10 tahun sudah undang-undang nomor 13 tahun 2012 tentang keistimewaan DIY hadir sebagai sebuah bentuk pengakuan dan penghormatan negara terhadap Yogyakarta. 

Sejarah panjang sudah banyak diketahui atas dasar apa atau mengapa Yogyakarta mendapatkan status daerah “Istimewa”. Hal itupun berdampak pada alokasi berupa dana keistimewaan yang bersumber dari APBN.

Tahun 2022, DIY mendapatkan stimulus DANAIS sebesar 1,32 Triliyun. Tentunya dana ini juga merupakan dana seluruh warga Indonesia sebagai pemilik absah negara yang diberikan untuk ‘Yogyakarta’. 

Dana sebesar itu memberikan stimulan untuk membawa warga Yogyakarta kearah kemakmuran dan kesejahteraan. Selain itu, memberikan Yogyakarta semakin Istimewa.

Sejatinya, keistimewaan tidak dapat direduksi semata-mata hanya sebatas ‘uang’, ada sejarah panjang dan penuh perjuangan warga DIY untuk turut menghadirkan status DIY sebagai daerah Istimewa. 

Namun, itu semua memang terbentuk atas sejarah, yang kemudian hadir dimasa saat ini, lalu ada titik dimana masa depan akan dapat diukur, ditarget, ataupun diprediksi.

Dari tahun ke tahun, masalah yang selalu banyak digaungkan di DIY adalah masalah kemiskinan. Belum ditambah lagi masalah ketimpangan, keamanan, upah, dan toleransi. 

Kemiskinan masih menjadi masalah sangat serius. Menjadi heran juga, mengapa daerah istimewa ini belum juga dapat mengentaskan kemiskinan dan banyak dikulik diberbagai media.

Akankah kemiskinan menjadi budaya dan lingkaran setan?;

kemiskinan DIY, dalam berita resmi statistik No 42/07/34/Th.XXIV, 15 Juli 2022 berjumlah 454,76 ribu jiwa atau 11,34%. Angka ini masih berada di atas angka kemiskinan nasional. Angka tersebut menempatkan DIY pada urutan ke-13 dan tertinggi di pulau jawa dalam persentase penduduk miskin menurut provinsi 2022.

Penduduk miskin di DIY berdasarkan wilayahnya masih di dominasi wilayah perkotaan. Ada 315, 46 ribu jiwa kaum miskin kota dan 139, 30 ribu jiwa kaum miskin desa. 

Di lain sisi, Yogyakarta memiliki predikat birokrasi terbaik di Indonesia. Ditambah lagi, ada banyak pusat studi serta warga yang mengilhami nilai-nilai budaya. Menjadi keheranan atas kemiskinan yang terjadi disini.

Apakah dengan tata pemerintahan yang baik, rancangan program yang dibuat terlalu teknokratik dan birokratik dalam pengetasan kemiskinan? Tentunya, banyak program dalam pengentasan kemiskinan di kota istimewa ini. 

Ditambah lagi akan ada pilot project  pengentasan kemiskinan. Mungkinkah sasaran, target, program yang dilakukan selama ini hanya simbolik saja?

Ragnar Nurske (1953) mengenalkan sebuah konsep Vicious Cycle of Poverty (Lingkaran Setan Kemiskinan). Kemiskinan tidak ada ujung dan pangkalnya, semua unsur penyebab kemiskinan akan saling berhubungan. 

Bila kita lihat sederet masalah yang ada di DIY hampir ujungnya mengarah sebagai penyebab kemiskinan. Misalnya dengan upah rendah yang menjadi pendapatan. Upah rendah tidak akan mungkin untuk melakukan tabungan ataupun investasi, karena hanya cukup untuk sekedar makan saja. 

Hal ini berdampak pada rendahnya modal. Modal rendah menjadikan pasar tidaksempurna. Ini terus melingkar tidak akan ada ujungnya. Ini yang kerap menjadi keluhan dan terjadi di daerah ini. Pola-pola seperti ini yang sebetulnya gamblang terlihat di DIY. 

