Berabad-abad bangsa kontinen nusantara menjadi sasaran rayahan (rebutan-rampokan-jarahan) bangsa-bangsa kolonial. Tanah bekas jajahan ini begitu luas, bermacam suku yang dipersatukan cita-cita luhur, hamparan pulau-pulau, maritim biru nan luas mewajarkan pantas dijuluki “the only one archipelago country in the world”. Memiliki sumber daya alam yang kaya, subur jalur rempah, potensi tambang melimpah. Lain daripada itu, tidak ada negara dunia manapun yang memiliki bonus demografi (penduduk usia produktif) seperti Indonesia.
Silih berganti Parlemen, Kabinet, sejarah rezim kekuasaan bertransisi dari masa ke masa. Sekian dekade pernah ditangan orde lama, orde baru, orde reformasi, dan kini sedang bertengger pada kehebatan era relawan. Partai-partai politik menjamur, banyak pengamat, kritikus, rohaniwan, akademisi bahkan ilmuwan. Terkadang pesohor menunjukkan keahlian berpidato menggelegar dengan gerakan tangannya yang penuh atraktif, kerutinan ini muncul menghibur ketika musim-musim politik.
Semua keadaan yang menciptakan kejengkelan, seakan telah menjadi skizofrenia kultural, krisis pernah kita cicipi, perasaan pesimistis berkepanjangan bahkan pernah berpuncak pada huru-hara, anarkisme demonstrasi.
Masih ingat bagaimana kekuasaan tunggal yang begitu kuat dapat tumbang jatuh dengan tiba-tiba? Waktu banyak yang terkuras, risiko lahir dan matikan daya pikir kritis para aktivis pansos menyumpahi segala keterpurukan.
Namun semua itu belum juga mampu membuat rakyat dapat menikmati suasana damai, menyenangkan hati apalagi menyejahterakan. Setelah lebih tujuh puluh dasawarsa merdeka yang dicita-citakan negara melenceng jauh, golongan kemiskinan, ketidakadilan sosial justru semakin menyemaraki politik oligarki, praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Sekian lama negara menggelandang, kehilangan asa, terjerembab kenyataan buruk. Akhirnya terbit mozaik sumber pergantian hari yang penuh dengan harapan-harapan kemajuan, hadirkan optimisme ketinggian peradaban bangsa masa datang. Setelah datang Sang Presiden, seorang tukang kayu yang mengelaborasi filsafat “Revolusi Mental” dalam dimensi implementasi (ontologis-aksiologis) konkret.
Terbungkus Nawacita—jalan perubahan menuju Indonesia berdaulat, Jokowi berorientasi pada kerja, kerja, kerja, leadershipnya yang baik, bersih, berwatak inklusif, ‘blusukan’, egaliter bersentuhan kulit rakyat dan tentu saja punya pemikiran yang out of the box.
Maka tak heran dunia menghargainya, memuji, mengakuinya. Dan wajar saja majalah terkemuka di Amerika Serikat, TIME, menerbitkan sampulnya berwajah Widodo dengan tulisan besar terpampang jelas, 'A New Hope'.
Kharismanya berpacu memetik hikmah, representasikan sang republikan (keindonesiaan), menjadi ikon timur dan barat, jalan tengah menyatukan jawa luar jawa yang terkadang selama ini mengalami kerancuan orientasi, sentimen politik. Sejumlah capaian pembangunan bila dikontekstualkan, sepertinya telah menciptakan kembali kemandirian di bidang ekonomi, berdaulat dalam politik, serta berkepribadian dalam kebudayaan seperti candradimuka trilogi ajaran Bung Karno.
***
Sebutir debu ujian mengundang badai banjir kritik, akibat temu semu relawan yang membuat standar tinggi kualitas politiknya distorsif, standar tinggi kualitas kepemimpinannya terseret arus dalam sekejap. Kecerobohan elite relawan menuai kontroversi, banyak yang bernalar bahwa tak hanya terkesan menjebak, atau melarutkannya untuk meniru-niru politik yang ingin menumbuhkan dominasi. Menggorengnya pada kekuasaan yang kemiripan atau setipe rezim terdahulu yang wataknya mobilisasi. Saya sendiri pun menilai sebagai peristiwa luar biasa karena gagal memahami apa nilainya.
Bukannya membuat decak kagum, aksi pidato mengundang perdebatan, dianggap mengandung curi star campaign kandidasi atau setidak-tidaknya kode dukungan, endorse figur-figur tertentu untuk kepentingan mendulang ceruk elektoral pada Pemilu mendatang.
Dengan mencirikan pemimpin dalam kepemimpinan baik itu tercermin dari “uban rambut dan keriput wajah” seolah-olah. Apakah metafora uban-keriput punya kadar nilai yang memberikan pendidikan politik bagi para kontestan maupun masyarakat?
