Film Tilik (2018) produksi Ravacana film yang diposting pada 17 Agustus 2020 mendadak viral, menjadi trending topic di jagat Twitter hingga disebarkan di grup-grup WhatsApp dan menjadi perbincangan di media massa.
Film pendek yang disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo ini bercerita tentang warga desa, yang kebetulan semuanya adalah perempuan, sedang melakukan perjalanan ke rumah sakit untuk menengok bu Lurah dengan menumpang truk. Sepanjang perjalanan mereka mempergunjingkan Dian, seorang perempuan lain yang juga tinggal di desa yang sama.
Sangat bisa dipahami jika film ini akhirnya menjadi viral. Film ini didukung oleh para aktris yang berperan dengan sangat baik. Tokoh bu Tedjo yang menjadi sentral sukses menjadi perbincangan hangat di media sosial. Sosok ibu yang berhasrat menjadi the next bu Lurah, yang gemar bergosip dan nyinyir, sukses diperankan dengan sangat baik oleh Siti Fauziah Saekhoni.
Selain itu, celetukan renyah dan lucu banyak menghiasi dialognya. Dialog yang muncul di film itu pun sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Terutama bagi mereka yang tinggal atau pernah tinggal di Jogja, dialog-dialog tersebut akan terasa sangat relate.
Tak hanya itu, film ini menyajikan shot-shot yang memanjakan mata. Hamparan sawah, jalan-jalan pedesaan, hutan-hutan kecil yang tersaji dalam film mendukung akting mumpuni dan dialog yang menggigit.
Untuk itu, saya memberi apresiasi setinggi-tingginya untuk Wahyu dan seluruh tim produksi. Buat saya sangat menghibur, out of the box, dan banyak menggugat problem-problem sosial di sekitar kita. Sebut saja, maraknya persebaran hoax dan berita palsu lewat media sosial, problem gender dan kelas sosial, juga kontestasi kekuasaan.
Keterwakilan Pesan
Dalam wawancara Wahyu dengan Vice, Wahyu menyatakan bahwa setidaknya ada dua pesan yang ingin ia sampaikan lewat film Tilik. Pertama, Wahyu ingin mengajak masyarakat untuk selalu mengecek setiap informasi yang diperoleh melalui media sosial atau internet. Ia bahkan mengatakan bahwa film ini menjadi bentuk kampanye perjuangan dari tim produksi agar orang-orang melek terhadap informasi yang tersebar melalui internet.
Kedua, ia menyampaikan bahwa perempuan single yang selama ini sering menjadi bahan pergunjingan masyarakat memiliki hak atas hidupnya dan menentukan apapun pilihannya. Kedua hal inilah yang akan saya bahas lebih lanjut dalam tulisan ini.
Jika film ini bermaksud untuk menyentil kebiasaan masyarakat yang terlalu mudah memercayai informasi yang belum terverifikasi kebenarannya, menurut saya hal tersebut sudah cukup terwakili dalam film ini. Beberapa dialog menegaskan hal tersebut.
Namun, jika menjadikan film ini sebagai sebuah media kampanye agar masyarakat melek informasi, saya melihat film ini belum cukup untuk itu. Narasi tentang perlunya mengklarifikasi terlebih dahulu setiap informasi tidak terlihat menjadi poin utama dalam film ini.
Kalau untuk sekedar menyindir bolehlah, tapi kalau ini memang menjadi tujuan yang penting dari film ini, saya kira belum cukup berhasil. Sentilan tentang mudahnya mempercayai hoax masih setara porsinya dengan sentilan tradisi sogokan menjelang pilkades (setahu saya lurah sih nggak dipilih ya, tapi ditunjuk, beda dengan kepala desa), atau sentilan tentang pamer kelas sosial.
Problem Representasi
Saya sangat senang karena Wahyu dan tim produksi punya misi membela perempuan lewat film ini. Di antara film-film yang sangat male gaze, mengeksploitasi perempuan, atau hanya menjadikan perempuan sebagai pelengkap, saya melihat film ini sebagai sebuah harapan bahwa para filmmaker muda sudah mulai concern dengan isu-isu gender.
Meski demikian ada problem representasi yang muncul kemudian. Saya melihat ada ambivalensi saat film ini membela perempuan. Di satu sisi ada upaya untuk melawan stigma perempuan single, tetapi di sisi lain film ini masih melanggengkan stereotype perempuan.
Film ini masih terjebak pada stigma perempuan yang suka ghibah, tukang nyinyir, selalu merasa tersaingi dengan perempuan lain yang lebih muda dan cantik, juga the power of emak-emak.
