Kakao pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1560 dibawa oleh warga Spanyol dari Filipina Selatan ke Sulawesi Utara. Saat itu jenis kakao yang dibawa masuk ke Indonesia adalah jenis Criollo dari Venezuela, yang kemudian ditanam diwilayah sekitar Minahasa. Pada tahun 1880 dimasukkan jenis kakao lain ke Indonesia, yaitu jenis Forastero dari Venezuela.
Jenis Criollo dikenal dengan rasa yang lebih enak daripada jenis Forastero, tetapi daya hasil dan ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit lebih rendah. Sebaliknya jenis Forastero, rasanya di bawah jenis Criollo, tetapi lebih tahan terhadap hama penyakit dan kondisi iklim serta tanah yang kurang baik.
Jenis lain adalah Trinitario, yang merupakan persilangan alami antara Criollo dan Forastero, dan mempunyai sifat-sifat diantara keduanya. Ketiga jenis tersebut adalah jenis-jenis yang dibudidayakan, dan ke semuanya termasuk dalam spesies Theobroma Cacao. Terdapat beberapa lagi jenis kakao tetapi tidak dibudidayakan karena sifat-sifatnya secara ekonomis tidak menguntungkan, antara lain termasuk dalam spesies Thebroma grandiflorum, Theobroma bicolor, dan Theobroma speciosum.
Dalam istilah perdagangan, jenis Criollo dan sebagian Trinitario dikenal sebagai kakao mulia atau kakao edel atau fine cocoa, sedangkan jenis Forastero dan sebagian Trinitario disebut sebagai kakao lindak atau bulk cooca. Mayoritas tanaman kakao di Indonesia masuk ke dalam jenis kakao lindak, sedangkan jenis kakao mulia saat ini hanya terdapat di Jawa Timur, Bali, dan Kalimantan Timur.
Dalam perkembangan selanjutnya, riset yang dilakukan di Indonesia maupun di negara lain telah menghasilkan jenis-jenis kakao yang sangat beragam yang merupakan hasil persilangan maupun introduksi dari negara lain. Keanekaragaman jenis secara genetik ini menyebabkan adanya perbedaan dalam hal kuantitas maupun kualitas produksi kakao di Indonesia.
Daerah sebaran tanaman kakao di Indonesia
Sebelum tahun 1980, mayoritas tanaman kakao ada di Sumatera dan Jawa, akan tetapi mulai tahun 1980 terjadi perluasan tanaman kakao di Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Meluasnya sebaran tanaman kakao ini seiring dengan bergesernya pola pengusahaan kakao, yang semula hanya ditanam oleh perusahaan perkebunan besar negara dan swasta, menjadi pengusahaan kakao oleh masyarakat luas (pekebunan rakyat/smallholder).
Perbedaan pokok kedua pola usaha ini adalah luas areal tanaman yang dikelola, perkebunan besar mengelola lahan kakao ratusan hingga ribuan hektar dalam satu manajemen, sedangkan petani hanya mengelola rata-rata 1-2 hektar, bahkan kurang dari 1 hektar per kepala keluarga.
Saat ini persentase areal kakao terluas di Indonesia berturut-turut ada di provinsi Sulawesi tengah (18.17%), Sulawesi Tenggara (15.96%), Sulawesi Selatan (13.11%), Sulawesi Barat (9.35%), Aceh (6.47%), Sumatera Barat (5.28%), Lampung (5.17%), Nusa Tenggara Timur (4.41%), Sumatera Utara (3.57%), dan Jawa Timur (3.18%).
Sebaran wilayah penanaman kakao di Indonesia yang demikian luas menimbulkan kosekuensi bahwa kakao tersebut tumbuh pada berbagai jenis dan sifat iklim serta tanah. Perbedaan tipe iklim di Indonesia tidak terlalu ekstrem, terutama hanya berbeda karena tinggi tempat, posisi geografis, dan kedekatannya dengan garis pantai. Sifat tanah di Indonesia sangat dipengaruhi oleh jaraknya terhadap gunung api, terutama yang masih aktif dan iklim setempat.
Tanah yang dekat dengan gunung api biasanya lebih subur daripada tanah yang jauh dari gunung berapi. Iklim yang lebih basah (curah hujan tinggi) menimbulkan pencucian unsur hara yang lebih intensif daripada iklim kering. Akibat pengaruh iklim dan tanah yang sangat bervariasi dari Provinsi Aceh sampai Papua, maka akan berpengaruh terhadap produktivitas dan kualitas hasil kakao daerah sebaran tanaman kakao di Indonesia.
Pengolahan biji kakao di Indonesia
Setelah buah kakao masak dipanen, selanjutnya dipecah dan diambil bijinya. Biji kakao kemudian difermentasi selama 4-6 hari, tergantung kepada jenis kakaonya. Selama proses fermentasi, biji kakao perlu dibolak-balik/diaduk sebanyak 1-2 kali. Proses fermentasi ini merupakan standard pengolahan biji kakao yang berlaku di seluruh dunia.
Sejak manajemen perkebunan kakao di Indonesia bergeser dari perkebunan besar ke perkebunan rakyat, berkembanglah pengolahan biji kakao tanpa fermentasi, dan hal ini hanya terjadi di Indonesia. Sebagai akibatnya, di pasar global , biji kakao Indonesia dinilai mempunyai kualitas yang rendah, dan hanya digunakan sebagai supplement atau bahan baku tambahan, yaitu sebagai campuran bahan baku dari negara penghasil lainnya.
Biji kakao tanpa fermentasi ini rasanya sangat pahit, tidak mempunyai aroma cokelat, sehingga tidak dapat digunakan sebagai bahan baku cokelat artisan. Proses terakhir dalam pengolahan biji kakao adalah pengeringan, yang dapat dilakukan dengan dijemur di bawah sinar matahari, dikeringkan dengan alat pengering, atau kombinasi antar keduanya. Selanjutnya biji kering tersebut dijual atau dikirim ke pabrik pengolahan cokelat.
Mengenal perbedaan cokelat couverture (fine chocolate) dengan cokelat compound (candy chocolate)
Cokelat Couverture (fine chocolate) identik sebagai cokelat dengan tingkat kualitas yang lebih tinggi, lebih sehat, dan kaya akan manfaat karena memiliki persentase cacao butter yang tinggi serta keaslian dari biji kakao. Terbuat dari cacao mass dan cacao butter.
Beberapa manfaat mengkonsumsi fine chocolate diantaranya kaya akan antioksidan yang disebut flavanaol. Antioksidan ini dapat membantu melindungi tubuh dari kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas dan dapat mengurangi risiko penyakit kronis lainnya.
Sedangkan cokelat compound atau biasa lebih dikenal sebagai permen cokelat atau cokelat industrial merupakan kombinasi dari cocoa powder dan lemak nabati. Tipe cokelat yang menjadi alternatif lebih murah dibandingkan cokelat couverture, dan cokelat ini biasanya sudah ditambahkan gula atau pemanis buatan.