Bila saja diinput ke dalam sebuah sistem demokrasi, memang argumentasinya bisa saja relevan, bisa tidak. Mungkin subjektif, tetapi tidak kontra dalam hal teori ilmu-ilmu dasar politik yang terdapat acuan (referensi) filosofi kepemimpinan mendukung.
Tidak pula utopis (menyederhanakan) akibat betapa luasnya definisi-perspektif kepemimpinan politik, terutama konsep kepemimpinan yang selalu kabur atau kembali tidak jelas karena kompleks dan mendua. Sebab setiap orang, atau kekuasaan mempunyai sifat, kebiasaan, watak, kepribadian, style, pola laku, serta gaya sendiri yang unik, khas membedakan dirinya dari orang lain. Semua yang dimilikinya itu pasti akan mewarnai perilaku kepemimpinannya.
Lagipula merujuk pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 23 Tahun 2018, sejumlah persyaratan yang mesti dipenuhi telah diatur dalam hukum formal-legalistik ini.
Artinya tak menyalahi apa-apa menstratifikasi kepemimpinan dalam arti yang seluas-luasnya, bicara kriteria pemimpin yang mempengaruhi pembentukannya. Misal ia dari keturunan bangsawan, non-bangsawan, tingkat pendidikan diperoleh, latar belakang rasial, ciri-ciri biologis dan lain sebagainya yang sifatnya dibumbu-bumbui preferensi.
Tetapi yang paling pokok dalam kepemimpinan politik presidensialisme khususnya, atau umumnya eksekutif sebagai suatu pemberian pengaruh (kekuasaan) secara hukum sekaligus alamiah sukarela, adalah tergantung pada keberpihakannya.
Untuk itu yang perlu dibangun dalam setiap prosesi Pemilu, Pilkada, Pilkades atau Pileg, pendekatan rasional publik menguji kompetensi, gagasan atau konsep baru perubahan sosial yang ditawarkan, mempertimbangkan integritas, apakah yang bersangkutan memiliki pengetahuan menyentuh substansi persoalan kemasyarakatan maupun kebangsaan.
Namun begitu, kita perlu mengingatkan, bangun kesadaran kritis demi keselamatan sosio demokrasi agar jangan sampai alami kemunduran dalam memori masa lalu.
Saya khawatir akan merusak persaingan kontestasi, membuat keterasingan ragawi politik yang membawa kita kembali pada gelombang demokrasi ala atenian. Yaitu demokrasi tereduksi, di mana dikuasai hanya segelintir orang. Yang berdemokrasi hanya para filosof, bukan filosof minggir dianggap tidak sahih syaratnya.
Jangan sampai terlalu jauh mencampuri domain-domain rakyat, domain yang semestinya dapat dikelola sendiri tanpa intervensi. Seperti yang tampak dalam sistem politik yang dibangun berdasarkan filosofi antara kaulo dan gusti.
Gusti dimaknai sebagai sang pendito yang memiliki hak otoritas kepemimpinan dan pengetahuan ditakdirkan lebih baik dari kaum kaulo, melalui idiom-idiom sementara kaum kaulo sendiri hadir mengukuhkan atau sebagai pelayan untuk memenuhi kepentingan politik kepemimpinan sang pendito (gusti).
Dalam hal ini, Peter L. Berger menyebutnya sebagai suatu hubungan antar patron-client. Akibatnya menempatkan sebagai pemimpin demokrasi dengan penafsiran menurut kehendaknya sendiri (totaliterisme-otoriter).
Saya termasuk yang optimistis, berharap Pemilu kedepan masyarakat akan menikmati demokrasi yang riang gembira. Maka demikian tentang corak politik yang berwarna-warni biarlah sebagai madu bagi demokrasi, tidak boleh ditentang arusnya oleh alasan apapun. Terlebih pendewasaan demokrasi kita mesti menghindari politik diskriminasi, menyudutkan atau mendiskreditkan yang lain.
Tugas kita semua, selain menghalangi pertengkaran politik yang tidak berbau gagasan fundamental, kampanye pembohongan publik yang menawarkan solusi imajiner tidak memiliki basis pemecahan masalah konkret. Menjaga polarisasi politik sosial, membentengi atau memagari rakyat dari kepanikan kles-kles politik yang keras jangan sampai membuat Indonesia ambruk.
Lain daripada itu semua, rasanya yang utama adalah sabda The Kingmaker yang produktif akan kita taati. Saya setuju ia terus menggalang deklarasi komitmen dalam menjaga orientasi politiknya yang belum terlunaskan akibat masanya usia kekuasaan tak dapat diperpanjang. Komitmen melanjutkan tradisi program terbaik yang diwariskannya. Dan kandidasi calon Presiden sah-sah saja, tetapi dalam konteks membangun peradaban politik yang semakin adil serta solider.