Usai Ujian Akhir Semester (UAS), pikiranku terbuka untuk segera bergegas ingin melangkahkan kaki dari Pekanbaru tempat dimana aku kuliah, entah apa yang terbayang dan diinginkan pikiranku saat itu, sehingga setiap kali usai ujian semester, ingin rasanya membuka mata untuk melihat suasana baru dan yang paling utama melihat orangtua, ntah kenapa konstelasi dalam benakku itu berulang kali terjadi dengan hal yang serupa, dengan cepat membuka pintu rumah, menyiapkan berbagai pakaian yang akan dibawa.

Biasanya pergi liburan sehari, dua hari, aku pulang ke Lipat Kain, meskipun di Lipat Kain tak keseringan bertemu keluarga, itu hal yang biasa rasanya, paling hanya sekadar main bersama teman ke suatu tempat yang sering kami kunjungi, agar banyak pembicaraan, perbincangan setelah beberapa lama tidak berkunjung ke tempat yang kami temui.

Seraya mengungkap cerita-cerita lama, hal yang lucu dan yang memalukan, agar bawaannya tertawa dan terpancing suasana yang kegirangan.

Kali ini beda hal, beda suasana, usai ujian semester, aku mengingat banyak hal tentang kegetiran hidup dengan memandang kerasnya kerja di kampung, untuk memenuhi kebutuhan yang mesti dilakoni masyarakat di sana. Mau tak mau dia harus kerjakan, kuat tak kuat mereka terpaksa melakukan, agar keluarganya terhindar dari kelaparan dan pinjaman dari berbagai orang.

Memulai langkah dari Pekanbaru sekitar pukul 10:00 WIB, menuju ke Desa Gema, Gema adalah Pelabuhan masyarakat di sana yang ke kampungnya menunggangi sampan. Sampan yang bermuatan 300- 500 kg, biasanya masyarakat mengisi 5 atau 6 orang untuk menuju kampungnya. Setengah di perjalanan menuju Gema, hal yang asing tak sengaja aku lihat di setiap perjalanan menuju Gema.

kebanyakan pepohonan yang ada di pelipir jalan beranjak berubah, yang dulunya hutan lebat, alam yang diselimuti semak belukar, sekarang diisi pepohonan sawit yang memanjang, meluas sejauh mata memandang.

Disamping itu aku terpikir, "akankah semua lahan ini punya masyarakat? atau masyarakat terpaksa menjualnya pada orang asing, sesab kendala ekonomi yang makin menjadi, atau masyarakat sini mau mendapatkan uang dengan cara yang mudah, ia menjual lahannya kepada orang China", bantahan aku dalam hati.

"Orang China pun mengambilnya di atas harga rata rata biasanya, makanya masyarakat sini dengan leluasa melepaskan lahannya", pikiranku menerka-nerka saat di perjalanan.

Sebuah hal yang mudah dilepaskan warga untuk menutupi kebutuhannya, apakah mereka terpaksa menjual lahannya untuk memenuhi kebutuhan anaknya,  atau hanya memikirkan kesenangannya semata.

Berselang waktu, jam menunjukkan pukul 12:30, setiba aku di Desa Gema, langsung shalat, bertepatan azan Zuhur usai dikumandangkan.

Setelah shalat, aku menyapa beberapa orang yang aku kenal,"pak, nenek, sehat?" sambil tersenyum, "allhamdulillah" salah satu dari mereka menyahut.

Langsung aku mulai bercerita dengan nenek-nenek yang menyahut saat aku sapa.

Aku memulai pembicaraan, tentang orang yang ada di pelabuhan, atau pengemudi sampan- sampan yang hendak bepergian.

Setelah beberapa lama bercerita, di ujung pembicaraan, nenek ucapkan pengemudi-pengemudi sampan yang hendak berlayar, yang akan segera berangkat menanjaki beberapa kampung di aliran sungai Subayang.

"Nak, ada beberapa pengemudi sampan yang akan segera pergi, kalau mau pergi sekarang, tinggal bilang sama pengemudinya", dengan cepat aku menyahut", ya baik, terima kasih nek". aku langsung mengunggangi Sampan, setelah jumpa dan berbicara dengan pengemudinya.

