentunya merdeka dari penjajahan kolonial, tetapi merdeka secara absolut bagi masyarakat tampaknya belum sampai di situ. 

Lantas sejak kapan masyarakat memberikan tanahnya kepada negara? Atau sejak kapan negara memiliki tanah? Tetapi fakta demikian tidak mampu dijawab oleh negara.

Pemerintah selalu membenturkan masyarakat dengan kelengkapan administrasi ketika memperjuangkan haknya atas tanah. “Kalau ini tanah masyarakat, lantas mana surat-suratnya?”. Pertanyaan demikian menjadi tameng yang digunakan oleh pemerintah baik pun perusahaan ketika berhadapan dengan masyarakat yang sedang menuntut haknya.

Sementara sejak dahulu bagi masyarakat di Tanah Batak tidak mengenal surat-menyurat untuk diakuinya hak milik mereka. Bagi masyarakat disana, pengakuan dari masing-masing tetangga merupakan legitimasi yang sangat kuat dalam mempertegas kepemilikan atau sering disebut hukum adat. 

Mereka tidak mengenal administrasi seperti surat, hal itu cukup digantikan dengan “bagian tetangga” atau “jambar hombar balok” yang disimbolkan dalam bentuk daging hewan.

Justru sejak negara Indonesia merdeka, pengakuan akan hukum adat itu semakin dikaburkan akibat selalu dibenturkan dengan kelengkapan administrasi atau surat-menyurat versi negara. 

Padahal sebenarnya negara pun tidak memiliki surat atas tanah yang di klaimnya, negara hanya memiliki Surat Keputusan atau Surat Keterangan (SK) yang menerangkan bahwa tanah tersebut milik negara, sedangkan SK itu sendiri dikeluarkan oleh negara.

Logikanya negara membuat pengakuan atau hak dari dia dan untuk dirinya sendiri. Sementara masyarakat sendiri tidak dibenarkan oleh negara jika membuat surat (sertifikat) oleh dirinya sendiri tanpa legalitas (intervensi) dari negara, seperti yang dilakukan negara sendiri. Salah satu logika yang dipaksakan kepada masyarakat yang tidak punya surplus kekuasaan layaknya negara.

Beragam tata ruang kehidupan di masyarakat Batak masuk dalam klaim sepihak negara. Ibarat perkampungan misalnya, jika menghitung umur perkampungan/kuburan sangat mudah, dengan angka generasi/keturunan dikali 20 tahun per generasi. 

Tetapi logika demikian tidak pernah digunakan oleh negara saat ini. Sulitnya negara dalam mengakui kesalahan mereka sering terjadi di Tanah Batak, bahkan saya pikir hal demikian juga pasti terjadi dari daerah lain di Indonesia.

Sebenarnya secara konstitusi negara cukup diapresiasi dalam pengakuannya kepada masyarakat adat di Indonesia, terutama di Tanah Batak. Dalam UUD 1945 sebelum amandemen mengatakan bahwa, “mengakui masyarakat yang sudah ada dengan segala sistem yang berlaku di dalamnya”. 

Hak asal-usul adalah hak yang dalam konsep politik hukum dikenal sebagai hak bawaan, hak yang melekat dalam diri masyarakat adat, bukan hak berian. Serta di pasal 18B ayat (2) dan pasal 28 I ayat (3).

Belum lagi putusan MK No.35/PUU-X/2012 tentang Pengujian UU Kehutanan No.41/1999 yang diperjuangkan oleh beberapa perwakilan masyarakat adat dan Alisansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di depan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan bahwa, “hutan adat bukan lagi hutan negara”.

Enggannya negara dalam mengakui hak masyarakat secara langsung memposisikan UUD dan keputusan diatas tidak menjadi bacaan dan pegangan yang serius dalam menjalankan resolusi konflik di masyarakat saat ini.

Justru akibat kecilnya niat pemerintah dalam menggunakan UU tersebut yang membuat masyarakat adat di Tanah Batak begitu sulit mendapatkan haknya. Sebenarnya gerakan rakyat dalam mempertahankan haknya sudah lama terjadi, apalagi sejak jatuhnya era orde baru yang diaggap bahwa reformasi menjadi jalan keluar dalam memastikan hak-hak masyarakat atas tanah menjadi momen gerakan rakyat dari tiap-tiap daerah.

Akan tetapi, dari kecilnya niat ditambah masifnya nafsu pemerintah akan investasi yang jorok mengakibatkan jatuhnya korban saat kejadian kekerasan yang dilakukan pihak perusahaan bubur kertas PT Toba Pulp Lestari kepada Masyarakat Adat Natumingka di Kabupaten Toba pada tanggal 18 Mei 2021. Setidaknya ada 12 orang korban luka-luka akibat lemparan batu dan balok kayu kepada masyarakat yang sedang menahan karyawan PT TPL ketika melakukan penanaman pohon ekaliptus di wilayah adat masyarakat.

Sebenarnya ini bukan kali pertama terjadi kejadian demikian. Kasus-kasus lain selalu membuntuti aktivitas masyarakat. Di kriminalisasi, intimidasi, penjara, dan tindakan-tindakan hukum lainnya yang semenah-menah dilayangkan kepada masyarakat yang berusaha mempertahankan haknya. 

Perusahaan selalu berdalih bahwa mereka telah mengantongi izin dari kehutanan untuk mengelolah tanah adat masyarakat. Pun itu di hutan kemenyan, ladang dan sawah masyarakat perusahaan tidak peduli.

Dengan segala surplus kemampuan tentunya perusahaan dengan mudah membenturkan masyarakat ke pihak kepolisian (aparat hukum) saat masyarakat memperjuangkan hak yang dititipkan leluhur kepada mereka. Lantas siapa lagi yang bisa dipercaya jika negara merasa punya hak atas tanah masyarakat adat di Tanah Batak. 

Pertanyaannya, “sejak kapan masyarakat memberi tanah kepada negara, sehingga sejak kapan negara memiliki tanah?”. Dengan warning yang keliru “Tanah Ini Milik Negara”.