Film ini seolah-olah ingin menyelamatkan perempuan dari persoalan yang disebabkan oleh perempuan juga. Kultur patriarki yang memarginalkan perempuan sering memberi label perempuan yang emosional, dan selalu berkompetisi dengan sesama perempuan.
Lihat saja jika ada kasus perselingkuhan, laki-laki posisinya selalu aman, yang saling serang adalah pasangan syah dan sang perempuan selingkuhannya. Padahal sudah jelas laki-laki juga menjadi pelakunya.
Perempuan juga kerap ditampilkan dalam sinetron atau medium lainnya yang mudah merasa iri jika ada perempuan lain yang lebih cantik atau lebih seksi. Lalu ia akan melakukan segala cara untuk menjatuhkan perempuan pesaingnya tersebut.
Saya melihat film ini melakukan narasi yang kurang lebih sama. Bu Tedjo dalam beberapa dialognya mengatakan bahwa Dian, sang sasaran ghibah, tampak cantik karena menggunakan susuk. Mengapa asumsi Bu Tedjo didukung beberapa ibu lain yang tampak bersemangat menjelek-jelekkan Dian? Apa kesalahan Dian? Tidak ada selain Dian yang cantik dan single.
Glorifikasi Stigma
Hal lain yang juga mengganggu adalah bagaimana film ini mengglorifikasi the power of emak-emak. Istilah the power of emak-emak bisa dimaknai baik secara positif maupun negatif.
Namun, sayangnya yang sering terdengar adalah sebuah ejekan. Sosok emak-emak sering diidentikkan dengan kebiasaan “sign kanan, belok kiri”, kalau naik motor sign-nya ke arah kanan, tapi motornya belok kiri.
Tapi siapa yang berani mengkritik emak-emak? Daripada kena omelannya yang bertubi-tubi, lebih baik diemin aja lah. Hal tersebut dinormalisasi lewat percakapan kita secara online maupun offline. Jangan sekali-sekali berurusan dengan emak-emak, karena perempuan selalu benar.
Konstruksi ini juga muncul dalam film Tilik. Ada salah satu adegan ketika seorang polisi menilang sopir truk. Sang sopir dinilai melanggar karena membawa rombongan di bak truk. Lalu apa yang terjadi? Pak polisi tidak berdaya menghadapi serbuan verbal dan fisik para emak-emak. Tidak jauh berbeda dengan narasi sign kanan belok kiri.
Pentingnya Narasi Alternatif
Mungkin perlu menjadi refleksi kita semua, apa memang hanya perempuan yang suka julid dan ber-ghibah? Pengalaman saya menunjukkan bahwa banyak juga kok laki-laki yang tidak kalah dengan Lambe Turah. Apa hanya emak-emak yang suka sign kiri belok kanan? Sepertinya laki-laki, mulai dari remaja dan bapak-bapak juga melakukan hal yang sama.
Lalu, apakah memberi label perempuan dengan stigma seperti itu sudah cukup fair? Saya rasa tidak. Untuk itu, perlu kiranya para filmmaker bisa membuat narasi alternatif. Filmmaker jangan lagi mengulang narasi yang sama yang lagi-lagi hanya akan merugikan perempuan.
Sebagai sebuah perjalanan (destinasi), film ini berhasil mengantarkan para rombongan sampai ke rumah sakit, tetapi maksud untuk menemui bu Lurah sebagai maksud utama perjalanan, tidak tuntas terlaksana. Para rombongan justru akhirnya berbelanja ke Pasar Gede.
Begitu juga perjalanan pesan cerita di film Tilik ini, penyampaian pesan memang terasa berjalan menuju destinasinya, akan tetapi maksud utama dari perjalanannya tidak tuntas tersampaikan. Para penonton pada akhirnya terlarut dalam ‘belanja humor’ yang ditampilkan dalam filmnya.
Epilog
Kultur patriarki memang sudah mendarah daging dalam setiap sendi kehidupan manusia. Untuk itu saya bisa memahami jika akhirnya Wahyu dan tim produksi masih terjebak dalam logika dan cara berpikir yang patriarkis. Jangankan Wahyu, seorang aktivis feminis sekalipun masih kerap terjebak.
Paling tidak, adanya semangat untuk membela perempuan adalah sebuah poin yang patut diapresiasi. Ke depannya jika Wahyu dan para filmmaker muda lainnya memang concern dengan isu-isu gender, maka perlu melihat persoalan dari berbagai sudut pandang.
Kekayaan perspektif akan memberikan keberagaman konten, sehingga masyarakat selaku penonton akan memiliki perspektif alternatif.