Sepanjang aliran sungai, mataku terpana melihat derasnya air sungai, hanya ada beberapa lubuk yang tenang sepanjang perjalanan, biasanya kalau musim kemarau, airnya sangat dangkal dan banyak sampan-sampan yang tenggelam, diakibatkan derasnya uapan air dan ombaknya yang kencang, ditambah bebatuan yang besar besar menyulitkan para pengemudi untuk meluruskan haluan sampan.

Di sepanjang aliran sungai menuju kampung, tampak begitu indah saujana alam yang begitu menerang, seraya desiran angin yang menghembuskan kesegaran hutan, benar kata orang, hutan adalah paru-paru kehidupan, sekarang aku berada di paru-parunya. Ditimpah lagi sungai yang jernih, bersih dan riakkan air yang memukau, ikan-ikan yang bercikikan di dasar sungai tampak jelas di permukaan.

Setelah lama menikmati perjalanan, jam menunjukkan 15:00 WIB, dah beberapa kampung yang aku lewati sepanjang aliran sungai, di terik panasnya matahari, pengemudi sampan membelokkan haluan perahunya ketepian sungai.

Tibalah aku di Kampung halaman. Menyapa sembari salaman pada warga disaat jalan menuju rumah orangtua, kalau tidak kita menyapa duluan, masyarakat enggan mengeluarkan ucapan kepada tamunya, masyarakat biasanya menoleh pandangannya ke setiap orang yang  baru datang menjamu mereka, semua pandangan warga terpaku padaku saat itu.

Setelah bersalaman sama beberapa warga, sampailah aku di rumah orangtua, liat ibu yang meracik sebuah bumbu, melihat ibu terkenang jasa-jasanya pada saat dia menoleh padaku, seakan-akan mengenang ia adalah kebahagian terbesarku dan kepedihan yang sangat mendalam mengingatnya, kucium tangannya dan kupeluk ia.

Tidak lama kemudian, ibu memulai cerita sambil meracik bumbu tentang kabar keluarga di kampung, dan menanyakan keluarga di dekat aku kuliah, ia yang paling tua dari enam bersaudara, selebihnya laki-laki yang berada dekat aku kuliah.

Saudara-saudaranya sekali seminggu bisa ketemu, kumpul-kumpul tahu kondisi satu sama lain, sedangkan ia menetap di hutan satwa yang di lindungi pemerintah, kadang-kadang ingin aku bantah ucapan kepedulian dan kekhawatiran terhadap adik-adiknya, rasa kekesalan melihat kondisi yang sebenarnya.

Disamping itu, lalu ia menanyakan kabar kerabat-kerabatnya yang ada di kota, itulah yang ia harapkan dan diutamakan sebelum menanyakan oleh-oleh yang aku bawa, betapa ia hirau pada keluarga di kota, sedangkan ia di hutan belantara, tak kusangka rasa kepedulian ibu sedalam itu, tanpa dia tau apakah keluarganya disana akan memikirkan  hal yang serupa, atau sibuk dengan kecintaan dunianya.

Dengan mempertimbangkan kondisi ibu dan kerabat-kerabatnya di sana, aku memikir, dengan ia mendapatkan kabar baik kondisi adik-adiknya adalah kepuasan bathin baginya, tak mungkin aku menyela ucapannya ataupun menghambat kebahagiannya, yang merupakan kebanggaan aku melihat ia bahagia.

Berselang waktu, aku mengakhiri cerita, dengan mengucap " istirahat dulu bu, lelah dari Pekabaru, Gema, langsung ke rumah" ia tidak menyahut, hanya diam, merenung sambil melanjutkan racikannya. Sambil berbaring aku mengingat betapa prihatinnya seorang ibu kepada adik-adik dan kerabatnya yang ada di kota, padahal keluarganya tak pernah menanyakan sedalam itu ketika aku jumpa.

Kini aku sadar, kepedulian orang tua sangat luar biasa, padahal ia tak tahu kondisi yang sebenarnya, bahkan ia rela mengorbankan hartanya demi anaknya kuliah.