Sudah bukan lagi ketika dilihat dari segi pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan untuk melihat variabel kemiskinan. Pendidikan jelas berkualitas di DIY, infrastruktur memadai bahkan mengarah ke destinasi wisata untuk pengembangan ekonomi, dan kesehatan juga ada jaminan di daerah istimewa ini.

Masihkah berlaku nrimo ing pandum?;

Warga Yogyakarta yang sangat mengilhami nilai-nilai budaya amat memegang teguh filosofi kehidupan terutama dalam alam pikir kehidupan jawa. 

Filosofi nrimo ing pandum, yang memiliki arti menerima segala pemberian tanpa menuntut lebih, amat melekat pada individu-individu di Yogyakarta. Namun, hal ini berbeda dengan sikap pasrah, melainkan bentuk dari rasa syukur.

Di balik filosofi ini, sebetulnya dapat dilihat bagaimana usaha terlebih dahulu yang kemudian mendapat seberapa patut untuk disyukuri. Usaha dalam artian tidak melulu secara fisik. 

Bentuk memahami perputaran uang yang terjadi di daerah istimewa ini juga merupakan bentuk usaha sehingga layak atau tidak berada di ambang kemiskinan.

Setidaknya tujuan awal berdirinya republik ini salah satunya adalah terciptanya masyarakat adil dan makmur. UUK DIY juga bertujuan terwujudnya kesejahteraan masyarakat. 

Bukankah akhir dari bentuk usaha adalah kesejahteraan rakyat, terutama konteks disini Yogyakarta. Apakah dengan berada digaris kemiskinan adalah bentuk kesejahteraan dalam kacamata ‘narima’?.

Dengan berbagai sebutan seperti halnya kota pelajar, wisata, dan istimewa, yang memberikan daya tarik tersendiri bagi DIY tentunya mengandung ‘kapital’ bagi keberlangsungan hidup di DIY. 

Kapital dapat berupa pajak, Danais, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan pendapatan lain yang sah. Ini sebagai pemasukan untuk hajat hidup orang banyak.

Kapital itu terakumulasi dan mutar (sirkulasi) juga di sini. Katakanlah, dana sekitar 6,7 T pada tahun 2020 yang dibawa oleh mahasiswa untuk kos dan kebutuhan sehari-hari di sini. Minimal tidak, perputaran uang yang dibawa oleh mahasiswa dapat menghidupi warung-warung kecil, ojek online, dan lain sebagainya.

Belum ditambah dengan sektor pariwisata yang berdampak pada pajak hotel dan restoran. Kemudian tak dapat dipungkiri adalah stimulus dana keistimewaan. 

Meskipun, tidak boleh direduksi semata-mata ‘dana istimewa’ ataupun ‘bukan sebagai BLT’, minimal tidak keistimewaan mempunyai tujuan mulia dalam kesejahteraan masyarakat.

Setidaknya, pada kajian akuntabilitas keistimewaan DIY yang diterbitkan pada 2020 oleh Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Badan Keahlian DPR RI, dana keistimewaan mengalami trend kenaikan, namun masalah kesejahateraan yang menjadi sorotan. 

Serapan dana cukup besar direalisasikan pada kebudayaan, namun apakah kemiskinan belum sebagai budaya?

Momentum satu dasawarsa keistimewaan DIY, sebagaimana keistimewaan tidak dapat hanya direduksi sebagai ‘dana istimewa’, masalah kemiskinan yang diikuti masalah lainya dapat ditangani lebih serius. Misalnya menambah persentase lebih besar dana keistimewaan kedalam APBD.

Berkaca dan menyadari betul bahwa masalah telah menjadi budaya dengan transparani keistimewaan DIY, maka minimal tidak akan mengurangi gap ketimpangan dan pendapatan masyakarat DIY. Pagelaran budaya juga dapat memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi warga DIY.

Meskipun dalam teori demokrasi dapat digambarkan dengan rakyat membentuk pemerintah, untuk memerintah negara, supaya melayani warga. 

Dalam konteks ini, Negara membentuk pemerintah untuk memerintah negara, disisi lain rakyat membentuk DPRD untuk memerintah negara. Alangkah indah tujuannya, tetap melayani warga DIY untuk keluar dari zona kemiskinan dan berlaku ‘nrimo ing pandum’ yang sebenarnya.